tirto.id - Setiap individu yang lahir memiliki caranya sendiri untuk menyerap segala informasi termasuk dalam proses belajar. Misalnya, tak semua orang bisa menangkap pelajaran dari slide yang ditampilkan di depan kelas. Ada yang butuh berdiskusi untuk bisa menangkap hal-hal baru yang sedang dipelajari. Ada pula yang butuh membaca keras-keras atau praktik langsung.
Contoh lain, saat membeli suatu produk furnitur, ada beberapa orang yang membaca buku manual terlebih dahulu, baru setelah itu merakitnya. Ada yang mencoba merakitnya terlebih dahulu, ketika gagal, baru membuka buku manual. Ada pula yang membacanya keras-keras, atau meminta seseorang membacanya keras-keras sambil merakit furnitur.
Perbedaan itu menunjukkan ada cara belajar yang berbeda setiap orang. Menyamaratakan metode pembelajaran akan merugikan orang lain yang memiliki gaya belajar berbeda.
Gregorius Tjai Ven Lie dari Humanize Psychology Consultant percaya betul bahwa memahami gaya belajar masing-masing peserta ajar akan memudahkan proses belajar itu sendiri. Rius—begitu ia akrab disapa, biasanya mengobservasi cara belajar setiap orang yang ia fasilitasi.
Klasifikasi gaya belajar yang dipakai Rius adalah visual, auditorial, kinestetik (VAK). Ia dikembangkan oleh Walter Burke Barbe. Setiap orang memiliki kombinasi VAK yang berbeda-beda. Ada yang satu atau dua gaya lebih menonjol, ada pula yang porsi ketiganya sama besar.
Orang-orang visual akan lebih mudah menangkap pelajaran dengan gambar, grafik, simbol, hal-hal yang mengandalkan visualisasi. Orang yang memiliki gaya belajar dominan auditorial, membutuhkan diskusi untuk mempermudah ia memahami sesuatu. Sementara mereka yang cenderung kinestetik, harus melakukan suatu eksperimen untuk menstimulus pemahamannya.
Ketika belajar memasak, misalnya. Orang visual akan mengikuti resep yang telah dituliskan. Orang auditorial lebih senang menelepon seseorang lalu menanyakan resepnya. Sementara orang kinestetik, akan langsung bereksperimen mencoba resep tersebut.
Ada banyak cara untuk mengetahui gaya belajar seseorang. Cara paling akurat tentu dengan tes khusus. Peserta akan menjawab sejumlah pertanyaan, hasil dari jawaban itu kemudian menunjukkan cara belajarnya. Hasil tes tersebut biasanya berbentuk persentase.
Selain dengan melakukan tes di awal proses belajar, ia juga mengobservasi dengan ice breaking. “Ada beberapa ice breaking yang bisa dijadikan tools untuk melihat gaya belajar seseorang,” kata Rius.
Dia lalu menceritakan tentang permainan Beat, sebuah permainan yang mengandarkan gerakan dan tepukan tangan. Ada sepuluh paket ketukan berbeda dalam permainan itu, mulai beat 1 sampai dengan beat 10. Semakin lama, gaya ketukan semakin kompleks.
Di awal pengenalan permainan, Rius menampilkan slide yang menampilkan simbol ketukan. Misal simbol segitiga berarti kedua tangan saling bertepuk, simbol lingkaran berarti kedua tangan menepuk meja atau paha, dan seterusnya.
Pada awalnya, semua orang akan bergerak mengikuti petunjuk. Setelah mencoba beberapa kali ketukan dengan menyontek slide, Rius akan mematikan layar. Di saat itu lah Rius bisa mengamati gaya belajar orang-orang yang sedang difasilitasinya.
“Mereka yang visual, akan berhenti begitu slide dimatikan, mereka akan kebingungan. Tetapi orang auditorial akan tetap bergerak karena mereka sudah menemukan irama ketukannya. Orang kinestetik tidak akan berhenti bergerak. Walaupun gerakan mereka salah, mereka akan mencoba terus,” jelas Rius.
Menurutnya, seorang pengajar, entah itu guru ataupun dosen perlu memahami gaya belajar mahasiswanya. Ini penting untuk memastikan semua materi berhasil ditangkap dengan baik oleh setiap orang. Pengajar yang hanya mengandalkan metode ceramah tentu sebuah mimpi buruk bagi orang-orang visual.
Setiap orang juga harus mengetahui tipe belajarnya. Hal ini penting untuk mempermudah proses pelajaran. Mereka yang sudah mengetahui bahwa tipe belajarnya cenderung auditorial, tidak akan berlama-lama membaca slide, mereka akan mencari teman berdiskusi agar materi tersebut melekat.
Rius sendiri memiliki gaya belajar auditorial, dia lebih senang ceramah, bercerita, berdiskusi. Akan tetapi, dia menyadari betul, hal itu tak akan membantu orang-orang visual dan kinestetik. Oleh karena itu, setiap menjadi fasilitator, Rius selalu berusaha menyampaikan sesuatu dengan beragam metode. Dia menggunakan slide, metode diskusi, dan metode membuat presentasi dengan kertas dan spidol.
“Kalau setiap tenaga pengajar memahami ini dan mau mengimplementasikannya, proses belajar mengajar tentu akan lebih efektif,” kata Rius.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Suhendra