tirto.id - Direktur Bisnis Digital Telkom Fajrin Rasyid mengusulkan menggunakan sertifikat vaksinasi COVID-19 untuk menggantikan "hasil PCR atau swab" sebagai salah satu syarat perjalanan. Hal ini ia katakan dalam FGD Sistem Informasi Dana Bantuan Pemerintah Terintegrasi, Senin (1/3/2021) lalu.
Dalam bayangannya, sertifikat akan berbentuk kode QR sehingga cukup dipindai dan pemiliknya bisa langsung melanjutkan perjalanan.
Fajrin mengklaim usulan itu tengah digodok oleh pemangku kepentingan terkait.
Usulan serupa pernah disampaikan oleh anggota Komisi IX DPR dari fraksi Partai Nasdem Aliyah Mustika Ilham dan diamini oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam rapat bersama Komisi IX, Kamis (14/1/2021) sore. Mantan Direktur Utama Inalum itu mengaku akan berkoordinasi dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi untuk merealisasikan ide tersebut.
Bahkan Budi menyebut sertifikat itu bisa digunakan juga untuk menghadiri konser, pasar, hingga acara besar lain. "Asalkan ada health certificate dalam bentuk Google Wallet. Nanti kita cari aplikasi-aplikasinya, bisa dibikin anak-anak muda Indonesia, agar bisa menjadi mekanisme screening yang baik dan online," ujarnya.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan untuk program vaksinasi Siti Nadia Tarmizi mengaku masih membahas rencana tersebut. Namun, menurutnya, hingga saat ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum merekomendasikan hal itu sebab COVID-19 masih berstatus pandemi. "Mungkin saat laju penularan sudah sangat rendah," ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (2/3/2021).
Ketua Pimpinan Pusat Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia Iris Rengganis menjelaskan bahwa vaksin tidak memberikan proteksi 100 persen dari COVID-19, apalagi efikasi Sinovac yang hanya 65,3 persen. Karenanya, kendati sudah divaksin, protokol kesehatan seperti testing, tracing, dan treatment harus tetap dilakukan.
Selain itu, kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksin berbeda-beda terhadap masing-masing orang. Demikian pun waktu yang diperlukan bagi masing-masing orang untuk membentuk sistem imun optimal.
"Antibodi yang paling optimal itu 14-28 hari sejak vaksinasi kedua. Kalau yang lambat, pembentukan antibodi itu 28 hari setelah vaksinasi yang kedua," kata Iris kepada reporter Tirto, Selasa (28/2/2021).
Dengan demikian, menurutnya tes COVID-19 sebagai sarana screening sebelum perjalanan masih harus dilakukan. Jika orang diperbolehkan berpergian ke luar daerah tanpa perlu menjalani tes, ada kemungkinan dia tetap menjadi penyebar virus. "Jadi kita harus hati-hati dalam menentukan kebijakan. Ini kan masih baru, sebaiknya kita hati-hati," kata Iris.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono pun menegaskan vaksin hanya mencegah orang mengalami gejala berat COVID-19. Jika diperbolehkan bebas berpergian, orang yang sudah divaksin tetap bisa menjadi penyebar virus.
Situasinya berpotensi jadi lebih parah sebab prioritas pemberian vaksin COVID-19 di Indonesia berantakan.
Tujuan vaksinasi adalah mencegah kematian dan perawatan di rumah sakit sehingga mesti diprioritaskan bagi kelompok rentan, misal warga lanjut usia atau warga dengan penyakit penyerta. Namun, misalnya di Bali, vaksinasi justru diberikan kepada pelaku usaha pariwisata dan industri kreatif. Sebelumnya vaksinasi juga diberikan kepada anggota DPR dan keluarganya, serta para wartawan.
Jika usulan itu direalisasikan, maka orang bisa bebas berpergian dan berpotensi menularkan COVID-19 sementara kelompok rentan belum terlindungi.
"Ini antreannya banyak sekali yang melakukan pelanggaran tapi itu direstui pemerintah dan dilakukan pemerintah. Jadi pemerintah sudah melanggar etika dan tidak memegang komitmen penanggulangan pandemi karena terbuai oleh maunya ekonomi," kata Pandu kepada reporter Tirto, Selasa.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino