tirto.id - Tari Piring merupakan warisan budaya masyarakat Minangkabau yang dilestarikan oleh masyarakat Minang dalam kehidupannya, sehingga menjadi identitas budaya Minangkabau hingga saat ini.
Tari Piring semakin melekat dengan kehidupan sosial masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat maupun di daerah perantauan.
Makna Tari Piring
Tari Piring sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya berdiri. Tari Piring bermakna sebagai tarian rasa syukur atas panen yang melimpah dan segala karunia kepada para dewa. Beberapa hidangan juga disajikan untuk persembahan.
Setelah agama Islam mulai masuk dan berkembang. Tari Piring mengalami pergeseran fungsi dan makna. Tari Piring menjadi sekedar hiburan di perhelatan besar saja.
Adapun acara tersebut seperti penobatan gelar penghulu, penobatan gelar pendekar, peristiwa (ritual) kematian, ritual kelahiran, pesta perkawinan, peresmian, penyambutan tamu agung, acara masa menuai, dan mendirikan rumah gadang.
Tak lupa hidangan-hidangan pelengkap perayaan juga disajikan. Namun, bukan untuk para dewa melainkan untuk para tamu dan hadirin yang sedang merayakan.
Dilansir indonesiakaya, tari piring yang menjadi inspirasi kreasi Tari Piriang Suluah ini memang berkembang pertama kali di wilayah Solok.
Seiring berjalannya waktu, tarian ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah lain di Sumatera Barat, mengikuti persebaran kebudayaan Minangkabau. Bahkan Tari Piring terbawa hingga Malaysia dan Singapura.
Kenyataan ini ditandai dengan banyaknya perantau suku bangsa Minangkabau berperan aktif di daerah rantau seperti Yusuf Ishak yang merupakan Presiden pertama Singapura, Zubir Said yang menciptakan lagu kebangsaan Majulah Singapura, bahkan Raja Agung pertama Malaysia adalah keturunan Perantau Minangkabau.
Menurut penelitian, setiap wilayah memiliki ciri khas Tari Piring tersendiri. Letak geografis ternyata mempengaruhi bentuk dan gaya Tari Piring.
Namun, perbedaan Tari Piring hanya terletak pada gaya memainkan dan struktur penyajiannya saja.
Daerah Luhak (darek) merupakan daerah asal suku Minangkabau (pusat Kerajaan Minangkabau), secara geografis terletak di daerah perbukitan atau daerah ketinggian.
Sehingga tarian cenderung mempunyai gerakan yang bervolume lebar, dan posisi badan cenderung membungkuk dengan pola langkah dan kuda-kuda yang agak lebar.
Gerakan yang dihasilkannya pun cenderung monoton dengan langkah yang berat. Piring yang digunakan adalah piring makan.
Sedangkan daerah rantau umumnya terletak di daerah pesisir pantai bagian barat pulau Sumatera, yang dikenal dengan daerah Banda Sapuluah (Kabupaten Pesisir Selatan sekarang), Padang, Pariaman, dan Pasaman Barat sampai ke Pantai Aia Bangih.
Tari Piring di daerah rantau atau pesisir cenderung bervolume agak kecil dan sedang. Pola langkah yang dilakukan agak pendek-pendek jangkauannya. Posisi badan dalam menari adalah tegak dalam kuda-kuda yang tidak terlalu rendah.
Gerakannya lebih lincah dan terkesan ringan. Piring yang digunakan adalah piring kecil.
Tari Piring yang populer di kawasan Luhak Minangkabau (Sumatera Barat), seperti Tari Piring Lawang, Tari Piring Rantak Tapi, Tari Piring Padang Magek, Tari Piring Koto Anau, dan Saniang Baka.
Sedangkan di daerah pesisir atau rantau yang cukup populer adalah Tari Piring Lumpo, Tari Piring Pauh, Tari Piring Pariaman, Tari Piring Bayang, Tari Piring Painan, dan Indro Puro.
Tari Piring dari kedua daerah tersebut melahirkan kreasi-kreasi baru hingga saat ini. Tari Piring kreasi yang cukup populer di Sumatera Barat sampai saat ini adalah Tari Piring kreasi versi Sanggar tari Syofiani dan versi Sanggar Tari Indojati.
Penulis: Ita Kunnisa Aniyavi
Editor: Dhita Koesno