Menuju konten utama
21 Maret 1999

Mengapa Para Penyair Kerap Dipuja dan Direndahkan

Selama berabad-abad, puisi sanggup mengkomunikasikan nilai-nilai terdalam dari beragam budaya. Tingkah penyair malah tak jarang menerbitkan tawa.

Mengapa Para Penyair Kerap Dipuja dan Direndahkan
Ilustrasi Mozaik Hari Puisi. tirto.id/Sabit

tirto.id - “Bung! Kau tahu harga sebuah sajak?”

Pertanyaan itu dilontarkan Amsir, penyair rekaan Misbach Yusa Biran dalam “Akhirnya Saya Bisa Juga Ketawa”—salah satu cerita dalam kumpulan cerpen Keajaiban di Pasar Senen (2007).

“Tidak. Saya belum pernah jual-beli sajak,” jawab tokoh saya, si pencerita.

Setelah Amsir menatap tajam lawan bicaranya dan menyebutnya sebagai orang yang tidak mengerti sajak, sang penyair kemudian memintanya untuk menaksir harga sebuah sajak.

“Seringgit…eh…seringgit, tiga setengah barangkali. Lima perak.”

“Dua puluh lima!”

“Dua puluh lima rupiah?”

“Ya! Saya punya empat sajak yang pasti dimuat.”

“Jadi, seratus rupiah.”

“Betul. Tapi sekarang ini saya hanya memerlukan dua puluh lima saja. Sekarang ini, perlu betul. Bisa kasi pinjaman pada saya…?”

Penyair, makhluk kreatif yang honornya seuprit, tak jarang dinilai masyarakat dengan pandangan yang mendua. Di satu sisi mereka dianggap istimewa lantaran intens bergulat dengan bahasa (juga intelektualitas serta sensibilitasnya atas perasaan dan persoalan hidup manusia), sedangkan di sisi lainnya justru dicemooh sebagai masyarakat kelas tiga karena, salah satunya, jarang punya uang namun keukeuh menempatkan ego di atas segalanya.

“Saya tidak dapat dipaksa mengarang untuk cari duit. Jadi, janganlah dipaksa saya untuk mencari duit dengan jalan membuat sajak-sajak itu,” komentar Chairil Anwar kepada istrinya, Hapsah.

Dalam Chairil (2016: 231), Hasan Aspahani menunjukkan bahwa pada zaman revolusi fisik sajak Chairil dihargai Rp50 uang ORI (bandingkan dengan honor sajak tahun 1950-an, latar waktu pada kisah penyair Amsir). Dalam perhitungan Hapsah, kehidupan rumah tangganya dengan Chairil akan berlangsung normal sekiranya lelaki asal Medan itu mampu mempublikasikan karyanya tiga kali dalam sebulan. Namun apa daya, Chairil memilih jalan sajak ketimbang manut pada pertimbangan logis pasangannya.

Dalam epilog Aku Ini Binatang Jalang (2007: 100) Sapardi Djoko Damono menyebut Chairil Anwar sebagai lambang kesenimanan Indonesia, menyisihkan nama-nama yang lebih senior seperti Rustam Effendi, Sanusi Pane, maupun Amir Hamzah.

Dalam karya Chairil memang melekat sajak-sajak yang penuh vitalitas, kesegaran gaya ucap yang bahkan terkesan melampaui zaman, serta permenungan yang matang. Namun pada saat bersamaan, dalam hidupnya yang singkat berkelindan juga seperangkat perkara yang identik dengan citra seniman—hal-hal yang hingga sekarang tak habis-habis melahirkan banyak anekdot: tidak punya pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan.

“Pada masa hidup penyair itu, sejumlah seniman kita—sastrawan, pelukis, dan komponis—tentunya juga menjalani hidup bohemian. Dalam bidang masing-masing, Ismail Marzuki, Affandi, dan Sudjojono tentu tidak bisa dianggap lebih rendah dari Chairil Anwar, namun dalam kehidupan bohemian penyair inilah yang dianggap mewakili mereka,” terang Sapardi.

Lepas dari soal tepat-kelirunya anggapan di atas, para penyair di seluruh negeri boleh bertempik sorak setelah UNESCO (selama Sidang Umum ke-30 di Paris Tahun 1999—hari ini 22 tahun lalu) menetapkan tanggal 21 Maret sebagai Hari Puisi Sedunia.

“UNESCO mengakui kemampuan unik puisi dalam menangkap jiwa kreatif pikiran manusia,” demikian salah satu bunyi keterangan pada situs resmi mereka. Adapun tujuan dirayakannya Hari Puisi Sedunia—di samping menghormati para penyair—yakni mendukung keragaman linguistik melalui ekspresi puitis dan meningkatkan kesempatan bagi bahasa yang terancam punah untuk didengar.

Penyair Indonesia: Surplus dalam Jumlah dan Ribut-Ribut

Dengan atau tanpa perayaan Hari Puisi Sedunia, minat orang Indonesia terhadap puisi tampaknya senantiasa semarak. Sedikitnya, hal tersebut dapat diukur lewat dua hal. Pertama, jumlah naskah dan peserta yang ikut macam-macam sayembara; kedua, ribut-ribut yang mengemuka di sosial media.

Sebagai gambaran yang pertama, pada 2015, ketika Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menggelar Sayembara Manuskrip Buku Puisi untuk pertama kalinya, naskah yang masuk mencapai 572 berkas. Sedangkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (HPI), yang dalam kurun satu dasawarsa terakhir rutin menggelar Sayembara HPI, mencatat pada 2020 lalu ada 823 buku puisi (ditulis oleh 527 penyair) masuk ke meja panitia. Diketahui, kegiatan yang sama pada tahun sebelumnya “hanya” berhasil menjaring 207 buku peserta.

Di luar sayembara, Yayasan HPI juga sempat merilis buku tebal Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017). Dalam edisi revisi, terbit dua tahun kemudian, penyair yang terdata di situ jumlahnya 1627 orang, merentang sejak tahun 1629 hingga 2018.

Adapun mengenai ribut-ribut di sosial media, para penyair Indonesia seolah tidak pernah kehabisan bahan bakar. Gerakan puisi esai Denny JA, rencana Ahmad Yulden Erwin menyusun buku 100 Penyair Kontemporer Indonesia, hingga produksi Film Puisi Binatang Jalang (sutradara meniatkan dialog-dialog dalam film ini menggunakan puisi Chairil Anwar, namun malah mengutip baris-baris curahan hati seorang blogger tak dikenal) adalah tiga contoh betapa riuhnya perbincangan di jagat maya perpuisian Indonesia.

Saut Situmorang, penyair yang sempat dimejahijaukan lantaran pendiriannya menentang gerakan puisi-esai Denny JA, menerangkan alasan mengapa para penyair terkesan lebih aktif (bahkan lebih berisik) ketimbang penulis prosa.

“Kalau kita perhatikan sejarah Sastra Indonesia, maka akan terlihat betapa para penyairlah yang memang paling kritis dari sisi intelektual. Lihat saja siapa yang dianggap sebagai tokoh-tokoh penting sejarah Sastra Indonesia sejak Angkatan Pujangga Baru. Sejak Polemik Kebudayaan pada tahun 1930-an, perdebatan-perdebatan penting sastra pun rata-rata dimotori oleh penyair. Rendra dan Wiji Thukul diakui sebagai sastrawan besar Indonesia yang sangat peduli atas persoalan sosial politik bangsanya. Sementara dari dunia prosa/fiksi cuma Pramoedya Ananta Toer yang punya nama seterkenal mereka,” beber Saut, Jumat (19/3).

Meski begitu, sosok gimbal lulusan University of Auckland, Selandia Baru, ini juga menegaskan bahwa fenomena ‘penyair berisik” bukanlah fenomena khas Indonesia. Di negeri mana pun, kaum penyair memang selalu “lebih berisik” ketimbang para penulis prosa: Walt Whitman dan Ezra Pound lalu kaum Beat di Amerika; WB Yeats, TS Eliot, para Imagis di Inggris; para penyair Surealis di Prancis; para penyair Negritude di Prancis dan Afrika; sampai Pablo Neruda di Chili.

“Mengapa? Ya, kayak yang aku bilang di atas mungkin karena para penyair memang lebih kritis secara intelektual dan berani mengutarakannya,” sambung Saut.

Lepas dari urusan ribut-ribut, surplusnya jumlah penyair dan puisi di Indonesia ternyata menimbulkan rasa prihatin dalam diri segelintir pihak. Nermi Silaban, penyair Bekal Kunjungan (2017), menulis di akun media sosialnya: “Semakin hari puisi semakin receh dan amburadul…”

Mengenai pernyataan tersebut, Saut sependapat. Menurutnya, absennya tradisi kritik sastra di Indonesia (yang diperparah dengan absennya media tentang Sastra yang baik seperti di Barat sana) membuat karya-karya populer seperti novel Andrea Hirata dan Tere Liye, juga buku biografi, perjalanan, hingga puisi-esai Denny JA secara serampangan malah dilabeli karya sastra.

“Dalam kondisi begini, masak puisi tidak terpengaruh (menjadi receh dan amburadul), kan tidak mungkin.”

Infografik Mozaik Hari Puisi Sedunia

Infografik Mozaik Hari Puisi Sedunia. tirto.id/Quita

Sedih Namun Sekaligus Penuh Gelak Tawa

Meski UNESCO menyebut puisi sebagai andalan tradisi lisan dan, selama berabad-abad, sanggup mengkomunikasikan nilai-nilai terdalam dari beragam budaya, tak dipungkiri bahwa dalam banyak hal—terutama dalam soal kekurangan uang—tingkah penyair malah tak jarang menerbitkan tawa.

Saat masih bekerja sebagai kepala toko Bata di bilangan Petojo, Jakarta Pusat, Ramadhan K.H. sering menerima kunjungan kawan-kawannya. Salah seorang yang sering datang ke situ untuk melihat-lihat sepatu adalah Toto Sudarto Bachtiar, penyair yang sajak-sajaknya kerap dibacakan dalam perlombaan (antara lain sajak “Pahlawan Tak Dikenal” dan “Gadis Peminta-minta”).

Setelah ngobrol ngalor ngidul dan menilik-nilik barang, alih-alih duit, Toto malah menyerahkan sejumlah sajak kepada Ramadhan untuk menebus sepatu yang diinginkannya. Ya, di samping kepala toko, Ramadhan juga bekerja sebagai redaktur majalah Siasat, ruang di mana Toto mempublikasikan karya-karyanya. Konon, kebiasaan menghadapi teman-teman macam itulah yang kemudian membuat Ramadhan K.H. berhenti bekerja dari Bata.

Serupa tapi tak sama, Sitor Sitomorang kerap menghapal dan membacakan sajak-sajaknya di tempat-tempat tak terduga. Alasannya praktis belaka: bagi penyair, sajak adalah senjata, lazimnya seorang samurai menyandang katana ke mana-mana.

Suatu ketika Sitor bertandang ke kediaman sejarawan J.J. Rizal. Setelah tuan rumah menyuguhi Sitor sayur asem, sebagai ungkapan terimakasih, Si Anak Hilang pun membacakan beberapa puisinya. Konon, dalam situasi darurat—saat hendak minum kopi namun uang tak ada, misalnya—upaya mempersenjatai diri ala Sitor ini terbilang cukup ampuh.

Dengan segala variannya, sikap-sikap eksentrik macam itu tetap bertahan hingga sekarang. Di Bandung, misalnya, seorang kawan pernah sengaja memanjangkan rambut, berpakaian kumal, berkenalan dengan penyanyi dangdut, melamun dan berjalan sempoyongan semalaman sepanjang Jalan Braga, kemudian bicara hal-hal berat—filsafat, makna daun jatuh dan gerimis, hingga sejarah gedung-gedung tua—semata untuk menabalkan citra dirinya sebagai penyair.

Mendengar cerita macam itu, penyair Beni Satryo berkomentar: “Orang-orang terlalu sibuk menjadi penyair, sampai lupa menulis puisi.”

Baca juga artikel terkait SASTRA atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Windu Jusuf