tirto.id - Pasokan reagen atau pereaksi kimia untuk tes polymerase chain reaction (PCR) COVID-19 di sejumlah daerah makin menipis. Hal ini disinyalir jadi salah satu penyebab turunnya jumlah testing secara nasional.
Dalam beberapa pekan terakhir laporan mengenai menipisnya reagen dilontarkan oleh otoritas laboratorium maupun pemerintah daerah setempat. Misalnya oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada awal Maret 2021.
Kepala Dinas Kesehatan NTB Lalu Hamzi Fikri mengatakan kepada reporter Tirto, Rabu (10/3/2021), mereka menyiasatinya dengan “saling backup jika ada yang tersisa reagennya.” Misalnya Lombok Timur kekurangan, maka Kabupaten Sumbawa akan mengirimkan sisa reagen yang masih tersisa. Kemudian stok di Kabupaten Dompu direkomendasikan dialihkan ke Laboratorium Universitas Mataram.
Untungnya kondisi ini tak lama, kata Hamzi. Pekan ini sudah datang reagen tambahan dari pusat.
Hamzi mengatakan menipisnya reagen memang memengaruhi jumlah tes PCR, namun hal itu bisa diatasi sebab tes antigen sudah ditetapkan sebagai alat diagnosis sebagaimana PCR.
Selain NTB, sejumlah laboratorium di Jawa Barat juga kekurangan reagen. Misalnya di RSUD Kota Banjar Jawa Barat. Direktur RSUD Kota Banjar Eka Lina Liandari, Rabu, bilang alat pockit dari rumah sakit tinggal sekitar 80 reagen dan dari alat bantuan provinsi berupa PCR portable sebanyak 32 reagen.
Di Laboratorium Bio Safety Level-2 Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pasokan reagen dari pemerintah malah telah habis sejak 28 Februari 2021. Hal itu membuat mereka melakukan pengadaan sendiri sehingga tes yang dilakukan berbayar. Imbasnya, jumlah sampel yang diperiksa pun menurun.
Ketua Satgas COVID-19 Doni Monardo, dalam Rapat Koordinasi Satgas COVID-19 pada 7 Maret 2021, meminta penurunan jumlah testing dievaluasi menyeluruh. “Tolong dilaporkan kepada pimpinan masing-masing apa masalahnya. Apakah terjadi kekurangan untuk reagen atau mungkin mesin PCR mengalami hambatan atau petugasnya semakin berkurang? Ini kita minta masukan.”
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Penanganan COVID-19 Dewi Nur Aisyah mengatakan “penurunan jumlah pemeriksaan masih terjadi” meski sejak 2 Maret 2021 lalu data COVID-19 yang dilaporkan sudah mengikutsertakan jumlah pemeriksaan swab antigen--sebelumnya hanya hasil tes PCR.
Penurunan ini membuat testing Indonesia tak memenuhi standar WHO. Jika merujuk pada standar pemeriksaan yakni 1:1000 penduduk per pekan, maka Indonesia idealnya melakukan 267.700 tes setiap pekan. Dewi dalam sepekan terakhir jumlah testing baru 85 persen dari standar WHO.
Menurut Pandemic Talks, sebuah inisiatif yang didirikan untuk mengisi gap informasi ke masyarakat terkait COVID-19, fluktuasi angka testing yang terjadi bersamaan dengan menipisnya pasokan reagen terjadi sepanjang Januari-Maret 2021. Periode 26 Januari hingga 2 Februari, testing rata-rata mingguan mencapai 43.151 orang atau tertinggi sejak Maret 2020. Pada periode 3-10 Februari testing rata-rata hanya mencakup 39.000 orang. Lalu makin merosot drastis pada periode 11-17 Februari, yakni rata-rata hanya 27.356 orang.
Testing sempat naik pada periode 18-24 Februari dengan 43.882, namun kembali turun pada periode 25 Februari hingga 2 Maret di angka 33.412. Kemudian periode 3-10 Maret menjadi rata-rata 38.994.
Salah satu inisiator Pandemic Talks sekaligus data analis Firdza Radiany mengatakan penurunan angka testing juga mungkn disebabkan karena “sistem data pelaporan eror.” Selain itu, katanya kepada reporter Tirto, Rabu, juga barangkali karena tenaga testing banyak dialihkan untuk membantu vaksinasi.
Ada pula persoalan seperti keterlambatan pembayaran gaji tracer yang membuat kinerja menurun, padahal mereka adalah kunci untuk menemukan lebih banyak kontak erat yang kemudian dilakukan testing.
Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan testing yang menurun ketika varian B117--yang sudah masuk ke Indonesia dan memiliki kecepatan penularan lebih tinggi--sama dengan meningkatnya potensi penularan.
“Ketika testing menurun, berarti kemampuan kita untuk mencegah penularan dan penyebaran strain apa pun termasuk B117 itu juga akan menurun. Artinya menurunkan kapasitas benteng kita atau upaya pencegahan kita,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Selasa (9/3/2021). “3T (tracing, testing, dan treatment) yang performanya belum ada peningkatan signifikan selama satu tahun akan memperburuk pengendalian pandemi kita,” tambahnya.
Penularan yang makin cepat tidak lain berpotensi membuat makin banyak orang yang terpapar dan makin banyak pula orang mungkin meninggal. Selain itu, jika tak ada perbaikan, menurutnya bukan tidak mungkin memunculkan “potensi strain made in Indonesia.”
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino