tirto.id - Forum Anomali yang beranggotakan empat perguruan tinggi yakni Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjajaran, dan Universitas Paramadina menyerukan Presiden Joko Widodo sebagai pembunuh demokrasi.
Menurut Ketua BEM UI Nonaktif, Melki Sedek Huang, dalam keterangannya menyebut Jokowi yang hadir karena reformasi dan dipilih karena demokrasi kini menjadi orang yang membunuh demokrasi dan semangat reformasi.
Tonggak pembunuhan demokrasi terlihat dari berbagai sikap Jokowi. Seperti mendukung pencalonan putra sulungnya Gibran Rakabumimg Raka sebagai calon wakil presiden dan Boby Nasution, menantunya, menjadi kepala daerah. Belum lagi diperparah dengan praktik penyelewengan konstitusi di Mahkamah Konstitusi.
“Kini Presiden Jokowi berhasil menyempurnakan pemberangusan demokrasi itu dengan kemenangan putranya di Pilpres 2024 yang penuh dengan kejanggalan,” tulis Melki dalam keterangan yang dikirim, Senin (11/3/2024).
Lebih lanjut, Forum Anomali mengamati setidaknya tiga hal yang menjadi tonggak pembunuhan terhadap demokrasi di Indonesia, yaitu praktik nepotisme berikut politik dinasti, praktik autocratic legalism, dan praktik pembungkaman masyarakat sipil.
Pertama, praktik nepotisme secara nyata mampu kita saksikan di periode kedua Presiden Jokowi. Pencalonan anak dan menantu Jokowi dalam posisi-posisi politik menandakan hilangnya marwah partai politik yang selama ini melakukan fungsi kaderisasi dan edukasi politik.
"Praktik nepotisme politik dinasti ini pun menjadi momok menakutkan bagi masa depan demokrasi setelah dipraktikkan Presiden Jokowi terang-terangan di Pilpres 2024 ini,” ucap dia.
Kedua, praktik autocratic legalism ditunjukkan dengan nihil partisipasi publik dalam pembuatan peraturan dan praktik yang membuat otoritarianisme menjadi sah dengan dibungkus oleh hukum yang legal telah marak dijumpai di akhir kekuasaan Presiden Jokowi.
Sebut saja, menurut dia, Perppu Cipta Kerja, Revisi UU ITE, RKUHP, RUU DKJ, UU IKN, dan masih banyak lagi produk hukum yang dibuat sembarangan.
Ketiga, pembungkaman dan intimidasi terhadap masyarakat kritis pun menjadi salah satu alasan matinya demokrasi di akhir kekuasaan Presiden Jokowi. Alih-alih menganggap kritik sebagai vitamin, obat penyegar kekuasaan, dan checks and balances, kini kritik dan masyarakat kritis malah dianggap sebagai musuh negara.
Proses hukum terhadap Haris-Fatia, misalnya, penangkapan pada banyak demonstran di beberapa daerah, intimidasi luar biasa pada banyak pimpinan gerakan mahasiswa, penekanan pada banyak insan pers yang dilakukan oleh organ-organ kekuasaan jelas menandakan lemahnya keseriusan Presiden Jokowi untuk menjaga demokrasi.
Forum Anomali menghimbau Presiden Jokowi untuk segera bertobat. Kesalahan dan kekeliruan negara dalam menjaga juga mempertahankan demokrasi sudah berlebihan. "Kami menunggu komitmen dan langkah nyata rezim Jokowi untuk membuat demokrasi kita berumur panjang."
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Dwi Ayuningtyas