tirto.id - Kisah Krisna Mukti menjadi calon legislatif mungkin dapat mewakili praktik politik pragmatis di Indonesia. Krisna adalah orang awam di dunia lobi-lobi politik dan beragam kepentingan politik elite yang mengelilinginya. Ia terjun ke lingkaran itu setelah ditawari Kiki Astrida, pemilik QQ Production, manajemen artis yang menaunginya berkiprah di layar televisi.
Saat itu, sebelum pendaftaran caleg Pemilu 2014, tawaran dari Partai Kebangkitan Bangsa datang lewat Astrid. “Astrid kemudian menawari saya. Tidak ada pertimbangan lain selain karena saya dekat dengan Astrid,” cerita Krisna kepada saya.
Ia menyanggupi tawaran itu. Dengan catatan, ada biaya manajemen yang diberikan kepada QQ Production dari dana kompensasi yang diterima Krisna dari partai politik. Dana kompensasi itu ganti rugi atas penghasilan yang terhenti sementara sebagai artis selagi menjadi caleg. Krisna enggan menyebutkan angka pastinya yang ia dapatkan dari PKB.
“Saya kasih ke Astrid bisa sampai 20 persen waktu itu. Dan itu adalah bentuk utang budi karena saya sudah dikenalkan dengan partai oleh dia.”
Tidak ada perjanjian hitam di atas putih. Semua mengandalkan kepercayaan satu sama lain. Terlebih Krisna mengaku sudah lama bekerja dengan Astrid. “Tapi saya tetap harus bayar. Kalau tidak, saya kena wanprestasi,” kata aktor 50 tahun ini. Ia mencicil tiga kali kepada QQ Production untuk biaya manajemen karena dana kompensasi dari partai juga dicicil.
Pertaruhan pertama Krisna di arena politik tanah air berbuah manis. Dengan mulus, ia lolos ke Senayan dan duduk di Komisi X, yang mengurus bidang ekonomi kreatif di antara hal lain, berkat salah satunya sinetron yang dibintanginya tengah menempati puncak rating nasional.
“Nama saya sedang populer-populernya,” imbuhnya.
Dalam kegiatan kampanye, QQ Production sama sekali tak urun peran, ujar Krisna. Relasi antara artis dan manajemen dalam urusan pencalegan layaknya beli putus. Manajemen hanya berperan sebagai jalan pembuka, selanjutnya perkara kampanye masih dipegang individu caleg dengan timnya sendiri. “Karena manajemen tidak paham soal politik. Mau ngapain juga, kan? Ada porsinya masing-masing,” ujar Krisna.
Jelang Pemilu 2019, Krisna memutuskan hijrah ke parpol lain. Pilihannya jatuh ke Partai NasDem. Ia ditawari Saan Mustopa, Ketua DPW Wilayah Bandung saat itu. Ia agak kecewa dari partai sebelumnya karena peran dia semata bak figuran: cuma jadi mesin pendongkrak popularitas dan elektabilitas partai.
“Selebihnya, semua diserahkan kepada orang kepercayaan partai,” ujarnya.
Saat menyeberang ke NaDdem, Krisna menyetor sejumlah uang kepada QQ Production melalui Astrid. Kendati saat itu ia tak punya kewajiban untuk membayar biaya manajemen karena keanggotaannya di NasDem murni tanpa campur tangan manajemen. “Itu saya saja yang ingin balas budi. Toh, saya nyemplung di bidang ini berkat dia,” jelas Krisna. Artinya, tak ada aliran dana kompensasi dari partai ke manajemen.
Sayangnya, dalam pertaruhan keduanya di gelanggang politik pada Pemilu 2019 tak semanis lima tahun lalu. Ia gagal ke Senayan. Menurutnya, ada banyak faktor mengapa ia kalah. “Pertama, karena pindah partai. Kedua, karena pindah dapil juga. Dapil saya kemarin lumbung suara pasangan 02. Ketiga, saya sudah tidak tampil di televisi. Macam-macamlah,” beber Krisna.
'Bukan Karena Tak Populer Lagi'
Sependek pengetahuan Kiki Astrid maupun Krisna Mukti, baru manajemen QQ Production yang melakukan praktik agensi politisi artis. Itu pun lantaran terbukanya peluang lewat tawaran acak dari partai, ujar Astrid.
Artis lain, misalnya, mengaku mendapat peluang menjadi caleg karena memang dekat secara personal dengan anggota partai. Sejak 2011, Nico Siahaan mulai mengikuti kegiatan PDI Perjuangan. Ia dikenal dekat dengan Maruarar Sirait, politisi PDI Perjuangan.
Nico menepis anggapan ia bersedia menjadi caleg karena sudah mulai tak populer lagi. “Justru yang lagi populer yang lebih dicari. Lihat saja Mbak Krisdayanti. Dia masih populer sampai sekarang tapi mau jadi caleg. Juga Mas Eko Patrio (Hendro Eko Purnomo),” katanya.
Kendati demikian, ia menampik kepopuleran seorang artis menjadi satu-satunya modal untuk menang di pertarungan suara pemilu. Menurutnya, ada andil mesin partai yang mumpuni untuk dapat mendongkrak suara.
“Toh, dari puluhan artis yang ikut pemilu tahun ini, hanya beberapa yang lolos. Kita juga harus punya visi, punya program,” imbuh kader PDIP ini.
Pada pemilu 2019, total ada 94 artis yang maju sebagai caleg, baik di tingkat DPR RI maupun DPRD. Dari jumlah itu, hanya sekitar 10 persen yang benar-benar lolos duduk di kursi dewan.
Di antara nama-nama baru seperti Muhammad Farhan (NasDem), Krisdayanti (PDIP), Rano Karno (PDIP), Tina Toon (PDIP), dan Tommy Kurniawan (PKB). Sisanya nama-nama petahana di Senayan seperti Arzeti Bilbina (PKB), Dede Yusuf (Demokrat), Desy Ratnasari (PAN), Nurul Arifin (Golkar), Rachel Maryam (Gerindra), dan Rieke Diah Pitaloka (PDIP).
Muhammad Farhan lolos ke Senayan pada peruntungan pertamanya menjajal bursa caleg Pemilu 2019. Ia memilih NasDem sebagai kendaraan politiknya lantaran dekat dengan Saan Mustopa, Ketua DPW NasDem Wilayah Bandung.
Nama Saan Mustopa muncul beberapa kali dalam omongan para caleg artis. Banyak artis yang terjun ke politik, terutama lewat NasDem, datang melalui dia. Saat saya mengontaknya, ketiga nomor telepon Mustopa sulit dihubungi. Terakhir, ia merespons agar saya menghubunginya lagi dalam waktu dekat dengan alasan ia sedang di tengah acara. Hingga laporan ini dirilis, ia belum bisa dihubungi lagi.
Salah satu yang mengejutkan dalam bursa caleg artis tahun ini adalah lolosnya Tina Toon di kursi DPRD DKI Jakarta. Ia memperoleh suara terbanyak ketiga di Dapil 2 Jakarta Utara dengan perolehan lebih dari 19 ribu suara pada usianya yang masih 25 tahun.
“Aku memang tertarik dengan politik dan sudah hampir tiga tahun ikut kegiatan partai. Tadinya aku hanya ingin menjadi timses, tapi partai juga mendukung, jadi kenapa enggak?” ujar mantan penyanyi cilik itu kepada saya.
Strateginya masuk lewat kursi daerah dan tidak langsung ke Senayan agaknya jadi penentu. Ia lolos ke DPRD DKI bersama 103 caleg terpilih lainnya. “Banyak yang bilang artis cuma jadi vote getter—pendongkrak suara. Tapi, kalau dengan begitu bisa membantu banyak orang, ya aku pasti bantu,” kata Tina.
Menurut Nico Siahaan, perekrutan caleg melalui manajemen artis bisa terjadi karena faktor kebetulan, bukan lantaran ada pola yang berulang. Kecuali menjadikan artis sebagai pendulang suara partai, ia menilai partai politik keliru jika menawarkan caleg kepada selebritas lewat manajemen artis.
Meski begitu, ujar Nico, cara semacam itu tidak bisa disalahkan juga. "Hanya saja itu buruk untuk demokrasi," tambahnya. Partai tidak mendidik kader, alih-alih mencari jalan instan.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam