Menuju konten utama
Periksa Data

Mengapa Partisipasi Kelompok Difabel di Pemilu Masih Terbatas?

Sulawesi Utara menjadi provinsi dengan tingkat partisipasi pemilih disabilitas tertinggi di level Pemilihan Gubernur pada Pilkada 2020.

Mengapa Partisipasi Kelompok Difabel di Pemilu Masih Terbatas?
Header Periksa Data Pemilu Ramah Difabel. tirto.id/Fuad

tirto.id - Try Febri Khoirun Nidhom, atau yang sering disapa Irul, baru saja rampung mengajar kelas Al-Quran Braille ketika dihubungi Tirto padaRabu (5/7/2023) petang. Lewat sambungan telepon, laki-laki berusia 27 tahun ini berbagi pengalamannya mencoblos saat Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dan 2020.

Sepenuturan Irul sebagai Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia cabang Lamongan, masih banyak kasus ketika Panitia Pemungutan Suara (PPS) setempat kesulitan untuk menjelaskan penggunaan template Braille. Template itu digunakan sebagai alat bantu coblos suara dengan huruf Braille untuk pemilih tunanetra.

Menurutnya, sosialiasi kepada petugas pemilu dan penyandang disabilitas harus seimbang, dengan demikian kesadaran tentang disabilitas di kalangan petugas pelaksana Pemilu bakal terbangun.

“Wawasan itu harus dimiliki oleh kedua subyek ini, baik dari PPS setempat, bahkan sampai ke KPU [Komisi Pemilihan Umum] pusat, dan temen-temen difabel yang tergabung dalam organisasi. Nah kebanyakan yang kena sosialisasi adalah temen-temen difabel yang bergabung di organisasi. Lantas bagaimana dengan teman-teman yang tidak tergabung dalam organisasi?” ujar Irul.

Di samping persoalan sosialisasi, beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) ia katakan belum memperhatikan aksesibilitas, sehingga masih menyulitkan mobilitas para penyandang disabilitas netra.

“Kalau untuk yang nonnetra, biasanya tempat itu belum terukur dengan lebar kursi roda. Kadang TPS itu kan biliknya sempit, nah padahal kalau pemilih itu kan dengan disabilitas fisik itu kan kursi rodanya masuk, berarti kalo kursi rodanya masuk kan tandanya harus cukup. Nggak bisa menyarankan mereka untuk harus memilih, tapi biliknya nggak cukup kursi roda. Itu kan sama artinya dengan kita minta tapi fasilitas tidak disediakan,” komentar Irul.

Pemilih penyandang disabilitas adalah bagian dari suara yang penting dihitung pada setiap perhelatan pemilu. Berdasarkan undang-undang, negara punya kewajiban untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak yang dimiliki oleh setiap warga negaranya termasuk hak pilih pemilih disabilitas. Oleh karenanya aksesibilitas jadi isu penting dalam hal ini.

Seperti tertuang dalam Pasal 350 ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, lokasi TPS mesti ditentukan di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang disabilitas, tidak menggabungkan desa, dan memperhatikan aspek geografis, serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia.

Pun, hal ini dijamin oleh Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan pasal 28E Ayat (3) UUD 1945. Demikian halnya dengan ketentuan Pasal 43 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Tapi, kenyataannya, partisipasi pemilih penyandang disabilitas masih terbatas. Salah satu faktornya, seperti yang disebut oleh mantan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan pada Selasa, (5/10/2021), acapkali masih ditemukan layanan pemilu yang tidak ramah atau akses bagi penyandang disabilitas. Pada Pemilu 2019 misalnya, Abhan menyebut 2.366 TPS masih sulit dijangkau pemilih penyandang disabilitas.

Namun, secara umum, bagaimana partisipasi penyandang disabilitas dalam pemilu yang telah digelar? Apa saja faktor-faktor yang menghambatnya?

Partisipasi Pemilih Disabilitas Belum Sampai 50 Persen

Seperti tercermin dari kisah Irul, partisipasi pemilih penyandang disabilitas dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 hanya menyentuh 49 persen dari keseluruhan pemilih penyandang disabilitas.

Temuan itu berdasar pada data KPU yang dihimpun Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dari data yang berhasil dikumpulkan organisasi nirlaba itu, diketahui hanya 124.677 disabilitas yang menyumbangkan suara, dari keseluruhan 252.612 pemilih disabilitas yang tercatat pada Pilkada 2020.

Penyandang disabilitas yang dibicarakan dalam hal ini merujuk pada Pasal 1 UU Nomor 8 Tahun 2016, yakni setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau sensorik dalam jangka waktu yang lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Apabila dibandingkan dengan negara demokrasi terbesar lain seperti Amerika Serikat (AS), persentase disabilitas di Indonesia yang ikut memilih dalam Pemilu cenderung tertinggal.

Pada Pemilu AS tahun 2020, sebanyak 61,8 persen dari 28,7 juta pemilih penyandang disabilitas dilaporkan ikut memberi suara. Angka itu memang masih lebih kecil ketimbang persentase partisipasi pemilih non-disabilitas, yakni 67,5 persen, akan tetapi menunjukkan tren kenaikan dibanding Pemilu 2016 (55,9 persen).

Data tersebut diperoleh dari analisis survei penduduk yang dilakukan pemerintah AS pada November 2020. Menurut survei, sekira 154,6 juta orang melaporkan ikut memilih pada Pemilu 2020 di AS, sedikit di bawah jumlah estimasi hasil hitungan surat suara sebanyak 159,7 juta. Adapun disabilitas yang dimaksud meliputi orang-orang dengan gangguan mobilitas dan kognitif, tunanetra, serta tuli.

Sulawesi Utara Capai Persentase Tertinggi Tingkat Pilgub?

Secara umum, menurut data Perludem, rata-rata partisipasi pemilih dengan disabilitas tiap daerah untuk Pilkada 2020 adalah 64,62 persen.

Menilik lebih jauh data partisipasi pemilih disabilitas Indonesia pada Pilkada 2020, Sulawesi Utara menjadi provinsi dengan tingkat partisipasi disabilitas tertinggi di level Pilgub. Persentasenya menyentuh 83,42 persen dari 7.467 jumlah pemilih disabilitas di daerahnya.

Kemudian menyusul di belakang yakni Kepulauan Riau (83,37 persen), Bengkulu (80,20 persen), dan Sulawesi Tengah (72,11 persen). Jumlah pemilih disabilitas di ketiga provinsi itu berturut-turut sebanyak 2.195 orang, 4.531 orang, dan 6.695 orang.

Sementara itu, provinsi Sumatera Barat yang mencatat jumlah disabilitas terbanyak di antara 9 provinsi yang menggelar Pilkada 2020 (10.462 pemilih), persentase pengguna suara disabilitasnya justru paling rendah, hanya sekitar 35,55 persen.

Proporsi penyandang disabilitas dewasa di Sumatera Barat rupanya memang termasuk 5 besar secara nasional menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018. Angkanya ada di level 32,4 persen, berbeda tipis dengan urutan atasnya yaitu DI Yogyakarta (33,2 persen) dan Sulawesi Selatan (33,6 persen).

Menariknya, untuk tingkat pemilihan kabupaten/kota, rerata persentase partisipasi di Maluku dan Papua Barat tembus 97,83 persen dan 97,55 persen. Bahkan di Manokwari, Teluk Wondama, dan Manokwari Selatan, semua pemilih disabilitas menggunakan hak suaranya alias tingkat partisipasi 100 persen.

Fenomena 100 persen pemilih disabilitas menggunakan hak suara ini hanya terjadi di kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat. Dari 6 kabupaten/kota di Papua Barat yang terdata, hanya di Pegunungan Arfak yang tidak memiliki satu pun pemilih disabilitas.

“Kenapa [partisipasinya] tinggi itu karena mereka sebetulnya mendatanya juga sedikit. Itulah kenapa seolah-olah tinggi karena emang yang mereka data sedikit. Jadi yang sebetulnya ada itu lebih banyak dari yang didata, itu kalau diskusi kita kemarin kayak gitu ya,” kata Peneliti Perludem Amalia Salabi kepada Tirto, Rabu (5/7/2023).

Adapun daerah-daerah dengan partisipasi pemilih disabilitas terendah untuk Pilkada 2020 meliputi Kabupaten Sukabumi (19,06 persen), Kabupaten Cianjur (18,54 persen), Kota Denpasar (16,97 persen), Kabupaten Lampung Tengah (16,79 persen), dan Kabupaten Jember (10,37 persen).

Di antara 5 kabupaten/kota itu, jumlah pemilih disabilitas di Jember, Jawa Timur, paling tinggi, yakni mencapai 15.249 orang. Dengan persentase hanya 10,37 persen, artinya hanya ada sekira 1.581 difabel yang menggunakan hak pilihnya.

Jumlah pemilih disabilitas di Kabupaten Jember tersebut sekaligus mencatat jumlah pemilih disabilitas terbanyak di antara kabupaten/kota lain yang tercatat.

Menyoal tingkat partisipasi disabilitas yang rendah di beberapa daerah, Amalia ragu memberi pendapat sebab tak ada basis risetnya. Kendati demikian, teori partisipasi bisa dipakai untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi, seperti akses informasi pemilih disabilitas, peningkatan kapasitas alias sosialisasi, dan kerja sama pemangku kepentingan.

“Kalau mereka [pemilih disabilitas] tahu informasinya, otomatis, mereka lebih pede untuk memilih,” timpalnya. Dalam beberapa acara sosialisasi pemilu yang pernah dihadiri Amalia, ia masih jarang menjumpai pemilih disabilitas yang dilibatkan.

Irul sebagai tunanetra pun mengaku lebih sering meminta dan mengadakan audiensi terlebih dahulu, alih-alih diundang sosialiasi oleh penyelenggara pemilu.

Penting digarisbawahi, analisa Perludem hanya mencakup 9 provinsi yang menyelenggarakan Pemilihan Gubernur (Pilgub) dan 237 kabupaten/kota yang menggelar Pemilihan Bupati/Wali Kota (Pilbup/Pilwakot). Sementara total daerah yang melaksanakan Pilkada 2020 mencapai 270 daerah, dengan kata lain masih ada 24 kabupaten/kota yang belum terhitung.

Alasan kekosongan data itu tak lepas dari minimnya transparansi data terkait partisipasi pemilih disabilitas. Kata Amalia pula, di beberapa daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020, formulir C1—yang mereka gunakan sebagai basis memetakan partisipasi pemilih disabilitas, tidak dipublikasikan.

Tirto juga tidak menemukan rilis terkait partisipasi pemilih dengan disabilitas pada Pemilu 2019 maupun pemilu-pemilu sebelumnya.

Pemilu 2024: Partisipasi Stagnan Kalau Tanpa Perubahan

Merefleksikan angka partisipasi pemilih disabilitas dari Pilkada 2020 bikin hal itu jadi pertanyaan menyongsong Pemilu 2024 yang semakin dekat.

Amalia menegaskan, jika tidak ada terobosan baru dalam hal regulasi dan informasi terkait pemilu tidak aksesibel untuk penyandang disabilitas, maka partisipasi ditaksir akan rendah.

“Soal pungut hitungnya kalau ada terobosan baru itu ya harusnya bisa meningkatkan [partisipasi] teman-teman disabilitas. Nah, kalau regulasi tidak ada progresivitas, terus informasinya juga masih kurang aksesibel, terus tidak ada kolaboriasi dengan organisasi atau komunitas disabilitas di setiap daerah, ya maka partipasi juga akan sedikit, gitu,” katanya lagi kepada Tirto.

Bawaslu telah mengadakan deklarasi Pemilu 2024 ramah disabilitas bersama Komisi Nasional Disabilitas (KND), Pemilihan Umum Akses (PPUA), dan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI).

“Bawaslu mencatat ada 2.366 TPS yang tidak aksesibel atau tidak ramah terhadap disabilitas. Pilkada 2020 angkanya kemudian menjadi 1.089 TPS yang tidak ramah disabilitas. Ini potret baik, dari 2.366 turun menjadi 1.089 TPS,” kata Anggota Bawaslu Lolly Suhenty di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, seperti dikutip Kumparan, Kamis (6/7/2023).

Lolly berharap pada Pemilu 2024 mendatang semua TPS sudah ramah untuk disabilitas, sehingga tidak ada lagi pemilih disabilitas yang tidak dapat memberikan hak suaranya karena terkendala di TPS.

Perlu diketahui bahwa data KPU menunjukkan, jumlah pemilih disabilitas pada Pemilu 2024 menyusut ketimbang pemilu sebelumnya, dari 1,2 juta pemilih pada 2019 menjadi 1,1 juta pemilih versi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024.

Amalia mempertanyakan tren penurunan tersebut, lantaran jumlah pemilih mengalami kenaikan hingga 12 juta menjadi 204.807.222, dari 192.770.611 pada Pemilu 2019. Namun angka itu masih berpotensi berubah mengingat masih ada periode perbaikan DPT ke depan.

Teranyar, peraih Golden Buzzer di ajang America’s Got Talent, yang juga penyandang disabilitas, Putri Ariani, menyampaikan pesan untuk seluruh penyandang disabilitas di Indonesia jelang Pemilu 2024.

"We are able, we are capable, and we are equal," katanya dalam acara Deklarasi Pemilu Akses Ramah Disabilitas, Kamis (6/7/2023) di Jakarta, dilansir dari situs resmi Bawaslu.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Politik
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty