tirto.id - Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo yang mencabut limbah batu bara dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) lewat salah satu aturan turunan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Direktur Bank Sampah Nusantara (BSN) LPBI NU Fitria Aryani mengatakatan kebijakan Presiden Jokowi tersebut dikhawatirkan berdampak pada pencemaran lingkungan hingga kesehatan masyarakat.
“Jika memang bisa dimanfaatkan, itu lebih baik. Tapi yang harus diwaspadai adalah masih ada pemilahan kategori limbah batu bara, artinya di pasal tersebut ada pengecualian. Tidak semua limbah batu bara itu dikeluarkan dari limbah B3. Pertanyaannya siapa yang akan mengawasi pemilahan limbah tersebut, yang termasuk B3 dan tidak termasuk limbah B3,” kata dia seperti dilansir laman NU Online, Jumat (12/3/2021).
LPBI NU pun mendesak jangan sampai kebijakan yang diambil pemerintah semakin memperburuk keadaan. Fitria meminta pemerintah jangan abai terhadap dampak lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Sebab banyak yang akan terdampak, seperti masyarakat sekitar, nelayan, kelompok perempuan, dan masyarakat adat.
“Keberadaan limbah bottom ash dan flying ash (BAFA) yang dikeluarkan dari kategori limbah B3, menurut saya berpotensi mencemari sungai dan laut yang menjadi pusat kehidupan masyarakat pesisir. Jadi kalau pemerintah tidak hati-hati, kebijakan ini menunjukkan hanya menghitung potensi investasinya saja,” kata dia.
Ia menjelaskan, rencana gasifikasi batu bara masih dalam proses di Indonesia. Perusahaan penambang batu bara milik negara, PT Bukit Asam, berencana membangun pabrik gasifikasi yang akan mulai beroperasi pada 2023 atau 2024.
“Belum ada regulasi yang jelas dalam mengatur emisi atau limbah dari pabrik gasifikasi batu bara ini. Tahun lalu, Indonesia mengeluarkan dua Undang-Undang klausul yang dipandang sangat menguntungkan industri ekstraktif. Yaitu, revisi UU Pertambangan, Mineral dan Batubara disahkan dengan dukungan kuat dari Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia,” kata dia.
Hal ini, menurutnya justru mempermudah industri untuk memperpanjang izin, melipatgandakan ukuran maksimum zona penambangan tradisional, dan memberikan izin untuk kegiatan penambangan di dasar sungai dan laut, dan ini akan sangat berpengaruh terhadap lingkungan masyarakat setempat.
Selain batu bara, kebijakan pemerintah juga mencabut limbah penyulingan sawit, atau yang biasa disebut dengan spent bleaching earth (SBE) dari kategori limbah 3B.
Fitria menegaskan, jangan sampai kebijakan itu diambil hanya untuk mengakomodir permintaan para pengusaha, akan tetapi merugikan masyarakat. “Pemimpin harus bisa bersikap adil, jujur, dan tidak semena-mena. Pemimpin tidak boleh mencelakai rakyat dan bangsanya,” ungkapnya.
Pencabutan dua jenis limbah tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tertanggal 2 Februari 2021.
Aturan tersebut tertulis dalam Lampiran XIV dari PP itu. Dalam kanal “Jenis Limbah Non B3”, limbah sawit masuk ke dalam kanal itu dengan kode limbah “N108”.
“Proses industri oleochemical dan/atau pengolahan minyak hewani atau nabati yang menghasilkan SBE hasil ekstrasi (SBE Ekstraksi) dengan kandungan linyak kurang dari atau sama dengan 3% (tiga persen)” demikian tertulis dalam salinan lampiran itu.
Limbah sawit SBE sebelumnya masuk dalam kategori limbah B3 sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang diteken oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pencabutan limbah sawit SBE dari kategori limbah B3 sepertinya mengakomodir permintaan para pengusaha. Pada 20 Juli 2020 lalu—saat Omnibus Law masih dibahas dan ditentang oleh publik—Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) meminta SBE tidak masuk kategori limbah B3.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz