Menuju konten utama

LPSK Perkirakan Terbit Untung Rp177,5 M dari Kerangkeng Manusia

Ratusan penghuni kerangkeng Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-angin dipekerjakan di pabrik dan kebun sawit tanpa mendapat upah.

LPSK Perkirakan Terbit Untung Rp177,5 M dari Kerangkeng Manusia
Suasana kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Rabu (26/1/2022). ANTARA FOTO/Dadong Abhiseka/Lmo/aww.

tirto.id - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memperkirakan Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-angin meraup keuntungan Rp177.552.000.000 selama mengelola kerangkeng manusia di kediamannya.

“Perkiraan kami, bila ia tidak bayar upah 600 orang dalam 10 tahun maka potensi keuntungan dari tidak bayar upah sekitar itu,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu ketika dihubungi Tirto, Jumat (11/3/2022).

“Kami punya metode penghitungannya. Pukul rata 60 orang dalam setiap tahunnya saja,” sambung dia.

Terbit merupakan tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa tahun 2020-2022 di Kabupaten Langkat yang ditangani KPK. Kakaknya Terbit yang juga Kepala Desa Balai Kasih, Iskandar PA dan pihak swasta yaitu Muara Perangin-Angin, Marcos Surya Abdi, Shuhanda Citra, dan Isfi Syahfitra juga menjadi tersangka dalam perkara tersebut.

Komnas HAM turut menyelidiki kasus kerangkeng manusia yang dibangun atas inisiatif Terbit. Tindakan kekerasan dengan intensitas tinggi kerap terjadi pada periode awal penghuni masuk kerangkeng, biasanya di bawah satu bulan pertama. Komnas HAM menemukan fakta 26 bentuk penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan merendahkan martabat penghuni kerangkeng.

“Antara lain dipukuli di bagian rusuk, kepala, muka, rahang, bibir; ditempeleng, ditendang, diceburkan ke kolam ikan, direndam, diperintahkan untuk bergelantungan di kereng seperti monyet atau istilahnya ‘gantung monyet’,” jelas Analis Pelanggaran HAM Komnas HAM Yasdad Al Farisi, Rabu (2/3/2022).

“Kemudian pencambukan anggota tubuh menggunakan selang, mata dilakban dan kaki dipukul menggunakan palu hingga kuku jari copot, dipaksa tidur di atas daun (yang ada) ulat jelatang, dipaksa makan cabai, dan tindakan kekerasan lainnya,” imbuh dia.

Terdapat 18 alat penyiksaan, seperti selang, cabai, ulat jelatang, besi panas, lilin, jeruk nipis, garam, plastik yang dilelehkan, palu, rokok, korek, tang, batako, alat setrum, kerangkeng, dan kolam.

Akibat penyiksaan ini, para penghuni mempunyai bekas luka di badan dan trauma. Bahkan ada satu penghuni yang mencoba bunuh diri.

Para penghuni dipekerjakan di pabrik dan kebun sawit Terbit tanpa mendapatkan upah. Mereka juga disuruh mengelas, membersihkan pabrik dan peralatan kebun, dijadikan kuli untuk membangun kediaman Terbit, bahkan disuruh bekerja di kebun sawit milik orang lain.

Baca juga artikel terkait KASUS KERANGKENG MANUSIA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Gilang Ramadhan