tirto.id - Sebelum muncul konsol dan perangkat portabel gim selama tiga puluh tahun belakangan, orang mengenal mesin dingdong, istilah Indonesia untuk gim arcade. Sejak 1972 di negeri asalnya, mesin arcade yang dioperasikan dengan koin ini dipasang di ruang-ruang publik seperti pusat perbelanjaan, bar, bioskop, dan lain sebagainya.
Semuanya gara-gara Atari, perusahaan mesin gim yang didirikan pada 1972 dan memperkenalkan permainan simulasi ping pong bernama Pong. Sebagaimana dikisahkan oleh Harold Goldberg, dalam buku All Your Base Are Belong to Us: How Fifty Years of Videogames Conquered Pop Culture (2011) yang nukilannya dimuat di Vanity Fair, mesin Pong ditempatkan pertama kalinya di Kedai Andy Capp yang berlokasi di Sunnyvale, California, AS.
Tak hanya Pong yang jadi primadona dingdong. Space Invaders, menurut serial dokumenter produksi kanal G4tech TV, juga tak kalah populer. Gim tembak-menembak yang dirilis pada 1978 ini adalah produk perusahaan Jepang Taito dan diedarkan di kawasan Amerika Utara oleh Midway.
Space Invaders membawa perubahan penting dalam industri gim arcade, yakni memperkenalkan sistem skor sehingga sesama pemain bisa saling bersaing. Selain itu, Space invaders merupakan gim pertama yang menampilkan gambar dua dimensi. Tugas pemain: menembaki alien dengan senjata laser dari sebuah pesawat.
Gim dingdong populer lainnya adalah Pac-Man. Saking populeranya Pac-Man kini dirayakan sebagai bagian dari budaya pop dunia, yang hadir di lagu rap Pac-Man oleh Gucci Mane & Waka Flocka, motif jas Bret Dier saat menghadiri MTV Movie Awards 2017, hingga dalam julukan Pac-Man yang disematkan pada petinju Manny Pacquiao.
Dilansir dari Lifewire, Pac-Man dirilis pada 1979 di Jepang oleh produsen gim bernama Namco. Kesuksesan Pac-Man di Jepang membuat Namco ingin mengedarkannya di Amerika Serikat. Masalahnya, Namco tak punya saluran distribusi di negeri Paman Sam sehingga mereka memberikan lisensipada developer Midway. Permainan Pac-Man berlangsung dalam sebuah labirin yang terdapat titik-titik. Tugas Pac-man sebagai karakter utama adalah memakan titik-titik tersebut sekaligus menghindar dari kejaran para hantu. Pemain yang berhasil memakan titik terbanyak akan mendapatkan skor tertinggi.
Bisnis Nostalgia
Di Indonesia, sebelum masuknya konsol gim portabel seperti Nintendo, Sega, PlayStation, hingga Xbox ke rumah-rumah, dingdong merajai lanskap gim. Sebagaimana di AS, mesin dingdong banyak ditemukan di bioskop dan mal. Tak jarang pula di tempat-tempat khusus bermain gim.
Istilah “dingdong” sendiri, yang tak diketahui asal-usulnya, merujuk pada mesin maupun tempat bermain gim itu sendiri.
“Tahun 1990an, anak-anak biasanya main permainan tradisional,” ujar Mohamad Hadi Prasetyo, dosen pada STIE Ekuitas, Bandung ketika dihubungi Tirto. Pras mengaku tergila-gila dengan dingdong ketika masih remaja.
Gim seperti Contra, Streer Fighter, Donkey Kong, Daytona USA adalah favorit Pras kala itu. Ia biasa bermain dingdong pada pukul 12.00 siang hingga sekitar jam tiga sore.
“Lebih aman main dingdong di tempat seperti SS Megaworld Senayan dan Bintaro Plaza. Enggak ada preman yang malak koin,” ujar Pras. Ia menambahkan bahwa di dua tempat itu, kompetisi Daytona USA seringkali digelar.
Bermain dingdong membuat Pras ketagihan. Tiap kali pergi ke mal bersama keluarga atau teman, ia selalu meluangkan waktu untuk menyambangi game center. Namun usia dan pendidikan akhirnya membuat Pras berhenti main dingdong.
“Gue main dingdong itu paling sering waktu SMP, tahun 1997-2000. Rangking gue tiga dari belakang dan hampir enggak lulus. Akhirnya gua berpikir bahwa main game itu bagus jika porsinya cukup karena bisa mengurangi stres. Tapi kalau kelebihan justru bahaya,” kata Pras.
Saat ini, di Indonesia, dingdong sudah tidak semarak dahulu, bahkan bisa dibilang barang langka. Walaupun gim arkade masih bisa dimainkan di game center seperti Timezone, Amazone, atau Fun World, istiliah dingdong tidak lagi dikenal oleh generasi muda. Mesin yang digunakan juga jauh lebih modern dari mesin dingdog era 1990an.
Kelangkaan mesin dingdong era 1990-an membuat Rizki dan Ramadani M, dua dari tujuh pendiri RGCI (Republic Games & Collector Indonesia) mengoleksi mesin dingdong.
“Tahun 2014 gue dan teman mulai coba-coba koleksi dingdong. Saat itu, mesin yang gue dapat adalah gim Virtua Fighter 3. Kondisinya seperti barang sampah. Setelah cari informasi dan teknisi untuk restorasi dan beres, akhirnya gue umumkan dingdong itu hingga ramai di komunitas,” ujar Dani saat ditemui di City Plaza Jatinegara, Jakarta Timur.
Menurut Dani, seorang kolektor mesin dingdong wajib paham sejarah sebuah gim supaya punya ikatan emosional yang kuat dengan barang-barang koleksinya. Hal serupa juga dinyatakan oleh Rizki saat ditemui Tirto di tempat yang sama.
“Sebagai kolektor tadinya gue pikir koleksi mesin dingdong itu mustahil. Ukurannya besar, cara merawatnya juga enggak banyak yang tahu. Orang pasti mikir dua kali untuk koleksi. Tapi dingdong ini ‘kan bagian dari masa kecil kami yang enggak bisa dihapus,” ujar Rizki yang mengaku jadi kolektor mesin dingdong untuk menghilangkan stress.
Menurut Rizki dan Dani RGCI adalah sebuah komunitas yang mewadahi interaksi para kolektor mesin gim. Koleksi para anggotanya luar biasa beragam, dari konsol retro hingga mesin generasi terbaru. Mesin dingdong yang diekspos oleh Dani pada 2014 membuat para kolektor lain ingin juga mengkoleksi dingdong. Para kolektor ini tiba-tiba sadar bahwa mesin dingdong masih bisa dicari.
Tak hanya itu, animo para kolektor ini juga terendus sejumlah pedagang yang menjual mesin dingdong.
Dani Ramlan, seorang penjual mesin dingdong, menuturkan kepada Tirto bahwa banyak orang yang masih memelihara kenangan terhadap dingdong. Nostalgia itulah yang akhirnya membuat Ramlan memutuskan untuk berjualan mesin dingdong.
“Pasarnya adalah orang-orang yang punya cerita tersendiri tentang dingdong. Seperti orang-orang yang mempunyai cerita ketika bolos sekolah karena bermain dingdong. Karena itu, mereka mempunyai keinginan untuk punya dingdong dirumah sendiri untuk menghadirkan memori itu,” ucap Ramlan via pesan WhatsApp.
Ramlan mendapat mesin dingdong dari sejumlah game center yang telah gulung tikar di seantero Pulau Jawa. Kendati kesulitan mendapatkan spare part seperti televisi tabung yang sudah jarang dijual di toko elektroni, Ramlan mengaku bisnis juala dingdong adalah pekerjaan yang menguntungkan.
Namun Ramlan juga mengakui bahwa bisnisnya punya resiko tersendiri. Kadang setelah terkirim ke luar kota, mesin dingdong mati total sehingga ia terpaksa menyusul jauh-jauh ke lokasi pelanggan.
“Saya mendapat penghasilan bersih sekitar 10-30% dari setiap penjualan. Untuk satu unit dingdong yang sudah di-rekondisi dihargai Rp8.500.000. Isinya 500 gim. Saya selalu mengusahakan kualitas yang terbaik untuk pelanggan, seperti respon cepat jika ada pelanggan yang bertanya,” pungkas Ramlan, yang mengaku membagi-bagikan keuntungan bisnisnya ke teman-temannya yang membantu proses pembuatan/reparasi unit dingdong.
Penulis: Fikri Muhammad
Editor: Windu Jusuf