Menuju konten utama

Kasus Kerangkeng Manusia: Komnas HAM Temukan 26 Ragam Penyiksaan

Salah satu bentuk penyiksaan yang ditemukan Komnas HAM adalah perintah untuk bergelantungan seperti monyet atau istilahnya ‘gantung monyet’.

Kasus Kerangkeng Manusia: Komnas HAM Temukan 26 Ragam Penyiksaan
Petugas kepolisian memeriksa ruang kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, Rabu (26/1/2022). ANTARA FOTO/Oman/Lmo/rwa.

tirto.id - Komnas HAM menemukan adanya pola kekerasan yang terjadi di kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-angin di rumah pribadinya. Hasil penyelidikan Komnas HAM menemukan adanya penyiksaan hingga perlakuan merendahkan martabat penghuni sel.

“Pola kekerasan terjadi di beberapa konteks [yakni] penjemputan paksa penghuni kerangkeng pada awal periode masuk, adanya pelanggaran terkait aturan pengurus kerangkeng, melawan pengurus atau TRP, dan perpeloncoan,” ucap Analis Pelanggaran HAM pada Komnas HAM Yasdad Al Farisi, dalam konferensi pers secara daring, Rabu (2/3/2022).

Tindakan kekerasan dengan intensitas tinggi kerap terjadi pada periode awal penghuni masuk kerangkeng, biasanya di bawah satu bulan pertama.

Komnas HAM menemukan fakta ada 26 bentuk penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan merendahkan martabat penghuni sel.

Antara lain dipukuli di bagian rusuk, kepala, muka, rahang, dan juga bibir. Penghuni sel juga ditempeleng, ditendang, diceburkan ke kolam ikan bahkan direndam dalam kolam. Komnas HAM juga menemukan fakta adanya perintah untuk bergelantungan seperti monyet atau istilahnya ‘gantung monyet’.

“Kemudian pencambukan anggota tubuh menggunakan selang, mata dilakban dan kaki dipukul menggunakan palu hingga kuku jari copot, dipaksa tidur di atas daun [yang ada] ulat jelatang, dipaksa makan cabai, dan tindakan kekerasan lainnya,” jelasnya.

Komnas HAM juga menemukan sebanyak 18 alat yang digunakan untuk menyiksa, mulai dari selang, cabai, ulat jelatang, besi panas, lilin, jeruk nipis, garam, plastik yang dilelehkan, palu, rokok, korek, tang, batako, alat setrum, kerangkeng, dan kolam.

Lantas ada istilah kekerasan yang dikenal para penghuni, yakni MOS, ‘gantung monyet’, sikap tobat, dua setengah kancing, dan ‘cuci’.

Akibat penyiksaan ini, para penghuni mempunyai bekas luka di badan dan trauma. Bahkan ada satu penghuni yang mencoba bunuh diri.

Para penghuni pun dipekerjakan di pabrik dan kebun sawit Terbit tanpa mendapatkan upah. Mereka juga disuruh mengelas, membersihkan pabrik dan peralatan kebun, dijadikan kuli untuk membangun kediaman Terbit, bahkan disuruh bekerja di kebun sawit milik orang lain.

Berdasarkan penelusuran Komnas HAM, ada banyak alasan masyarakat jadi penghuni kerangkeng, banyak di antaranya adalah motif ekonomi.

“Terdapat beberapa latar belakang memasukkan anggota keluarga ke tempat rehabilitasi, antara lain ekonomi lemah, keputusasaan, mengalami ancaman dan adanya tindak kekerasan, serta keluarga tak memiliki pilihan untuk rehabilitasi di tempat lain,” ucap Yasdad.

Ia melanjutkan, proses masuk jadi ‘pasien’ melibatkan dokumen rekomendasi pihak lain.

“Antara lain dari kepolisian, khususnya polsek; struktur pemerintah desa, serta ormas setempat,” kata Yasdad.

Baca juga artikel terkait KERANGKENG MANUSIA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto