tirto.id - Pada 14 Juli 2017 lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 11 Domain Name Server (DNS) yang terkait dengan Telegram. Pemblokiran tersebut dilakukan Kominfo dengan mengirimkan surat elektronik bersubyek “271. [Sangat Segera] Penambahan Database TRUST+ Positif 14 Juli 2017” kepada para pengelola Internet Service Provider (ISP).
Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika, mengkonfirmasi pemblokiran yang dilakukan instansi yang dipimpinnya tersebut. "Iya betul ditutup karena mengandung konten radikalisme seperti mengajarkan orang cara membuat bom," ucapnya.
- Baca: Kominfo Blokir Telegram
Diblokirnya Telegram bukan tanpa alasan. Platform pesan instan tersebut dikenal sebagai platform yang disukai kalangan teroris dalam berkomunikasi. Riset yang dipublikasikan The Middle East Media Research Institute (MEMRI) mengungkapkan setidaknya ada 3 alasan Telegram, terutama fitur “Channels” di platform tersebut, disukai jihadis.
Pertama, daftar orang-orang yang menjadi pengikut di kanal Telegram tidak diungkap kepada publik. Jika seseorang menjadi pengikut kanal jihadis, tidak ada orang lain yang mengetahui tindakan tersebut. Hal tersebut berkebalikan dengan sistem media sosial seperti Twitter yang membuka secara luas siapa-siapa saja yang menjadi pengikut suatu akun di platform itu.
Kedua, pengguna Telegram yang menjadi pengikut suatu kanal jihadis bisa meneruskan pesan dari kanal jihadis itu ke pengguna lainnya. Terakhir, Telegram, melalui layanan kanalnya, hanya memungkinkan tranmisi satu arah. Tidak ada interaksi yang bisa dilakukan selayaknya media sosial Twitter yang bisa saling berbincang atas suatu twit yang diunggah pengguna Twitter.
Meskipun pemblokiran tersebut bertujuan untuk menutup saluran komunikasi yang digunakan teroris, sejatinya pemblokiran tidak akan berdampak terlalu jauh bagi para penjahat teroris tersebut. Para pelaku teror tidak hanya terpaku pada satu alat untuk berkomunikasi antara sesamanya. Sebagaimana diwartakan Forbes, serangan di Perancis yang terjadi Jumat malam di bulan November 2015 lalu, yang menewaskan setidaknya 127 orang dan mengakibatkan lebih dari 300 orang terluka, dilakukan dengan memanfaatkan PlayStation 4 sebagai saluran komunikasi para peneror saat merancang aksi keji tersebut.
Atas digunakannya PS4 oleh para teroris merencanakan aksinya tersebut, Menteri Dalam Negeri Belgia Jan Jambon mengatakan, “PlayStation 4 lebih sulit dilacak daripada WhatsApp.”
Meskipun belum diketahui secara jelas bagaimana teknis penggunaan PS4 sebagai sarana komunikasi untuk merancang serangan, diketahui PS4 memang memiliki fitur yang memungkinkan pengguna untuk saling berkomunikasi dengan bantuan konsol gim paling populer tersebut.
Pengguna PS4, bisa mengirimkan pesan memanfaatkan PlayStation Network (PSN) di konsol gim itu. Pengguna PSN sendiri, menurut data yang dipublikasikan Statista, berada di angka 150 juta per September 2013 lalu. Selain memanfaatkan pengiriman pesan melalui PSN, pengguna pula bisa saling berkirim pesan memanfaatkan fitur chat yang tersedia di dalam sebuah gim yang bisa dimainkan di konsol tersebut.
Gim, terutama gim online, memang memiliki kemungkinan digunakan para pelaku teror untuk dimanfaatkan sebagai jalur komunikasi alternatif selain menggunakan aplikasi-aplikasi pesan instan semisal Telegram. Berbagai gim online, memiliki fitur chat yang sejatinya, dibuat untuk memudahkan para gamer untuk berkomunikasi. Namun, fitur tersebut juga menjadi peluang bagi para pelaku teror untuk dimanfaatkan sebagai saluran komunikasi perencanaan aksi terorisme.
Selain memanfaatkan fitur chat yang ada di dalam gim online, karena gim bisa dikatakan sebagai dunia virtual, berbagai macam pendekatan bisa dilakukan untuk saling bertukar pesan tanpa memanfaatkan fitur chat. Manuver, gerakan, dan berbagai tindakan karakter virtual di galam gim online bisa dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi tanpa perlu sang teroris menuliskan apa yang dipesankan terhadap lawan komunikasinya.
Sebuah dokumen yang dibocorkan oleh Edward Snowden pada 2013, sebagaimana diwartakan ProPublica, menunjukkan gim online menjadi sarana potensial untuk dimanfaatkan para penjahat teroris untuk saling berinteraksi. Bocoran tersebut mengungkapkan bahwa National Security Agency (NSA) dan Inggris, melalui agen-agen mereka, menyusup pada gim online berjudul World of Warcraft dan Second Life. Baik NSA maupun Inggris menduga gim online yang cukup populer tersebut dimanfaatkan oleh kalangan teroris untuk mengadakan pertemuan virtual.
Atas aksi penyusupan di gim online populer tersebut, baik NSA (Pemerintah Amerika Serikat) dan Inggris, diduga berhasil mendapatkan jutaan informasi dari para gamer di seluruh dunia.
Aksi pertama agen pemerintahan menyusup pada suatu gim online terjadi pada 2007. Kala itu, pejabat NSA diketahui melakukan kontak dengan petinggi Linden Lab, perusahaan di balik gim online Second Life. Selanjutnya, pada bulan Mei 2017, merujuk informasi internal NSA yang bocor, salah satu staf institusi intelijen tersebut mengatakan, “[gim online] Second Life telah membuktikan bahwa jaringan sosial di dunia virtual adalah kenyatan. Ayo kemari Cory [Cory Ondrajka, eksekutif Linden Lab], katakan mengapa bisa begitu!”
Setelah NSA menyusup pada gim online di tahun 2007. Pada 2008, agensi mata-mata Inggris GCHQ kemudian mengikuti langkah tersebut dengan turut masuk ke dunia gim online Second Life. Operasi penyusupan pada gim online tersebut oleh pihak mata-mata Inggris diberi nama “Operation Galician.” Salah satu tujuan dari Operation Galacian, selain sebagai bentuk kewaspadaan terhadap aksi terorisme, adalah untuk memberi bantuan pada pihak kepolisian Inggris mengusut kasus larinya para penjahat pencurian kartu kredit.
Selain dari sisi teknis, gim online yang memungkinkan pemanfaatan di Indonesia gim online terbilang mudah didapatkan oleh masyarakat. Salah satu sarana utama mengakses gim online di Indonesia adalah dengan memanfaatkan warung internet atau warnet. Selain menyajikan komputer-komputer yang bisa dipakai untuk mengakses dunia maya, warnet umumnya juga menjadi “game center” yang bisa dimanfaatkan penggunanya.
Data dari Badan Pusat Statistik mengungkapkan di tahun 2014, terdapat 10.884 warnet yang tersebar di seluruh Indonesia. Warnet-warnet tersebut menjadi lokasi yang berpeluang dimanfaatkan jihadis untuk memainkan gim online guna berkomunikasi dengan sesamanya.
Namun, penggunaan fitur chat di gim online di kalangan pelaku teror diragukan oleh Peter W Singer, penulis buku Cybersecurity and Cyberwar: What Everyone Need to Know. Singer mengungkapkan, “[Gim online] dibuat dan dioperasikan perusahaan untuk memperoleh uang, jadi identitas dan aktivitas para pemainnya dilacak oleh perusahaan tersebut.”
Senada dengan Singer, Al Chaidar, pengamat terorisme, mengungkapkan bahwa penggunaan fitur chat bagi kalangan teroris hanya berlaku di kalangan tertentu semata. “Sangat kurang, itu hanya kasus-kasus tertentu saja,” ucap Al Chaidar.
Al Chaidar menambahkan, “[Fitur chat di gim, digunakan kelompok teroris] yang berstruktur. Tapi kan yang tidak berstruktur, seperti lone wolf, itu dikontak langsung dan direkrut, disuruh lewat Telegram.”
Selain itu, menurut Al Chaidar, meskipun Telegram diblokir oleh Kominfo, aplikasi pesan instan tersebut masih menjadi favorit di kalangan teroris. “Saya kira masih Telegram. Karena yang ditutup itu kan cuma Telegram yang desktop untuk komputer. Sementara yang Telegram mobile untuk di telpon [aplikasi ponsel pintar] belum. Justru yang paling banyak digunakan [aplikasi] di Android itu,” ungkap Al Chaidar.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani