Menuju konten utama

Mengapa Masyarakat Harus Membela Ahli Hutan yang Dikriminalisasi?

Keterangan ahli dalam persidangan berperan dalam mengurangi tingkat kebakaran hutan. Membela mereka dari kriminalisasi berarti membela hak kita untuk hidup sehat.

Mengapa Masyarakat Harus Membela Ahli Hutan yang Dikriminalisasi?
Sejumlah relawan dari Masyarakat Peduli Api (MPA) melakukan penyekatan untuk mencegah kebakaran meluas di kawasan lereng Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat, Kamis (4/10/2018). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/wsj/18.

tirto.id - Made Ali dari Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) percaya betul keterangan ahli dalam sidang-sidang perkara perusakan hutan punya andil penting selamatkan lingkungan. Sebab menurutnya keterangan ahli memberi andil penting bagi majelis hakim mengambil keputusan.

"Kami menemukan 99 persen hotspot [titik api] dan kebakaran hutan dan lahan itu menurun pasca vonis pengadilan yang menggunakan keterangan ahli," kata Ali di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (26/10).

Ironisnya alih-alih dapat apresiasi atas keterangan yang diberikan, para ahli dalam sidang perkara lingkungan hidup malah dikriminalisasi. Contohnya ialah dua orang guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis yang kerap digunakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memberi keterangan dalam sidang kasus pembakaran hutan dan lahan gambut.

Bambang memberikan keterangan dalam kapasitasnya sebagai ahli kebakaran hutan dan lahan, sementara Basuki sebagai ahli kerusakan tanah dan lingkungan hidup. Keduanya menghitung berapa kerugian negara yang diakibatkan kebakaran lahan yang dipicu oleh ulah perusahaan.

Keahlian mereka salah satunya digunakan dalam sidang kasus pembakaran lahan gambut seluas 1.000 hektare di Kabupaten Rokan Hilir, Riau. PT Jatim Jaya Perkasa (PT JJP) duduk di kursi terdakwa dalam persidangan itu. Hasil perhitungan Bambang dan Basuki kerugian negara yang diakibatkan kebakaran lahan PT JJP sebesar Rp371 miliar. Di tingkat kasasi, Majelis Hakim Mahkamah Agung mewajibkan perusahaan perkebunan sawit itu membayar denda dan biaya pemulihan lingkungan senilai Rp491 miliar dalam putusan kasasi perkara perdata pada 28 Juni 2018.

Inti gugatan PT JPP mempermasalahkan keabsahan Surat Keterangan Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan tertanggal 18 Desember 2013 yang mendasari kesaksian Bambang sebagai ahli dari KLHK. Situs resmi PN Cibinong mengumumkan sidang perdana perkara ini digelar pada 17 Oktober 2018. Pada kasus ini, pihak JPP diwakili kuasa hukumnya, Didik Kusmiharsono Dkk.

Hasil perhitungan ini dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dalam sidang banding. Kemudian dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung. Total PT JJP diwajibkan membayar Rp491 miliar sebagai denda dan biaya pemulihan lingkungan.

Aksi Bambang tak hanya menjerat PT JJP, tercatat ada lima perusahaan yang juga harus membayar biaya pemulihan lingkungan akibat kebakaran hutan di Riau dan Jambi. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain PT Langgam Inti Hibrindo (PT LIH) yang wajib membayar Rp 192 miliar; kemudian PT National Sago Prima (PT NSP) yang harus membayar Rp1,04 triliun, PT Adei Plantation (PT Adei) and Industry, PT Palm Lestari Makmur (PT PLM), dan PT Wana Subur Sawit Indah (PT WSSI).

Namun meski Mahkamah Agung (MA) sebenarnya telah memutuskan PT Jatim Jaya Perkasa (JPP) bersalah dalam kasus tersebut. Majelis Hakim MA mewajibkan perusahaan perkebunan sawit itu membayar denda dan biaya pemulihan lingkungan senilai Rp491 miliar dalam putusan kasasi perkara perdata pada 28 Juni 2018.

Sekitar 2,5 bulan usai perkara ini inkracht, PT JPP mengajukan gugatan ke PN Cibinong. Gugatan PT JPP yang didaftarkan pada 17 September 2018 itu menuntut Bambang membayar ganti rugi senilai total Rp510 miliar!

Inti gugatan PT JPP mempermasalahkan keabsahan Surat Keterangan Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan tertanggal 18 Desember 2013 yang mendasari kesaksian Bambang sebagai ahli dari KLHK. Situs resmi PN Cibinong mengumumkan sidang perdana perkara ini digelar pada 17 Oktober 2018. Pada kasus ini, pihak JPP diwakili kuasa hukumnya, Didik Kusmiharsono Dkk.

Infografik CI Kebakaran Hutan di Indonesia

Membela Hidup Sehat

Ali menerangkan Jikalahari pernah membandingkan jumlah titik panas (hotspot) di area milik perusahaan-perusahaan sebelum dan sesudah proses hukum. Hasilnya, ada penurunan drastis setelah perusahaan-perusahaan perusak lingkungan dijerat dengan pidana.

Sebut saja PT JJP, sebelum dijerat dengan pidana —sejak 2009 hingga 2015— setiap tahunnya selalu muncul titik panas yang diindikasikan kebakaran. Paling banyak pada tahun 2013 dengan 86 titik panas dan total 168 titik panas sepanjang 6 tahun tersebut.

Namun sejak dimulainya proses hukum, angkanya menurun, pada tahun 2016 hanya terdeteksi 3 titik panas, sementata pada tahun 2017 dan tahun 2018 tidak ditemukan hotspot sama sekali di lahan korporasi sawit tersebut.

Demikian pun dengan PT Palm Lestari Makmur (PT PLM), pasca vonis tahun 2016, hanya ditemukan 2 titik panas pada tahun 2016, 2 titik tahun 2017, dan 32 titik pada tahun 2018.

Bandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Pada 2009 terdeteksi ada 452 titik panas di lahan PT PLM, tahun berikutnya ditemukan 69 hotspot, 2011 menjadi 163 hotspot, sempat menurun pada 2012 menjadi 30 hotspot dan 6 hotspot pada 2013. Namun kembali melonjak pada tahun 2014 menjadi 31 titik dan 162 titik pada tahun 2015.

Begitu juga dengan PT Langgam Inti Hibrindo, sepanjang tahub 2009 hingga 2016 sebelum dilakukannya proses hukum, terdeteksi total ada 124 titik panas di lahan PT LIH. Namun, selepas menlani proses hukum pada 2016-2017, jumlah titik panas menurun hingga total hanya 10 titik panas dalam 3 tahun.

Gejala serupa juga terjadi pada perusahaan-perusahaan lain, di mana Basuki dan Bambang memberikan keterangannya sebagai ahli. Made menganggap ada efek jera dari proses hukum terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Sehingga siapa pun patut membela Bambang yang sedang dikriminalisasi.

"Membela Pak Bambang Hero bukan saja membela orangnya, tapi juga membela kita untuk sehat dan hidup," kata Made.

Langkah Maju

Penghitungan kerugian negara akibat perusakkan lingkungan juga diterapkan dalam kasus korupsi. Basuki Wasis melakukan itu dalam persidangan kasus korupsi yang menjerat eks gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.

Nur Alam disebut melakukan korupsi dengan memberikan persetujuan usaha pertambangan kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB). Dalam keterangannya Basuki Wasis mengatakan ulah Nur Alam itu menyebabkan kerugian negara sebesar Rp2,72 triliun dari kerusakan ekologis di lokasi tambang PT AHB.

Putusan pengadilan tingkat 1 dan tingkat banding memang mengesampingkan hasil hitungan kerugian yang dilakukan Basuki. Namun pengadilan banding mempertimbangkan keterangan Basuki dan menyatakan perbuatan Nur Alam telah menyebabkan kerusakan lingkungan secara masif.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Tama S. Langkun menganggap hal itu sebagai langkah maju dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Pasalnya, putusan yang melibatkan kerugian negara dari kerusakan lingkungan merupakan barang baru di Indonesia.

"Dulu cuma bicara soal bangunan, konstruksi yang dihitung dengan konsep konstruksi, sekarang sudah mulai sumber daya alam bisa dihitung sebagai variabel kerugian negara," kata Tama di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (26/10/2018).

Lebih lanjut Tama menjelaskan penghitungan kerugian negara dari kerusakan lingkungan juga jadi penting karena korupsi sumber daya alam tidak berbatas. Berbeda dengan korupsi pengadaan barang dan jasa yang dibatasi pada jumlah anggaran.

"Itu kan sampai sumber daya alamnya habis baru korupsinya berhenti," kata Tama.

Selain itu, diharapkan pengusaha juga akan berhati-hati ketika melakukan kongkalikong dengan penguasa soal perizinan. Memasukkan kerusakan lingkungan sebagai kerugian negara juga diharapkan dapat menyelamatkan lingkungan.

Baca juga artikel terkait KERUSAKAN HUTAN atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Muhammad Akbar Wijaya