Menuju konten utama

Mafindo: 1.593 Hoaks Selama Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran

Salah satu pemicunya ialah deepfake yang dibuat menggunakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.

Mafindo: 1.593 Hoaks Selama Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran
Ketua Presidium Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho (ujung kiri) di Media Center, Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Jumat (14/11/2025). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.

tirto.id - Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mengungkap ada 1.593 hoaks selama setahun rezim pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

“Ketika satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, hoaks yang kami deteksi ada 1.593. Deepfake itu ada 12,7 persen,” kata Ketua Presidium Septiaji Eko Nugroho, dalam konferensi pers di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Jakarta, Jumat (14/11/2025).

Septiaji menyebutkan salah satu pemicunya ialah deepfake yang dibuat menggunakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Menurutnya, penyalahgunaan AI tersebut kerap disalahgunakan, sehingga memicu keributan, hingga memudarnya kepercayaan publik terhadap informasi yang beredar di internet.

Septiaji mencontohkan satu video deepfake yang muncul pada 2025, yaitu menampilkan Eks Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

Video itu menampilkan Sri Mulyani seolah mengatakan “guru adalah beban negara”. Video tersebut lantas dibanjiri kecaman masyarakat karena dinilai melecehkan profesi guru. Dampak dari video tersebut berujung pada penjarahan rumah Sri Mulyani.

“Kemarin itu banyak guru yang marah dalam hitungan kurang dari 2 hari, Deepfake itu bisa mencakup belasan juta (reaksi). Kami sempat komunikasi sama teman-teman humas, dari Kemenkeu, begitu ya. Saya sampaikan ini, deepfake ini tidak mudah untuk mendeteksinya,” ucap Septiaji.

Dia mengatakan evolusi dalam bentuk konten deepfake yang mudah diproduksi makin sulit dideteksi. Ia mengakui banyak masyarakat, bahkan jurnalis hingga akademisi masih sulit membedakan antara video deepfake dengan yang asli.

Secara alamiah, katanya, teknologi saat ini kian berkembang sangat pesat. Namun, jelas dia, Indonesia belum mengimbangi dengan regulasi dan tata kelola terkait konten AI. Oleh karena itu, Septiaji mengusulkan perlu adanya standar yang kuat agar konten AI bisa diberikan watermark.

“Saat ini, kan, sebenarnya konten dari Gemini, konten dari OpenAl, dari ChatGPT gitu, sudah ada watermark. Tapi watermark itu antar platform itu watermark-nya teknologinya beda-beda dan itu tidak semuanya mudah dideteksi,” terangnya.

Septiaji ingin pemerintah membuat suatu aturan untuk mempertegas penggunaan watermark pada konten AI. Watermark itu dipastikan harus memiliki standar yang bisa dipahami oleh seluruh kalangan agar lebih mudah dipahami.

“Jadi, kalau misalnya kita tuh mau ngecek konten ini Al atau bukan, itu harusnya ada cara mudah. Sekarang kan tidak. Sekarang itu caranya bisa, bisa kadang bisa mudah, tapi sering kadang-kadang sulit begitu,” pungkas Septiaji.

Baca juga artikel terkait HOAKS atau tulisan lainnya dari Nabila Ramadhanty

tirto.id - Flash News
Reporter: Nabila Ramadhanty
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama