tirto.id - Andi Mo’mang adalah anak Raja Kajuara yang cukup berpendidikan. Pemuda ini tak banyak bicara, namun semangatnya menggelora. Saat pecah revolusi kemerdekaan--meski sebagai seorang anak bangsawan Bone bisa hidup enak--ia memilih meninggalkan Sulawesi Selatan menuju Jawa dengan menggunakan perahu pinisi. Ia hendak mencari modal, bekal untuk perjuangan.
Menurut Andi Mattalata dalam Meniti Siri’ dan Harga Diri (2014:245), setibanya di Pulau Jawa pada 11 April 1946, Andi Mo'mang segera pergi ke Yogyakarta untuk menemui seseorang bernama Saleh yang mendapat lisensi penjualan gula dari pemerintah.
“Apakah Adinda mau menolong perjuangan dan menjualkan gula ke Singapura atau Filipina?” tanya Saleh.
“Saya juga pejuang. Berjuang tanpa modal tidak banyak artinya. Dari sebab itu saya carikan modal,” jawabnya.
Mereka bersepakat bahwa hasil penjualan gula akan dibagi dua. Saleh meminta bagiannya diberikan dalam bentuk senjata api untuk mendukung perjuangan di Sulawesi Selatan. Andi Mo'mang dan kawan-kawannya pun segera berangkat ke Singapura, memakai perahu pinisi dengan membawa gula sebanyak 600 karung atau sekitar sekitar 60 ton.
Gula terjual habis. Namun Andi Mo’mang gagal menyelundupkan senjata api.
“Semua perahu pinisi digeledah oleh Inggris dan tidak ada yang lolos. Kalau di perahu saya kedapatan senjata api, pasti saya ditembak mati,” ucap Andi Mo’mang kepada Saleh.
Meski demikian, Andi Mo'mang tak kehabisan akal. Ia hendak pulang ke Sulawesi Selatan dengan membawa tekstil untuk memenuhi kebutuhan sandang yang sangat langka di kampung halamannya semasa revolusi. Hasil penjualan tekstil itu rencananya akan dibelikan senjata, kebetulan waktu itu di sekitar Makassar terdapat serdadu-serdadu Australia yang menjual murah senjatanya kepada orang-orang Indonesia.
“Kita jual tekstil kepada rakyat dan uangnya kita belikan senjata,” ucapnya kepada Saleh.
Sesampainya di Bone, Sulawesi Selatan, ia hampir ditangkap polisi lokal atas suruhan abangnya, Andi Petta Gappa, yang tak menghendaki adiknya ditangkap dan ditawan Belanda.
Setelah mengetahui bahwa usaha penangkapan dirinya atas perintah abangnya, sebagai anak bangsawan ia justru meminta kepada para polisi lokal itu untuk mencarikan perahu sebagai kendaraan untuk kembali ke Jawa.
Meninggalkan Niaga, Menjadi Tentara
Setibanya kembali di Jawa, ia tak lagi menempuh jalan niaga untuk membiayai perjuangan revolusi, namun memilih langsung menjadi tentara. Dan kelak sebagai tentara, Andi Mo'mang berharap dirinya segera dikirim kembali ke Sulawesi Selatan untuk membuktikan kepada abangnya bahwa dirinya serius dalam perjuangan.
Mula-mula ia mendekati Andi Mattalata--anak bangsawan Barru, Sulawesi Selatan--yang telah menjadi tentara dan usianya lebih tua enam tahun dari dirinya. Namun Andi Mattalata menolak permintaannya karena ia tahu jika dirinya bermusuhan dengan abangnya, dan menjadi tentara sekadar pembuktian. Andi Mo’mang tak patah arang, ia pun mendekati tentara asal Sulawesi Selatan lain yang lebih berpengaruh, yakni Kahar Muzakkar. Setelah itu Andi Mattalata baru menuruti permintaannya.
Andi Mo'mang segera bergabung dengan TRI (Tentara Rakyat Indonesia) dan berpangkat Kapten. Satu peleton pasukan BKI (Batalion Kemajuan Indonesia) bentukan Kahar Muzakkar yang terdiri dari anak-anak Sulawesi Selatan, dijadikan pasukannya. Berbekal 600 karung gula pasir, senjata, dan makanan untuk sebulan, ia dan pasukannya berangkat ke sebuah front di Sulawesi.
Kesialan belum berhenti mengadang Andi Mo'mang, ia dan pasukannya ditangkap patroli Belanda saat singgah di sebuah pulau untuk mencari air minum. Mereka pun ditawan Belanda di Kalisosok, Surabaya. Sekitar satu setengah tahun di penjara, hari-harinya diisi dengan belajar bahasa Inggris dan bahasa Belanda.
Masih menurut penuturan Andi Mattalata dalam Meniti Siri’ dan Harga Diri (2014), Andi Mo'mang baru bebas ketika gencatan senjata pada 17 Januari 1948 melalui pertukaran tawanan perang. Ia dan pasukannya ditukar dengan sepeleton tentara Inggris dari Divisi India.
Setelah dibebaskan ia kembali ke Yogyakarta dengan kondisi kurang bergairah, mentalnya longsor akibat ditawan Belanda. Kawan-kawannya termasuk Kahar Muzakkar berusaha menyemangatinya.
“Kita kawinkan saja [Andi Mo'mang] dengan salah satu putri terbaik yang ada di Yogyakarta ini. Putri itu anak dari Ibu Hilal. Ibu ini dianggap sakti dan sebagai penasehat Bapak Presiden Sukarno,” ucap Kahar Muzakkar sebagaimana ditulis Mattalata.
“Mana mungkin lamaran kita diterima. Kita ini pendatang, dan orang Jawa tentu tidak mau tahu menahu keadaan kita,” jawab Mattalata.
"Saya kenal baik ibu Hilal. Beliau sangat menghormati orang Sulawesi Selatan, terutama golongan tinggi seperti Andi Mo’mang. Saya yakin, kalau kita datang meminang [putrinya] pasti diterima. Saya berani pertaruhkan kepala saya,” timpal Kahar Muzakkar.
Delapan hari setelah mendapatkan baju adat Bugis Makassar, rombongan dari Resimen Hasanuddin yang terdiri dari orang-orang Sulawesi Selatan itu meminang putri ibu Hilal untuk Andi Mo'mang. Lamaran diterima dan esok harinya akad nikah antara Andi Mo’mang dengan Maesaroh putri Ibu Hilal dilangsungkan.
Andi Mo’mang menantu yang baik. Ia setiap hari mengantar mertuanya ke Istana Gedung Agung Yogyakarta untuk menghadap Presiden Sukarno.
“Perangai Kapten Andi Mo’mang yang sopan dan halus sangat menarik simpati Presiden. Akhirnya Andi Mo’mang dianggap sebagai anak tertua dari Bung Karno,” tulis Mattalata.
Supersemar dan Panglima ABRI
Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, Andi Mo’mang yang menjadi perwira Corps Polisi Militer (CPM) kembali ke Sulawesi Selatan. Kelak setelah Andi Mattalata tak lagi menjadi Panglima di Sulawesi Selatan, ia yang menggantikannya. Saat menjadi orang penting di provinsi tersebut, Andi Mo’mang telah bercerai dengan Maesaroh. Ia juga membuang gelar kebangsawannnya, dan hanya dikenal sebagai Mohammad Jusuf atau M. Jusuf.
Ia menikah lagi dengan Elly Saelan, putri tokoh nasionalis Makassar, Amin Saelan, juga saudari mantan kapten dan kiper timnas Indonesia, Maulwi Saelan. Keduanya pernah punya anak yang meninggal dunia ketika masih berumur 5 tahun bernama Muhammad Thaufik Jaury Yusuf Putra.
Menjelang Orde Lama runtuh, ia ditarik oleh Presiden Sukarno ke Jakarta untuk menjabat sebagai Menteri Perindustrian Ringan. Ketika menjadi menteri, M. Jusuf menjadi orang penting yang mengirim Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto. Dan ia menjadi saksi kejatuhan bapak angkatnya.
Setelah belasan tahun berada di luar dinas kemiliteran, Soeharto menjadikannya sebagai Panglima ABRI sekaligus Menteri Pertahanan dan Keamanan sejak 1978 sampai 1983. Seperti ditulis Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit (2006), saat diminta Soeharto untuk menempati dua jabatan penting itu, M. Jusuf menyanggupinya karena ia merasa sebagai prajurit yang harus siap dengan pelbagai tugas.
Pada 8 September 2004, tepat hari ini 15 tahun lalu, M. Jusuf mengembuskan napasnya yang terakhir. Ia dimakamkan di samping pusara anaknya di Permakaman Umum Panaikang, Makassar.
Editor: Irfan Teguh