tirto.id - Kementerian Komunikasi dan Informatika, meminta Internet Service Provider (ISP) memblokir 11 situs yang dinilai mengandung konten ilegal. Permintaan itu tertuang dalam sebuah rilis melalui surat elektronik bersubjek “271. [Sangat Segera] Penambahan Database TRUST+ Positif 14 Juli 2017”. Dalam rilis tersebut, Kominfo meminta para ISP segera menambahkan daftar ke-11 situs tersebut ke dalam sistem filter mereka.
Adapun, ke-11 situs yang diminta diblokir tersebut merupakan situs-situs yang berhubungan dengan Telegram, aplikasi pesan instan selayaknya WhatsApp. Ke-11 situs yang diminta diblokir tersebut adalah : t.me, telegram.me, telegram.org, core.telegram.org, desktop.telegram.org, macos.telegram.org, web.telegram.org, venus.web.telegram.org, pluto.web.telegram.org, flora.web.telegram.org, flora-1.web.telegram.org.
Program pemblokiran tersebut, masuk ke dalam sebuah sistem mekanisme bernama TRUST+ Positif. TRUST+ Positif merupakan sebuah mekanisme server terpusat yang menjadi acuan informasi-informasi yang dapat ataupun tidak diakses oleh masyarakat. Dalam lama resmi TRUST+ Positif, disebutkan bahwa diciptakannya mekanisme tersebut ditujukan untuk menciptakan internet aman dan sehat, melindungi masyarakat terhadap nilai atau norma yang tidak sesuai bangsa Indonesia, serta melakukan penghemetan terhadap pemborosan penggunaan akses internet.
Noor Iza, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika, saat dimintai konfirmasinya, membenarkan perihal permintaan yang dibuat oleh Kominfo tersebut.
Saat dihubungi terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara membenarkan penutupan situs tersebut. "Iya betul ditutup karena mengandung konten radikalisme seperti mengajarkan orang cara membuat bom," ujar Rudiantara kepada Tirto.
Rudi mengungkapkan pihaknya telah memberi “karpet merah” kepada tiga lembaga untuk menginisiasi pemblokiran terhadap situs-situs yang mengandung konten radikalisme dan terorisme. Ketiga lembaga itu adalah kepolisian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Badan Intelejen Negara (BIN). “Kominfo memberi ‘karpet merah’ kepada tiga institusi: kepala polri, BNPT, dan BIN,” ujar Rudi
“Karpet Merah” yang dimaksud Rudi adalah kemudahan bagi tiga institusi tersebut dalam mengusulkan pemblokiran situs yang mengandung konten radikalisme dan terorisme. Artinya proses pemblokiran tidak perlu melalui penelitian tim Panel Penilai sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Nomor 90 tahun 2015. “Proses pembatasan aksesnya (blokir) tidak berkepanjangan. Bisa cepat tidak perlu ke saya,” katanya.
Namun Rudi belum bisa memastikan mana tiga institusi tersebut yang menginisiasi pemblokiran sejumlah situs milik Telegram. "Kalau itu (yang menginisiasi) saya belum tahu," ujarnya.
Selain memblokir situs-situs milik Telegram, Rudi mengatakan pihaknya juga sedang mempertimbangkan penutupan aplikasi Telegram. Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan adalah karena Telegram tidak memiliki perusahaan perwakilan di Indonesia. Sehingga, kata Rudi, Telegram tidak terikat pada aturan hukum yang berlaku di Tanah Air.
“Kalau kerjasamanya tidak bisa ditingkatkan, service levelnya tidak bisa diperbaiki, kami mempertimbangkan untuk menutup platformnya. Mereka tidak punya kantor di sini. Platform lain ada,” ujarnya.
Namun, sebelum menutup Telegram, Rudi menyatakan pihaknya akan berkomunikasi terlebih dahulu dengan pihak Telegram. “Semua platform kami komunikasikan supaya lebih baik,” katanya.
Sementara itu, Donny BU, Digital Literacy Officer dari ICT Watch, lembaga swadaya masyarakat yang menginisiasi lahirnya Internet Sehat mengungkapkan bahwa seharusnya bukan Telegram yang diblokir oleh pemerintah, melainkan cukup individu atau kelompok yang menggunakan platform tersebut secara negatif.
"Tinggal lapor ke Telegramnya, pengelolanya. Dikomunikasikan dulu ke penyelenggaranya bahwa ini digunakan terorisme (tidak langsung diblokir)," ujar Donny. Ia melanjutkan, “bisa saja ditutup kanal-kanal komunikasinya (yang digunakan teroris), jangan keseluruhan (paltform yang diblokir).”
Dalam argumennya, Donny mengungkapkan bahwa masalah terletak pada penggunanya, bukan aplikasi atau platformnya yang digunakan oleh individu atau kelompok dengan maksud-maksud terorisme. “Yang dimasalahin kan grupnya. Kalau grupnya diindikasikan (menyalahgunakan platform untuk tujuan teroris), kan bisa diminta ditutup ke penyelenggaranya. Orang-orangnya aja diproses. Itu lebih baik,” ungkap Donny.
Selain itu, Damar Juniarto, aktivis dari Safenet mengungkapkan bahwa pemblokiran yang dilakukan, justru mencederai proses demokrasi yang telah ada. Damar kemudian membandingkan dengan Jerman yang lebih menempuh jalur denda bagi akun-akun penyebar hoax atau berita palsu dibandingkan memblokir.
Selain itu, Damar juga menyoroti bahwa platform Telegram bukan hanya dipakai oleh kalangan terorisme. Segala macam masyarakat atau kelompok, menggunakan platform tersebut. “Safenet pake telegram juga apakah safenet jadi teroris juga,” ungkap Damar. Ia menambahkan, “platform (Telegram) menampung segala macam, enggak juga terorisme.”
Secara tegas, Damar mengungkapkan bahwa cara-cara blokir merupakan cara instan yang tidak dipikir masak-masak oleh pemerintah. “Tidak dipikir panjang, hanya ambil jalur pendek, cara instan,” ungkap Damar.
Terakhir, Damar menyoroti langkah Kominfo yang terasa kurang tepat karena masalah Terorisme seharusnya bukanlah wewenang kementerian tersebut, meskipun ada aplikasi seperti Telegram yang digunakan oleh para jihadis menggalang kekuatannya.
Lantip anggota grup telesejarah berbasis aplikasi Telegram menyayangkan langkah Kominfo memblokir situs-situs milik Telegram.
Menurutnya alasan pemerintah bahwa situs Telegram kerap digunakan untuk menyebarkan paham radikalisme dan terorisme tidaklah beralasan. “Itu alasan tidak masuk akal memblokir. (Jangan) karena ada satu tidak sesuai kemudian semua disalahkan,” kata Lantip.
Lantip memperkirakan dirinya sudah bergabung dalam grup telesejarah sejak tiga tahun lalu. Selama kurun waktu tersebut dia yang berprofesi sebagai programmer merasakan banyak sekali manfaat penting. “Di telesejarah mendiskusikan semua sejarah baik nasional maupun internasional. Masalah kesehatan, politik,” katanya. “Itu ada banyak anggotanya 2100.”
Sebagai seorang programmer, Lantip melihat Telegram memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan aplikasi komunikasi lain. Para pengguna misalnya membuat program yang otomatis bekerja dalam sistem komputer (bot).
“Kepakai banget sebagai layanan messenger yang enteng. Mudah dipakai. Kemudian karena developer yang friendly kami programmer bisa bikin bot yang bisa rekam diskusi. Kalau di WhatsApp tidak dibuka,” papar Lantip.
Alih-alih menutup Telegram karena kerap menjadi sarana penyebar radikalisme dan terorisme, Lantip menyarankan pemerintah lebih serius mencerdaskan pengguna internet. Pemerintah juga mesti menyadari masih banyak orang yang menggunakan internet untuk hal bermanfaat. “Kita (masyarakat) sudah dewasa. Bisa mawas diri. Lebih baik pemerintah mencerdaskan masyarakat dalam berinternet. Bukan blokir san blokir sini,” ujarnya.
Telegram, sebuah aplikasi pesan instan selayaknya WhatsApp, memang telah dikenal sebagai platform yang dicintai oleh teroris seperti ISIS. Dalam sebuah laporan yang dipublikasikan oleh The Middle East Media Research Institute (MEMRI), semenjak Telegram membuka fitur “Channels” pada September 2015, sebuah fitur penyiaran mirip seperti Broadcast Message milik BBM atau media sosial seperti Twitter, platform tersebut kian digandrungi oleh kalangan teroris.
Fitur tersebut, memungkinkan para jihadis membuka kanalnya masing-masing di platform tersebut. Dari kanal itu, propaganda seputaran jihad, tutorial membuat senjata, melakukan serangan siber, atau perintah membunuh, disebar kepada para pengikutnya yang men-follow kanal tersebut.
Penggunaan platform tersebut memang bukan tanpa sebab. Selain dianggap lebih aman, laporan MEMRI menyebut bahwa setidaknya ada 3 alasan Telegram, terutama fitur “Channels” disukai jihadis. Pertama, daftar orang-orang yang men-follow kanal di Telegram, tidak diungkap kepada publik. Jika seseorang mem-follow kanal jihadis, tidak ada orang lain yang mengetahui tindakan tersebut. Hal tersebut, berkebalikan dengan sistem media sosial seperti Twitter yang membuka secara luas, siapa-siapa saja yang mem-follow suatu akun di platform itu. Kedua, pengguna Telegram yang men-follow suatu kanal jihadis, bisa meneruskan pesan dari kanal jihadis itu, ke pengguna lainnya. Terakhir, Telegram, melalui layanan kanalnya, hanya memungkinkan transimi satu arah. Tidak ada interaksi yang bisa dilakukan selayaknya media sosial Twitter yang bisa saling berbincang atas suatu tweet yang diunggah pengguna Twitter.
Salah satu kanal yang populer di Telegram yang berhubungan dengan ISIS adalah sebuah kanal bernama Nasher. Kanal tersebut, mengklaim diri sebagai saluran resmi publikasi ISIS. Dari kanal itu, info-info seputaran ISIS, bisa dengan mudah didapatkan oleh para pengikutnya.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Ahmad Zaenudin