tirto.id - Konflik merupakan bagian dari dinamika sosial yang lumrah terjadi dalam tatanan pergaulan keseharian masyarakat. Konflik dapat berperan sebagai pemicu proses menuju penciptaan keseimbangan sosial.
Apabila dapat dikelola dengan baik, maka konflik dapat dimanfaatkan sebagai perekat dalam kehidupan masyarakat. Perekat dalam artian, konflik dapat mendorong keadaan yang lebih baik karena adanya perubahan dalam masyarakat.
Di sisi lain, konflik juga dapat membuat keadaan menjadi lebih buruk apabila terjadi secara terus menerus tanpa mencari solusi. Maka dari itu, hal terpenting dari sebuah konflik adalah mencari penyebab, dan cara mengatasi konflik tersebut.
Menurut teori konflik, tipologi konflik dibagi ke dalam dua bentuk. Pertama, konflik yang lebih panjang dibandingkan konflik hebat. Kedua, konflik yang relatif ringan cenderung mengurangi kehebatan birokratisasi.
Dilansir dari Jurnal Komunikasi dan Bisnis oleh Sumartono (2019), yang dimaksud dengan konflik hebat adalah lebih menekankan pada sumber daya emosi dalam waktu jangka pendek. Sementara dalam waktu jangka panjang, lebih menekankan pada faktor-faktor sumber daya material.
Karl Marx
Pemikiran yang paling berpengaruh tentang dasar dari teori konflik adalah filsuf Karl Marx. Dalam teori konflik, perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa pada perubahan, tetapi terjadi akibat konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi sebelumnya.
Teori konflik mulai merebak pada tahun 1950-an dan 1960-an. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.
Pada saat itu, Marx mengajukan konsep dasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Kelas dalam hal ini, menunjukkan masyarakat pada abad ke-19 di Eropa yang dibagi menjadi dua kategori.
Pertama, kelas pemilik modal atau borjuis. Kedua, kelas pekerja miskin atau proletar. Kedua kelas tersebut berada dalam struktur sosial hierarkis, di mana kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam hal produksi.
Eksploitasi ini akan terus terjadi selama kesadaran semu (false consiousness) diakui dalam diri proletar. Pengakuan tersebut ditandai dengan adanya rasa menyerah diri, dan menerima keadaan tanpa adanya sebuah penolakan apa pun.
Kemudian, ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu gerakan revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Dikutip dariPakistan Journal of Criminologyoleh Bystrova dan Gottschalk (2015), teori konflik merujuk pada suatu keadaan saat sistem peradilan bersifat bias dan dirancang hanya untuk melindungi orang kaya dan berkuasa.
Orang kaya dan berkuasa dipandang mampu mengambil banyak hal termasuk, simpanan kekayaan dari perusahaan mereka yang dilakukan atas kebijakan mereka sendiri. Hal itu dapat terjadi karena tidak adanya aturan yang membatasi orang kaya dan berkuasa.
Teori Konflik Karl Marx
Karl Marx memandang teori konflik sebagai bentuk pertentangan kelas. Dari sudut pandang itu, Marx memperkenalkan konsep struktur kelas di masyarakat.
Teori Marx melihat masyarakat sebagai arena ketimpangan (inequality) yang dapat memicu konflik dan perubahan sosial. Marx menilai konflik di masyarakat berkaitan dengan adanya kelompok yang berkuasa dan dikuasai. Di teori Marx, konflik kelas dipicu oleh pertentangan kepentingan ekonomi.
Selain itu, setidaknya ada 4 konsep dasar dalam teori ini:
- Struktur kelas di masyarakat;
- Kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara kelas yang berbeda;
- Adanya pengaruh besar dilihat dari kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang;
- Adanya pengaruh dari konflik kelas terhadap perubahan struktur sosial.
Mengutip penjelasan Novri Susan dalam buku Sosiologi Konflik: Teori-teori dan Analisis (2009, hlm 22), pertentangan kelas menurut Marx dipicu oleh perbedaan akses terhadap sumber kekuasaan, yakni modal. Dalam masyarakat kapitalis, hal itu menciptakan dua kelas yang saling bertentangan, yakni borjuis dan proletariat.
Penulis: Ega Krisnawati
Editor: Alexander Haryanto