tirto.id - Jaksa Pinangki Sirna Malasari didakwa pasal berlapis karena membantu melunturkan hukuman Djoko Soegiarto Tjandra--koruptor Bank Bali yang sempat buron bertahun-tahun. Sebagai balasannya, ia dijanjikan duit 1 juta dolar AS, akan tetapi baru menerima setengahnya.
“Dengan maksud supaya Pegawai Negeri Sipil tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya,” ujar Jaksa Penuntut Umum KMSA Roni dalam persidangan perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020).
Ia didakwa dengan Pasal 5 ayat (2) Jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a subsider Pasal 11 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebab menerima “pemberian atau janji”). Ia juga didakwa pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun, dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta rupiah.
Pinangki menggunakan uang panas tersebut untuk kebutuhan pribadi: dari mulai membeli BMW X5 seharga Rp1,7 miliar; menyewa Apartemen Trump International di AS seharga Rp412 juta; mempercantik diri di AS; perawatan kesehatan Rp176 juta; membayar kartu kredit; hingga menyewa dua apartemen di Jakarta seharga 68.900 dolar AS dan 38.400 dolar AS.
Total uang yang digunakan Pinangki sebanyak 444.900 dolar AS atau setara Rp 6.219.380.900.
“Mata uang rupiah tersebut berasal dari tindak pidana korupsi terdakwa sebagaimana uraian di atas, karena tidak sesuai dengan pendapatan yang diperoleh serta tidak dapat dipertanggungjawabkan terdakwa,” ujar Jaksa.
Dalam berkas dakwaaan, dipaparkan gaji Pinangki sebagai Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Kejaksaan Agung hanya Rp 18,9 juta (termasuk gaji, tunjangan, dan uang makan) per bulan; sementara gaji suaminya, AKBP Napitupulu Yogi Yusuf, hanya Rp 11 juta per bulan.
Pinangki dan suami tidak memiliki pemasukan tambahan selama November 2019 hingga 2020.
Ia juga didakwa dengan Pasal 15 Jo. Pasal 13 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor; pidana penjara paling lama 3 tahun, dan atau denda paling banyak Rp 150 juta.
“Telah melakukan permufakatan jahat dengan Andi Irfan Jaya dan Djoko Soegiarto Tjandra untuk melakukan tindak pidana korupsi,” ujar Jaksa.
Pinangki, Andi, dan Anita Dewi Kolopaking bersiasat agar Djoko Tjandra terbebas dari jerat pidana dua tahun. Pinangki menyusun rencana berisi 10 tahapan.
Di dalamnya tersebut nama Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dan eks Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali.
Tahap pertama penandatanganan akta kuasa jual sebagai jaminan hubungan kerja sama pada 13-23 Februari 2020. Tahap kedua, mengirim surat dari pengacara kepada Jaksa Agung untuk memohon fatwa MA pada 24-25 Februari 2020. Tahap ketiga, Burhanuddin berkirim surat kepada Hatta Ali untuk menindaklanjuti surat pengacara menyoal fatwa MA pada 26 Februari-1 Maret 2020.
Tahap keempat, pembayaran konsultan fee 25 persen atau sebesar 250 ribu dolar AS kepada Pinangki. Tahap kelima, pembayaran uang kepada Andi Irfan untuk peliputan media massa dan konsultan fee sebesar 500 ribu dolar AS. Tahap keenam, Hatta Ali menjawab surat Burhanuddin tentang fatwa MA.
Tahap ketujuh, Burhanuddin menerbitkan instruksi kepada jajaran untuk melaksanakan fatwa MA. Tahap kedelapan, pencairan uang karena tahap 2, 3, 6, dan 7 berhasil. Tahap kesembilan, Djoko Tjandra kembali ke Indonesia tanpa dieksekusi pidana dua tahun. Tahap kesepuluh, pelunasan konsultan fee 25 persen atau 250 ribu dolar AS.
Semua rencana tersebut tak ada yang berhasil. Belakangan, pada Desember 2019, Djoko Tjandra membatalkan kerja sama. Kendati demikian, Djoko Tjandra sudah membayar uang muka melalui Andi Irfan sebesar 500 ribu dolar AS.
“Rangkaian perbuatan terdakwa tersebut bertentangan dengan kewajiban terdakwa selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara,” ujar Jaksa Penuntut Umum KMSA Roni dalam persidangan.
Lubang Sidang Perdana
Peneliti dari Indonesia Coruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai berkas dakwaan Pinangki masih memiliki sejumlah cela--tidak didalami jaksa.
Salah satunya, tidak adanya penjelasan mengapa Djoko Tjandra bekerja sama dengan Pinangki yang hanya Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi pada Biro Perencanaan.
“Mustahil [Pinangki] dapat mengurus fatwa yang nantinya kemudian diajukan oleh Kejagung secara kelembagaan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (23/9/2020).
Jaksa, menurut Kurnia, perlu mengungkapkan jaringan Pinangki atau Anita di MA dalam mengurus fatwa--yang hanya dapat diperoleh atas permintaan lembaga negara.
Kurnia juga mendesak JPU untuk menjelaskan upaya-upaya yang telah dilakukan Pinangki dalam merealisasikan tahapan rencana aksi, serta menjelaskan apakah Pinangki adalah pemain tunggal atau ada jaksa lain yang terlibat.
“Untuk memperoleh fatwa tersebut ada banyak hal yang mesti dilakukan selain kajian secara hukum, pasti dibutuhkan sosialisasi agar nantinya MA yakin saat mengeluarkan fatwa,” ujarnya.
Terkait dugaan terakhir, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman yakin Pinangki tidak 'bermain' sendiri. Ia mengungkapkan ada sosok yang dijuluki 'King Maker' oleh Pinangki. Hal tersebut terungkap dalam obrolan Whatsapp antara Pinangki dengan Anita.
Cuplikannya begini (dengan penyuntingan):
“Bapak, saya berangkat ke Puncak siang ini jam 12.”
“Pantesan bapak jadi enggak bisa hadir.”
“Bukan itu juga, bu.”
“Karena king maker belum clear juga.”
Boyamin sudah menyerahkan bukti percakapan setebal 200 halaman dan bukti-bukti relevan lainnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 21 September 2020. Sebelumnya ia juga menyerahkan bukti awalan pada 16 September.
Ia melakukan itu karena tidak memercayai Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri dalam penanganan kasus Djoko Tjandra. Dua instansi itu dianggap terlalu terburu-buru melimpahkan perkara para tersangka.
“Kami tetap meminta KPK untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan baru atas bahan materi ‘bapakku bapakmu’ dan ‘king maker’ dikarenakan telah terstruktur, sistemik, dan masif atas perkara rencana pembebasan Djoko Tjandra,” ujarnya kepada reporter Tirto.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino