tirto.id - Praktik kecurangan diprediksi masih akan terjadi pada Pemilu 2024. Salah satu modus yang kerap dilakukan ialah peserta pemilu membayar orang tertentu di tempat pemungutan suara (TPS) hingga di tempat rekapitulasi suara untuk mencuri suara lawan, bahkan juga kawan satu partai.
Hal itu yang dialami Politikus Partai Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Konon, suara wanita yang beken dipanggil Sara ini mengaku dicurangi lantaran suaranya hilang saat proses rekapitulasi suara di tingkat kecamatan.
"Saya sampai menggugat ke MK [Mahkamah Konstitusi]. 5000 ribu suara saya dicuri di level kecamatan," kata Sara dalam Podcast Tirto 'For Your Pemilu', Kamis (20/7/2023) lalu.
Pada Pemilu 2019, Sara bertarung di dapil DKI Jakarta III, namun tak lolos ke Senayan. Sara mengaku harus menelan pil pahit atas putusan gugatannya tersebut. Sebab, MK menolak gugatannya. Menurut dia MK saat itu berdalih hanya masalah administrasi.
"Alasannya waktu itu masalah administrasi," ucap Sara.
Dalam gugatan itu, Sara mengklaim memperoleh 83.959 suara. Namun, dalam penetapan KPU, Sara hanya memperoleh 79.801 suara. Gugatan kala itu terdaftar dalam nomor perkara 150-20-11/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019. Dalam gugatannya, Gerindra menyebut Sara kehilangan suara sebanyak 4.158 suara.
Gerindra mengatakan saat itu jika suara yang hilang itu dikembalikan, Sara berhak melenggang ke Senayan. Pasalnya, dengan bertambahnya suara Gerindra dari yang semula 343.129 menjadi 352.682, partai yang dinahkodai Prabowo Subianto itu mengklaim berhak mendapatkan tambahan kursi.
Konon, MK menolak gugatan yang dilayangkan Partai Gerindra atas kehilangan suara Sara Rahayu itu. Adapun pertimbangan MK kala itu bahwa berdasarkan bukti yang diajukan Gerindra terkait persoalan Sara telah melewati batas waktu yang ditentukan. Oleh karena itu, MK tidak mempertimbangkan pokok gugatan.
Sara mengatakan dirinya sempat memberikan waktu kepada partainya selama enam bulan agar adanya pergantian antar waktu (PAW). Namun, karena pandemi COVID-19 merebak 2020 lalu, keponakan Prabowo Subianto memilih tak melanjutkan upayanya untuk bisa kembali duduk di parlemen.
"Gue [pilih] ngurus diri sendiri dan lebih banyak waktu bersama keluarga," tutur Sara.
Rekapitulasi Suara Jadi Tantangan Pemilu Jujur
Apa yang dialami Sara ini merupakan cerita lama yang kerap terjadi setiap hajatan pemilu, yaitu kecurangan proses rekapitulasi suara.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan proses rekapitulasi suara yang panjang dan masih manual membuat ruang transaksional kerap terjadi. Di pileg, kerawanan suara hilang tak hanya dilakukan oleh lawan beda partai, tetapi juga bisa dilakukan sesama satu partai demi bisa duduk di parlemen.
"Di sinilah ruang terjadinya transaksional. Untuk rekap nasional saja membutuhkan 35 hari,sementara publik butuh mengetahui hasil pemilu secara cepat," kata Khoirunnisa saat dihubungi Tirto, Kamis (20/7/2023).
Ia mendorong agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) berupaya untuk membuat proses rekapitulasi lebih sederhana agar ruang transaksional tersebut tak terjadi terus menerus setiap pemilu.
Apalagi, proses rekapitulasi yang panjang dan melelahkan seperti pada Pemilu 2019, menyebabkan petugas kelelahan. Berbagai poin harus dimasukkan petugas ke dalam lembar kerja, sehingga tak jarang praktik transaksional terjadi saat mereka kelelahan.
"Salah satu yang bisa didorong adalah mengembangkan teknologi dalam proses rekapitulasi penghitungan, supaya lebih cepat hasil diketahui," ucap Khoirunnisa.
Perludem juga menyoroti penerapan sistem pemilu proporsional terbuka yang membuka peluang terjadinya praktik politik uang. Hal ini terjadi karena dengan sistem pemilu proporsional terbuka, caleg akan turun langsung ke pemilih untuk mendapatkan suara terbanyak dari pemilih, sehingga salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan praktik politik uang.
"Inilah yang menjadi salah satu argumentasi bahwa sistem pemilu proporsional terbuka menyuburkan praktik politik uang," tutur Khoirunnisa.
Namun, potensi politik uang juga dapat terjadi pada sistem pemilu proporsional tertutup. Dalam sistem pemilu proporsional tertutup, keterpilihan calon ditentukan oleh partai politik berdasarkan nomor urut, sehingga mereka yang ada di nomor urut kecil memiliki potensi keterpilihan yang lebih besar.
"Di sinilah potensi ruang transaksi di internal partai politik dapat terjadi," ucap Khoirunnisa.
Pengawasan Pileg Lebih Lemah daripada Pilpres
Pengajar hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini memprediksi potensi kerawanan pemilu bahkan bisa lebih buruk dibandingkan Pemilu 2019. Hal itu disebabkan masa kampanye yang pendek membuat persaingan Pemilu 2024 yang lebih ketat dibandingkan pemilu sebelumnya.
Namun, di saat yang sama jumlah partai politik peserta pemilu bertambah banyak, sehingga sangat mungkin akan memicu pragmatisme caleg untuk tergoda melakukan jual beli suara ataupun tindakan ilegal lainnya, seperti menyuap penyelenggara dan memanipulasi hasil suara.
Apalagi realitanya bila melihat pada Pemilu 2019 yang digelar serentak, kepedulian dan pengawasan atas pemilu legislatif lebih lemah dibandingkan pilpres. Di TPS pun, pemilih dan publik lebih tertarik pada pilpres, sehingga kurang antusias pada proses penghitungan suara legislatif.
"[Sehingga] kualitas kontrol atas prosesnya pun tidak lebih baik dibanding saat penghitungan suara pilpres," kata Titi kepada Tirto, Kamis (20/7/2023).
Lebih lanjut, Titi mengatakan selama ini manipulasi dan perubahan hasil suara banyak terjadi saat pergerakan suara dari TPS menuju lokasi rekapitulasi di kecamatan.
Hal itu, menurut dia, karena tingkat pengawasan di kecamatan tidak seketat saat di TPS yang lebih terbuka dan akuntabel dibanding saat di kecamatan yang membatasi kehadiran publik untuk mengikuti proses pelaksanaannya.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kata Titi harus mampu mengidentifikasi potensi kerawanan tersebut dengan memperkuat kapasitas jajaran dalam pengawasan dan penanganan pelanggaran. Termasuk membuka akses pelaporan pelanggaran dari masyarakat secara mudah, aksesibel, dan aman, sehingga masyarakat merasa tidak dipersulit untuk ikut serta dalam menjaga keadilan pemilu.
Selain itu, Bawaslu perlu secara masif menyosialisasikan larangan dan sanksi dalam pemilu serta lebih responsif dalam menyampaikan kepada publik apa saja yang sudah dilakukan dalam menangani pelanggaran pemilu. Dengan demikian diharapkan bisa tercipta kepercayaan publik atas kredibilitas Bawaslu dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
"Tentu saja Bawaslu perlu menggandeng berbagai elemen masyarakat untuk berkolaborasi mengawal dan mengawasi jalannya pemilu. Instrumen sosialisasi Bawaslu perlu dibuat lebih mudah dipahami dan terdiseminasi baik ke berbagai lapisan masyarakat," ucap Titi.
Menurut Titi, penerimaan laporan dan penanganan pelanggaran yang dirasakan mudah, aksesibel, tidak rumit, dan aman bagi pelapor akan memicu keyakinan publik untuk tidak ragu dalam ikut serta melaporkan berbagai dugaan pelanggaran dan kecurangan yang terjadi.
"Bawaslu perlu berkolaborasi dengan LPSK [Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) terutama terkait perlindungan pada para pelapor dan saksi yang sangat mungkin akan mendapatkan ancaman dan intimidasi ketika melaporkan dugaan pelanggaran yang melibatkan aktor atau elite politik," jelas Titi Anggraini.
Sementara itu, anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda mengatakan pihaknya terus memetakan persoalan kerawanan serta potensi kecurangan yang terjadi pada tahapan rekapitulasi suara.
"Kita akan melihat potensi kerawanan dan pelanggaran. Tim pengawasan mengamati prosedurnya dan cara pemungutan penghitungan suara sampai pada pengisian formulir, supaya tidak ada potensi kerawanan apalagi pelanggaran," jelas Herwyn dikutip Tirto dari situs resmi Bawaslu, Kamis (20/7/2023) malam.
Bawaslu saat ini tengah mengkaji mekanisme pengawasan penghitungan suara dua panel secara bersamaan sebagaimana dirancang KPU. Metode itu, menurut KPU bisa mencegah insiden banyaknya petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia seperti pada Pemilu 2019, namun Bawaslu mengkhawatirkan kerawanan adanya kecurangan saat rekapitulasi suara, sebab hanya ada satu pengawas di setiap TPS.
"Bagi Bawaslu (penghitungan dua panel) ada potensi rawan, Bawaslu di TPS hanya memiliki satu pengawas, sementara ini ada dua panel," katanya.
Ia menilai penghitungan suara dua panel ini memang memudahkan KPPS untuk memperpendek durasi penghitungan suara, sehingga ada ruang dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan pengisian formulir hasil penghitungan suara. Herwyn mengatakan Bawaslu akan mengkaji strategi pengawasan dalam mengatasi potensi pelanggaran penghitungan suara dengan dua panel.
"Penghitungan dua panel memudahkan KPPS dalam memperpendek durasi waktu penghitungan. Namun, yang paling penting penerapan model baru ini harus memenuhi asas pemilu jujur dan adil yang dapat menghindari kecurangan manipulasi penghitungan suara," kata Herwyn.
Antisipasi Partai
Partai peserta pemilu pun sudah mengantisipasi kecurangan-kecurangan yang terjadi setiap proses rekapitulasi suara, baik untuk pileg maupun pilpres.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Melchias Mekeng alias Melki Mekeng mengatakan di Golkar saat ini sudah ada Badan Saksi Nasional. Tugasnya memberikan pelatihan guna mencegah adanya kecurangan perolehan suara.
"Ya, curang atau tidak tentunya harus ada bukti yang kuat terhadap kecurangan tersebut. Kalau Golkar membuat berbagai pelatihan tentang saksi, bahkan dibuat Badan Saksi Nasional," kata Melki saat dihubungi reporter Tirto.
Ia mengatakan langkah itu ditempuh agar para saksi mulai dari TPS hingga provinsi benar-benar memantau proses penghitungan suara demi partainya bisa terhindar dari kekalahan.
"Agar para saksi Golkar di TPS, kecamatan, kabupaten hingga provinsi benar-benar memonitor proses penghitungan dan masukin ke dalam tabulasi perhitungan suara," tutur Melki Mekeng.
Sementara itu, Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani tak menampik setiap helatan pemilu akan selalu ada kecurangan. Menurutnya, upaya yang dilakukan untuk meminimalkan potensi kecurangan ialah penguatan fungsi saksi partai.
"Rekruitmen saksi ini sendiri juga melibatkan para caleg. Jika kemudian masih terjadi kecurangan ini, BHPP Partai Demokrat maupun Mahkamah Partai sudah mempersiapkan mekanisme beracara untuk menangani sengketa ini," kata Kamhar kepada Tirto.
PPP tak mau kalah dengan memperkuat dan memperbanyak saksi di setiap TPS, kata Juru bicara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Usman M. Tokan.
"Melakukan rekruitment saksi, pelatihan saksi serta merancang bangun sistim digital untuk monitoring dan evaluasi," kata Usman.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Bayu Septianto