tirto.id - Beberapa hari setelah komedian NN ditangkap, beredar kabar bahwa putri bungsunya yang masih duduk di bangku sekolah dasar terpaksa pindah sekolah karena mengalami perisakan dari rekan-rekannya.
Kepala Sekolah tempat anak NN menuntut ilmu, Sam, membantah putri Nunung yang duduk di kelas 4 SD itu mendapat perundungan dari rekan sekolahnya. Kata Sam, di sekolahnya tak ada kegiatan belajar mengajar di hari Sabtu dan aturan tersebut sudah berlangsung selama sepuluh tahun.
Sam juga menyampaikan bahwa sekolahnya telah melakukan upaya pencegahan terhadap aksi perundungan yang mungkin terjadi kepada putrinya setelah NN dan suaminya ditangkap atas penyalahgunaan narkoba.
“Makanya kita lakukan koordinasi dengan KPAI, dengan adanya berita yang sedikit agak miring, maka dari itu kami waspada untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dan memberikan pemahaman terhadap teman sebaya yang lain bahwa seperti yang disampaikan oleh Bu Rita tadi bahwa dosa itu tidak ada dosa turunan ke anak,” ujar Sam.
Meski begitu, Sam mengaku bahwa sekolah baru berkoordinasi dengan orangtua murid lain. Ia juga memaparkan tindakan penanganan langsung terhadap anak NN, yakni dengan berkunjung ke tempat tinggal putri NN dan menemui walinya. Selain itu, sekolah juga mengaku telah berupaya mencegah perisakan siber terhadap anak dari NN.
Anak dan Stigmatisasi Perbuatan Orangtua
Terlepas dari kasus NN, kita kerap menjumpai adanya perundungan terhadap anak pesohor yang bermasalah, misalnya Bliqis Khumairah Razak, anak dari Ayu Ting Ting; Safeea Ahmad, anak dari Ahmad Dhani dan Mulan Jameela. Atau stigmatisasi terhadap anak pelaku kejahatan, seperti anak teroris.
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (PDF), pada Pasal 59 tertulis bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lain berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak, salah satunya adalah anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.
Di undang-undang juga jelas tercatat bahwa anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait kondisi orangtuanya itu wajib diberikan konseling, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial.
Wakil Ketua Komisioner KPAI, Rita Pranatiwi, menyampaikan bahwa dalam kasus NN, pendampingan yang akan diberikan oleh KPAI tergantung dari kondisi psikologis sang anak.
“Pendampingan sesuai dengan kondisi anak, kalau enggak kenapa-kenapa, ya enggak usah diapa-apakan. Sekarang mungkin belum terasa karena baru beberapa hari,” ujar Rita di Kantor KPAI, Jakarta Pusat, Selasa (23/7/2019).
Menurut Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, upaya efektif untuk menghindari perundungan, khususnya bagi anak pesohor, dimulai dari orangtua. Sebagai figur publik, mereka diwajibkan untuk bijak dalam menggunakan media sosial mereka.
Tak hanya itu, Retno berpendapat bahwa kedekatan orangtua dan anak adalah kunci untuk menghindarkan mereka supaya tak menjadi pelaku maupun korban perisakan.
“Sekarang interaksi [orangtua-anak] di media sosial. Padahal interaksi langsung sangat penting,” kata Retno.
Rita Pranatiwi menambahkan, komunikasi yang baik antara orangtua dan anak bisa memunculkan rasa percaya diri mereka.
“Kalau anak asertif dan komunikatif dan percaya diri, dia tidak akan mudah mem-bully orang, karena dia tahu mem-bully dampaknya seperti ini. Kemudian apabila dia di-bully, dia juga akan tegas bertanya apa maksudnya, jadi juga tidak terpancing,” tutur Rita.
Untuk menghindari perundungan siber, Retno Listiyarti menyarankan kepada para orangtua agar tak tergoda untuk mempublikasikan identitas anak, termasuk sekolah atau alamat rumah mereka.
“Kalau wilayah [rumah] boleh, kalau alamat detail tidak boleh. Mereka harus peduli terhadap anak, sebab itu bisa disalahgunakan. Ini semua untuk masyarakat, hati-hati [dalam] mengunggah video anak,” tutur Retno.
Konsumsi media sosial bagi anak pun harus dibatasi. Tentu saja penggunaan tersebut juga harus di bawah pengawasan orangtua.
“Usia 0 sampai 18 tahun jangan diberi HP, setelah itu boleh. Coba dibangun budaya begitu, karena jangan-jangan ada sesuatu yang bisa disembunyikan oleh anak di HP,” ungkap Retno.
Dampak Negatif Perundungan Karena Stigma
Perundungan adalah sebuah perilaku yang bertujuan untuk melukai dan mempermalukan orang lain, khususnya bagi mereka yang lebih lemah dan rentan dari pelaku intimidasi. Masalah besar dari sikap ini adalah pelaku umumnya akan melakukan aksinya terus-menerus. Apalagi jika korban tak berdaya dan pelaku bisa dengan mudah memeroleh keinginannya.
Dalam artikelnya di The Conversation, Karyn Healy dari University of Queensland membeberkan salah satu ketakutan terbesar dari orangtua, yaitu takut anaknya menjadi korban perisakan di sekolah.
“Intimidasi di sekolah telah digambarkan sebagai satu-satunya ancaman terpenting bagi kesehatan mental anak-anak dan remaja,” ujar Healy.
Bagi anak-anak korban perundungan, mereka lebih berisiko mengalami masalah kesehatan mental yang berlanjut sampai dewasa, bukan tak mungkin jika suatu saat mereka akan mengalami depresi.
Valerie Earnshaw, seorang profesor Ilmu Pengembangan Manusia dan Keluarga, mengungkapkan, beban mental dari korban akan semakin serius ketika mereka dirundung akibat stigma.
Maka dari itu, pencegahan, identifikasi, dan upaya untuk menghentikan intimidasi itu amat diperlukan agar tak terjadi masalah besar. Sebab bukan tak mungkin jika suatu saat korban perundungan ini akan melakukan upaya kekerasan yang lebih besar sebagai bentuk balas dendam, misalnya melakukan penembakan brutal.
“Mungkin mengintervemsi sejak dini faktor-faktor terkait stigma ini dapat memiliki efek hilir dalam mencegah kekerasan senjata,” ujar Earnshaw di Science Daily.
Cara Mencegah Perundungan di Sekolah
Perisakan di sekolah adalah masalah serius, sehingga untuk menyelesaikannya, perlu ada kerja sama dari berbagai pihak yang terkait, seperti sekolah, orangtua murid, dan anak itu sendiri.
American Psychological Association (APA) menawarkan beberapa solusi atas masalah tersebut. Bagi sekolah, guru, karyawan, hingga kepala sekolah harus memasang telinga dan mata mereka dengan baik ketika di sekolah, sehingga mereka bisa jeli menangkap kejadian intimidasi antar-siswa.
Jalan penyelesaian yang sering keliru dari perisakan adalah mempertemukan korban dan pelaku. Menurut APA, hal ini sangat tidak disarankan, sebab bisa merugikan korban karena ia malu dan takut. Dan bukan tak mungkin penyelesaian itu justru akan merugikan korban, karena mereka merasa terintimidasi.
Sekolah juga mesti tegas dalam menerapkan aturan. Namun, mereka juga wajib memberikan pemahaman tentang dampak perisakan bagi korban. Jika semua warga sekolah bisa memahami hal tersebut, maka sekolah akan menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi murid.
Keluarga juga tak bisa lepas tangan begitu saja atas perisakan yang terjadi di sekolah. Kedekatan orangtua dan anak sangat penting untuk mendeteksi tingkah-polah anak sehari-hari.
Jika anak Anda korban perisakan, jangan meminta mereka untuk melawan dengan kekerasan. Ajari mereka membuat strategi tegas dalam mengatasi intimidasi, misalnya dengan menumbuhkan keberanian agar berani melapor kepada pihak sekolah.
Selain itu, cara yang bisa dilakukan adalah menerapkan batas penggunaan gawai pada anak Anda.
Agar tak menjadi pelaku perisakan, orangtua pun wajib menjadikan rumah sebagai lingkungan bebas perisakan. Artinya, orangtua atau wali murid wajib memberikan contoh positif ketika berhubungan dengan orang lain, khususnya anak.
Jangan pula memberikan anak aturan-aturan yang terlalu ketat. Ini untuk menghindari anak melakukan pemberontakan di sekolah.
Bagi anak korban perundungan, hindari untuk membalas perbuatan pelaku dengan kemarahan. Laporkan saja tindakan pelaku ke orangtua atau sekolah. Agar merasa aman, anak tak boleh sendirian dalam situasi apapun. Bahkan jika memungkinkan, ubahlah rute perjalanan dari sekolah ke rumah.
Editor: Maulida Sri Handayani