tirto.id - Sejak dekade 1970 Suzuki mulai menggoreskan tinta sejarah di ranah otomotif Indonesia lewat produk sepeda motor dan mobil. Pabrikan berlogo “S” ini memiliki jajaran produk andalan yang melegenda antara lain Jimny, Carry, atau sepeda motor Satria. Sayangnya beberapa produk Suzuki hanya berumur pendek dan cepat menghilang dari peredaran setelah beberapa tahun diluncurkan.
Pada 1992, Suzuki memasarkan Suzuki Esteem, model sedan pertama yang dibuat di Indonesia. Ada dua pilihan mesin Esteem, 1.300cc karburator dan 1.600cc injeksi. Kala itu Esteem berhadapan dengan kompetitor, seperti Toyota Great Corolla, Honda Civic, dan Mitsubishi Lancer GTi. Bisa dibilang saingan Esteem cukup berat di pasar mobil nasional. Gelombang masuknya Mobnas Timor pada 1996 menjadi salah satu cobaan terberat buat sedan Jepang, termasuk Esteem.
Menurut catatan Kompas (1/8/1996), sejak kabar Timor akan dijual dengan harga Rp35-40 juta penjualan sedan Jepang menjadi lesu. Suzuki Esteem yang angka penjualannya berkisar 150-200 unit per bulan, sejak April 1996 terpuruk menjadi 60-80 unit per bulan. Keadaan tersebut akhirnya membawa Esteem harus "disuntik mati" oleh Suzuki, karena penjualan yang terus merosot.
Mencuplik “Milestone of Suzuki Indonesia”, sebagai pengganti Esteem Suzuki Indonesia menyodorkan Baleno 1.6. Tampilan Baleno sudah lebih modern, dibalut bodi kapsul yang sedang menjadi tren kala itu. Suzuki hanya menawarkan satu pilihan mesin 1.600cc injeksi pada seri Baleno.
Suzuki Baleno bernasib lebih baik ketimbang sang kakak, Esteem. Perjalanannya di Indonesia berjalan cukup lama. Tahun 2000, Suzuki melakukan penyegaran tampilan eksterior dan Interior Baleno, serta memberikan mesin baru berkapasitas 1.500cc. Model baru ini populer disebut Baleno Milenium, menandai kelahirannya di awal abad 21.
Selanjutnya tiga tahun berselang Baleno bersolek total, menjadi Baleno Next-G. Sedan tersebut berbagi platform dengan model hatchback Suzuki Aerio. Aerio dan Baleno Next-G dilengkapi teknologi anti-lock braking system (ABS), plus electronic braking distribution (EBD), serta kantung udara (airbag)—sistem keselamatan yang masih jarang ada di mobil-mobil pabrikan Jepang kala itu.
Kompas edisi (9/11/2003) mewartakan, harga off the road Aerio transmisi manual dibanderol Rp123 juta dan transmisi otomatis Rp133 juta. Harga itu memang lebih tinggi dari harga duo Avanza-Xenia yang lahir setahun setelahnya dihargai di bawah Rp100 juta.
Namun, fitur canggih ternyata tidak cukup untuk membawa Aerio menggapai tonggak kesuksesan. Desain konservatif dan dimensi serba tanggung, terlalu kecil untuk ukuran multi purpose vehicle (MPV) dan terlampau besar sebagai hatchback membuat Aerio kalah saing dengan Toyota Yaris dan Honda Jazz yang ukurannya lebih kompak dan harga relatif sepadan. Lag-lagi Aerio menyusul masuk ke dalam jurang kepunahan dalam usia baru empat tahun.
Nasib serupa juga dialami produk sport utility vehicle (SUV) Suzuki Sidekick, tipe paling rendah dari keluarga Vitara dan Escudo. Dilansir kali pertama pada 1995, Suzuki Sidekick berpamitan dengan industri otomotif nasional enam tahun kemudian. Setelah menidurkan Sidekick, Suzuki fokus menangani Escudo XL-7 sejak 2003 dan Grand Vitara mulai 2007. Namun, mobil-mobil kekar itu pun tidak cukup kuat untuk mengembalikan kejayaan SUV Suzuki. Penjualan Vitara tahun 2013, setahun sebelum dipensiunkan, hanya mencapai 485 unit.
Produk impor dari India, berlanggam city car Suzuki Splash, pun tidak berumur panjang. Mobil yang datang ke Indonesia tahun 2010 ini sempat mendatangkan optimisme buat Suzuki Indonesia. Pada 2011, volumewholesales Splash melewati 7.000 unit. Namun, setahun kemudian turun menjadi 5.000-an unit per tahun. Varian transmisi otomatis mampu mengerek kembali penjualan Suzuki Splash di 2013, menyentuh kisaran 6.000-an unit.
Namun, keadaan berbalik sewarsa kemudian, penjualan Splash merosot ke level 3.000-an unit per tahun. Setelah itu penjualan Splash benar-benar muram hingga akhirnya pada 2016 produksinya di India dihentikan dan Suzuki Indonesia enggan memproduksi lokal mobil itu.
Masalah inkonsistensi juga terjadi pada sepeda motor Suzuki. Sejak imperium skuter matik (skutik) terbentuk pada medio 2000-an, Suzuki tercatat pernah mengeluarkan sederet produk. Ada Suzuki Spin 125, Skywave 125, Skydrive 125, Hayate 125, Nex, Let’s, dan Address.
Adakah yang sukses di pasaran?
Secara statistik, tidak ada skutik Suzuki yang pernah merajai pasar motor transmisi otomatis. Namun, bila dikomparasi antar skutik Suzuki, Spin 125 layak dicap yang terbaik dari yang paling buruk. Skutik yang dirilis pada 2006 itu mampu membayangi Yamaha Mio, salah satu model skutik terlaris di masa-masa awal kemunculannya. Naas buat Spin 125 karena penjualannya menukik hingga akhirnya digantikan Suzuki Nex yang kapasitas mesinnya hanya 113 cc pada 2011.
Sejatinya Suzuki sudah mencoba peruntungan berbeda dari kompetitor di kelas skutik. Ketika Honda dengan BeAT dan Yamaha dengan Mio masih fokus bermain di ceruk skutik 110 cc, Suzuki justru menggelontorkan motor-motor berkapasitas 125 cc. Selain Spin 125, ada pula Skywave 125 dan Skydrive 125.
“Di sini kita justru memberi pilihan kepada konsumen, ada Spin untuk pemula, Skywave yang mapan, dan Skydrive buat anak muda, ” kata Setiawan Surya yang menjabat sebagai Asisten Dept Head Marketing 2W PT Indomobil Niaga Internasional dilansir Kompaspada 2009.
Kendati demikian, Suzuki gagal mendobrak dominasi Honda dan Yamaha di pasar skutik level menengah bawah. Setelah Spin lenyap, Skywave dan Skydrive juga masuk kotak pada 2011 dan 2014.
Presiden Direktur PT Suzuki Indomobil Motor (SIM) Seiji Itayama berdalih, penggantian jajaran produk merupakan bagian dari strategi pemasaran. Hal itu dilakukan agar Suzuki bisa mengikuti perkembangan tren kendaraan modern. Meski demikian dia mengakui inkonsistensi produk menjadi kelemahan Suzuki.
“Sebenarnya kalau saya ditanya strategi, memang strategi (mengganti produk),” kata Itayama saat disodorkan pertanyaan oleh Tirto di pabrik Suzuki Cikarang, Jawa Barat beberapa waktu lalu.
“Bukan kita berhenti tapi kita sediakan produk yang lebih bagus daripada produk sebelumnya. (Memang) kalau kita ganti, kita berhenti (produksi, kemudian) muncul lagi image-nya kurang bagus, nanti akan saya tinjau kembali.” ujar Itayama.
Department Head of Sales and Marketing 2W PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) Yohan Yahya, menjelaskan keputusan menghentikan produksi didasari evaluasi volume penjualan dan regulasi dari pemerintah. Bila angka penjualan tidak mencapai target atau produk tidak memenuhi aturan pemerintah maka produksi dihentikan dan diganti model baru. Namun, tidak menutup kemungkinan produk yang sudah berhenti dipasarkan di Indonesia masih bisa diekspor.
“Kalau skala ekonomi (tidak memenuhi) ya buat apa (dilanjutkan produksi),” kata Yohan. “Contoh lah satria lama masih kita ekspor ke Filipina. Nex lama kita masih ekspor karena regulasi di kita udah enggak bisa,” imbuh Yohan.
Jalur ekspor dapat menjadi alternatif yang membantu manufaktur seperti Suzuki untuk tetap mendatangkan laba dari produk-produk yang tidak laris di dalam negeri. Ini pun terjadi pada produk roda empat Suzuki, yaitu Karimun Wagon. Di jalanan, mobil LCGC ini termasuk cukup ramai mengisi sudut-sudut aspal ibu kota, tapi kenyataannya tidak cukup buat target Suzuki.
“LCGC Karimun (Wagon R) investasi Rp5,1 triliun. Beban investasi bikin LCGC dengan harapan setelah 5 tahun mencapai 92 persen (komponen lokal). Apa yang terjadi sekarang terus terang saja kita enggak malu (mengakui) kurang berhasil. Tapi kita juga bangga karena ekspor ke Pakistan, LCGC kita 3.000 sebulan,” kata Presiden Komisaris Indomobil Group Soebronto Laras.
Ekspor memang bisa jadi solusi bagi Suzuki mengatasi persaingan dengan merek lain di pasar dalam negeri yang ketat. Posisi Suzuki mobil dan motor, yang masing-masing ke-5 dan ke-3 di pasar otomotif Indonesia, masih jadi pekerjaan rumah bagi Suzuki. Suzuki harus meninjau ulang strategi banyak menggelontorkan barang baru tapi cepat menyuntik mati produknya karena bagi sebagian konsumen strategi tak konsisten itu barangkali tak menyenangkan.
Editor: Suhendra