Menuju konten utama

Gugatan Perusahaan Sawit Kepada Ahli Bikin Akademisi Takut Bersaksi

Hanya majelis hakim yang layak menguji keabsahan dan keterangan saksi ahli dalam persidangan.

Gugatan Perusahaan Sawit Kepada Ahli Bikin Akademisi Takut Bersaksi
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Bambang Hero Saharjo, konferensi pers Proses Penanganan Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan sejak 2015 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Senin (08/10/2018). ANTARA/ Martha Herlinawati Simanjuntak

tirto.id - Gugatan oleh PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) terhadap Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Bambang Hero Saharjo sebesar Rp 510 miliar, menunjukkan lemahnya perlindungan hukum terhadap ahli dalam persidangan. Gugatan ini juga menimbulkan ketakutan bagi ahli untuk memberikan keterangan dalam persidangan.

Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko mengatakan, gugatan ini membuat akademisi jadi khawatir untuk membagikan pengetahuan mereka soal pokok perkara. Apabila ini terus dilakukan, bisa jadi semakin banyak ahli yang tidak mau dihadirkan di pengadilan untuk membantu membongkar kasus.

"Kami memang sangat concern dengan kasus ini. Karena ini memberikan preseden yang tidak bagus bagi penegakan hukum dan keadilan. Kami memang berharap itu tidak akan terjadi dan hakim tidak mengabulkan gugatan itu," jelas Laksana ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (12/10/2018).

Laksana menuturkan, pendapat ahli sebenarnya memang bisa diperdebatkan karena didukung dasar pengetahuannya sendiri. Namun hal ini seharusnya sudah berimbang karena pihak terdakwa pun, bisa mengajukan ahli dalam persidangan.

Memang, menurut Laksana, ketentuan ahli yang bisa diajukan ke pengadilan tidak memiliki kriteria secara spesifik. Bisa jadi ahli tersebut mempunyai keberpihakan tersendiri, tapi seharusnya pihak terdakwa, jaksa penuntut umum, atau majelis hakim bisa menggugurkan ahli sebelum dia berbicara di pengadilan.

"Itu yang selama ini kurang tegas. Itu harus dikaji memang supaya hal-hal tidak kondusif dan melelahkan ini tidak terjadi lagi," ucap Laksana.

Meski menimbulkan ketakutan bagi para akademisi, Laksana menyatakan, ia belum mengimbau kepada anggotanya untuk mempertimbangkan secara bulat, apabila mereka diajak menjadi ahli untuk memberikan keterangan dalam persidangan.

Infografik Ci Kriminalisasi saksi di persidangan

Baginya hal itu menjadi keleluasaan masing-masing. Apabila memang mereka menerima ajakan menjadi ahli dalam persidangan, Laksana berharap, para ahli sadar betul soal kompetensi dan independensi mereka. Pada sisi lain pemerintah juga diharap dapat memberi kepastian hukum bagi akademisi.

"Jadi itu menunjukan bahwa kemungkinan memang ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan melalui jalur yang mungkin tidak terpikir dalam pembuatan UU sebelumnya. Ini yang harus diperbaiki menurut saya yaitu, kepastian hukum bagi saksi ahli atau sejenisnya,” tegas Laksana.

Gugatan Kepada Saksi Ahli Harus Ditolak

Kriteria pemilihan ahli memang masih belum jelas. Dalam Pasal 179 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, ahli seharusnya memberikan keterangan kepada keadilan, bukan pada pihak tertentu. Masalahnya yang terjadi justru sebaliknya. Seringkali dalam kasus pidana, misalnya polisi, mencari keterangan ahli yang memang hanya mendukung mereka, kemudian dijadikan alat bukti yang sah.

Meski dalam UU Nomor 31/2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diatur tentang perlindungan saksi dan korban, tetapi perlindungan ahli juga masih nihil.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyatakan, gugatan terhadap Bambang Hero Saharjo, bukan berarti adanya terobosan hukum yang baru. Langkah ini dinilai menjadi penghinaan terhadap akal sehat. Sayangnya tidak ada aturan yang melarang penggugatan terhadap ahli dalam perdata dan pidana.

"Tidak ada aturan yang melarang tapi etika. Bahkan pengacara yang menganjurkan kliennya berperkara tanpa dasar hukum adalah melanggar etika," jelas Fickar pada reporter Tirto.

Lagi pula, Fickar menegaskan, pendapat ahli sebenarnya bukan pertimbangan utama majelis hakim memutuskan suatu perkara. Fickar menilai keterangan dari ahli boleh diterima ataupun tidak, tergantung majelis hakim.

Oleh sebab itu menurutnya, keterangan ahli tak cocok diperkarakan, apalagi bila dinilai sebagai fitnah atau pencemaran nama baik. Beda halnya jika mereka berbohong dan tak mempunyai dasar untuk menjadi ahli.

"Ahli tidak menentukan arah putusan. Gugatan atau tuntutan kepada ahli akan menjadi preseden buruk bagi dunia peradilan karena sedikit banyak akan berpengaruh pada keberanian seorang ahli membantu memperjelas jalannya peradilan agar tidak terjebak menjadi peradilan sesat," kata Fickar lagi.

Pendapat serupa juga diungkapkan Guru Besar Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho. Ia menyatakan gugatan memang bisa dilayangkan, tetapi harusnya tidak dilakukan. Baginya pendapat ahli hanya sebatas pendapat keilmuan.

"Saya harap hakim menolak. Keterangan ahli nilainya bebas. Hakim bisa memakai, bisa tidak. Jadi kalau memang itu diajukan, gugatan harusnya ditolak karena keterangan ahli tidak mengikat," kata Hibnu lagi.

Sedangkan juru bicara Mahkamah Agung Suhadi menegaskan pihaknya tak akan turut campur dalam perkara itu. Ia menegaskan gugatan sepenuhnya ada pada kewenangan majelis hakim untuk memutuskan, padahal perlindungan ahli belum sepenuhnya diatur dalam aturan undang-undang.

"Yang menentukan ya atau tidak itu hakim majelisnya. Kami tidak bisa menolak, pengadilan tidak bisa menolak meskipun ada dasar hukum pun. Apabila memang ada nanti majelis hakim akan mencari dan ditentukan dalam persidangan," kata Suhadi pada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait KASUS PERUSAKAN LINGKUNGAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dieqy Hasbi Widhana