Menuju konten utama

Maarif Institute Minta Gerakan HTI di Kampus Diwaspadai

Maarif Institute menyayangkan adanya transfer ideologi kekerasan HTI yang dilakukan terhadap lingkungan sekitarnya terutama di lingkungan pendidikan seperti sekolah dan kampus-kampus.

Maarif Institute Minta Gerakan HTI di Kampus Diwaspadai
Warga melintas di depan Kantor DPD II Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (9/5). Aktivitas di kantor HTI tersebut masih berjalan normal pascakeputusan pemerintah untuk membubarkan ormas tersebut. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi.

tirto.id - Gerakan yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) selama ini sangat halus dan lembut sehingga perlu untuk waspada dan berhati-hati. Imbauan ini dikemukakan Plt Direktur Eksekutif Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz.

“Kita harus hati-hati. HTI ini prinsip gerakannya anti-kekerasan, jadi itu strategi. Tapi kita melihat secara massif mereka menyebutkan ideologi. Mereka nggak menyebarkan kekerasan tapi kalau saya membaca itu lebih bahaya ketika disebarkan secara halus,” ujar Darraz usai diskusi di Tebet, Jakarta Selatan, Senin (22/5/2017).

Menurut dia, salah satu langkah HTI yakni memasuki dunia-dunia kampus. Pertama, kata dia, HTI akan membuat partai politik, namun enggan menghindari kejadian yang dialami di Yordania. HTI di Indonesia hanya membentuk organisasi masyarakat biasa.

Kedua, setelah wadah terbentuk, HTI akan melakukan infiltrasi atau transfer ideologi. Selanjutnya, ketika sudah dianggap berhasil, mereka akan bergerak dan mengubah sistem politik dan pondasi kenegaraan.

Proses infiltrasi yang dilakukan oleh HTI salah satunya melalui sekolah dan dunia-dunia pendidikan lainnya. Bahkan, dia mengaku dari penelitian yang ia lakukan di sekolah-sekolah, sebanyak 30-40 persen birokrasi mengalami peningkatan radikalisme.

“Satu sekolah di Sukabumi, sistem mentoring penguasaan dikuasai mereka [HTI, Tarbiyah]. Ada sekolah, temen-temen [HTI] membuat masjid yang mereka biayai, ada sekolah tinggi yang menghasilkan ustaz-ustaz, masjid yang mereka bikin, imamnya dari mereka. Kemudian yang kedua, mereka harus jadi mentor kegiatan ekstra kurikuler. Biasanya kan dari guru-guru PAI, ini dari mereka [HTI],” kata Darraz menambahkan.

Ia menyayangkan apa yang HTI lakukan. Kalau sekadar membuat pengelolaan air bersih, ia tidak mempermasalahkan, bahkan pembuatan-pembuatan infrastruktur lainnya dinilai sebagai hal yang positif. Namun, ia menyayangkan adanya transfer ideologi kekerasan yang ia lakukan terhadap lingkungan sekitarnya terutama di lingkungan pendidikan seperti sekolah dan kampus-kampus.

Sementara itu, di lokasi yang sama usai diskusi di Maarif Institute, juru bicara HTI Ismail Yusanto mengaku pihaknya akan menyusun tim pembela HTI untuk mencermati apa yang akan dilakukan oleh pemerintah dan untuk mengeluarkan pendapat hukum atau pembelaan hukum terhadap organisasinya. Ia menargetkan seribu advokat yang terdiri dari advokat seluruh Indonesia dengan Yusril Ihza Mahendra sebagai koordinatornya.

Pembentukan tim tersebut dirasa perlu sebagai upaya pembelaan diri terhadap perlakuan pemerintah yang tidak menempatkan HTI dalam tempat yang sesuai. Namun ia mengaku tidak memiliki rencana untuk menggugat pemerintah, sebab kata dia, pemerintah sendiri belum mengeluarkan dekrit apapun dan baru sekadar wacana.

Menurut dia, organisasinya hingga saat ini masih terdaftar sebagai organisasi yang memiliki legalitas dan memiliki hak konstitusional untuk mengadakan kegiatan. Ia mencontohkan bahwa ia sempat mendapatkan intimidasi dan dilarang datang ke kampus UGM Yogyakarta, padahal kedatangannya sudah terjadwalkan.

“Atas perintah rektor melarang saya padahal saya sudah dijadwalkan di situ dan alasannya itu tidak jelas. Saya sampaikan ke pengurus Salahuddin yang datang kepada saya, saya bilang itu keputusan tidak tepat. Mengapa? Karena tidak punya dasar, karena kalau itu dipersoalkan secara pribadi apa salah saya apa lagi saya ini alumni SMA Salahuddin dan saya pengurus Salahuddin [salah satu organisasi keagamaan]. Tugas pengurus Ramadan di kampus kira-kira 20 tahun yang lalu,” ujar Ismail usai diskusi.

Ia pun menyayangkan pengusiran yang ia alami, padahal tempat yang ia datangi merupakan lembaga kampus. Lebih lanjut, Ismail mengatakan bahwa apa yang ia alami menular ke bawah sehingga pelarangan-pelarangan orang untuk berceramah semakin masif.

Baca juga artikel terkait PEMBUBARAN HTI atau tulisan lainnya dari Chusnul Chotimah

tirto.id - Politik
Reporter: Chusnul Chotimah
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Yuliana Ratnasari