Menuju konten utama

Lonjakan ISPA di Jakarta, Cermin Beban Polusi Udara Kronis

Lonjakan kasus ISPA berkelindan dengan kondisi polusi udara serta fenomena musim kemarau basah yang terjadi pada tahun 2025 ini.

Lonjakan ISPA di Jakarta, Cermin Beban Polusi Udara Kronis
Pemandangan Monumen Nasional dengan latar belakang gedung bertingkat yang diselimuti asap polusi di Jakarta, Senin (29/7/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama.

tirto.id - Warga yang terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Jakarta tembus hampir dua juta kasus dalam 10 bulan terakhir. Antara Januari hingga Oktober 2025, tepatnya ada 1.966.308 kasus ISPA.

Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta mengonfrimasi peningkatan orang yang terinfeksi mulai terlihat sejak Juli. Faktor kenaikan suhu panas dan polusi udara disebut turut mempengaruhi tingkat infeksi.

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ani Ruspitawati mengatakan, saking masifnya kasus ISPA, penyakit itu yang paling banyak ditangani di setiap puskesmas Jakarta. Ia menekankan transmisi atau penularan melalui percikan droplet maupun partikel aerosol di udara sebagai musabab masifnya tingkat penularan.

Ani menjelaskan bahwa lonjakan kasus ISPA berkelindan dengan kondisi polusi udara serta fenomena musim kemarau basah yang terjadi pada tahun ini. Terlebih, fenomena cuaca dan polusi ikut mempengaruhi menurunnya sistem imun masyarakat dan meningkatnya penyebaran agen biologis yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan area sekitarnya.

Gejala seperti batuk, pilek, nyeri tenggorokan sampai demam menjadi ciri orang terkena ISPA. Seturut itu, kata Ani, ada gejala lain semacam hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri otot, kelelahan, bersin, serta suara serak.

"Pada kasus yang lebih berat, penderita dapat mengalami sesak napas yang memerlukan penanganan medis segera," kata Ani, dikutip Antara, Kamis (16/10/2025).

Meski angkanya besar, tingkat penularan ISPA yang hampir tembus dua juta penderita sampai Oktober, masih dalam kondisi yang bisa dikendalikan pihak pemerintah daerah.

Ilustrasi Infeksi Saluran Pernapasan

Ilustrasi Infeksi Saluran Pernapasan. FOTO/iStockphoto

Dalam merespons peningkatan kasus penyakit ini, ada mekanisme SKDR atau Sistem Kewaspadaan dan Respons Dini, yang dijadikan rujukan. Tujuannya untuk mengidentifikasi potensi penyebaran penyakit tertentu ke arah yang tak terkontrol.

Ani juga menekankan bahwa peningkatan kasus ISPA seringkali terjadi pada waktu-waktu tertentu, terutama saat terjadi perubahan musim. Namun menurutnya, kondisi saat ini masih tergolong normal dan belum menunjukkan lonjakan yang parah.

“Jadi ketika memang iklim, cuaca cenderung seperti sekarang, kasusnya biasanya agak naik, tapi sejauh ini enggak sangat signifikan. Jadi masih di dalam kendali dan kita selalu melakukan monitoring itu,” jelas Ani, mengutip Kompas.com.

Ia menambahkan bahwa fasilitas kesehatan di Jakarta telah disiapkan untuk mengantisipasi kemungkinan peningkatan kasus penyakit pernapasan. Semua puskesmas kecamatan beroperasi 24 jam agar warga bisa segera memeriksakan diri jika bergejala ISPA.

“Faskes yang ada di seluruh DKI, 292 puskesmas pembantu (pustu), 44 puskesmas, kami siap. Di puskesmas kecamatan pun sudah 24 jam sehingga ketika warga memang merasakan gejala, silakan berobat ke puskesmas, ke faskes, sehingga bisa dilakukan deteksi dini terhadap penyakit apapun,” ujar Ani.

Ani menyarankan kepada masyarakat bahwa ISPA bisa dicegah dengan menjalankan pola hidup bersih dan sehat; seperti mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menghindari kerumunan, menggunakan masker saat berada di tempat ramai atau di ruang publik, serta menerapkan etika batuk dan bersin.

Ia juga menyarankan untuk membatasi aktivitas saat sedang sakit, menjauhi paparan asap rokok, dan meningkatkan daya tahan tubuh melalui konsumsi makanan bergizi seimbang, tidur cukup, olahraga teratur, serta pengelolaan stres yang baik.

Menanggapi maraknya penyakit saluran pernapasan di wilayahnya, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyebut ada kenaikan kasus ISPA dan COVID-19. Namun, dia menyebut kalau saat ini dalam kondisi yang terkendali. Ia menegaskan bahwa kedua penyakit tersebut tidak masuk dalam kategori pandemi.

"Kalau di Jakarta saya memastikan bukan menjadi pandemi. Sekarang ini COVID seperti flu, beberapa memang ada di puskesmas, ada di rumah sakit, dan mereka segera bisa disembuhkan. Jadi, bukan seperti COVID yang lalu, sekarang ini sudah seperti flu," kata Pramono saat menghadiri peresmian Bunda Clinic MRT Dukuh Atas, Jakarta, pada Rabu (22/10/2025), mengutip Liputan 6.

Bagaimana Sebaran Polusi Udara di Jakarta?

Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, lewat Udara Jakarta, senantiasa mencatat sebaran polusi udara di provinsi terpadat di Indonesia itu. Secara berkala mereka mencatat 10 kawasan di Jakarta yang kondisi udaranya terburuk . Data tersebut kemudian dirangkum dalam sebulan terakhir. Per Kamis (23/10/2025) pagi daerah Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Duren Tiga jadi lokasi dengan kualitas udara paling buruk.

Skor Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang dicatatkan wilayah itu 184 dan masuk kategori 'tidak sehat'. Pengkategorian ISPU dari Udara Jakarta menggunakan sistem skor. Skor 0-50 masuk kategori 'Baik', 51-100 kategori 'Sedang', 101-200 masuk 'Tidak Sehat', 201-300 'Sangat Tidak Sehat', dan >300 kategori 'Berbahaya'.

Untuk kasus RPTRA Duren Tiga, misalnya, antara 23 September 2025-20 Oktober 2025 ada enam hari masuk kategori baik, 17 hari kategori sedang, empat hari kategori tidak sehat, dan satu hari sangat tidak sehat. Kondisi sangat tidak sehat terjadi pada 1 Oktober 2025 dengan skor ISPU 214.

Peringkat pertama ada di Pondok Ranggon Jakarta Timur, yang sejak 22 September lalu tidak pernah kualitas udaranya berstatus baik.

Selain Duren Tiga, ada wilayah RPTRA Citra Permata, Jakarta Timur; RPTRA Ria Damkar Joglo 2, Jakarta Barat; SDN 20 Pejaten Timur, Jakarta Selatan; dengan catatan skor ISPU >150.

Melihat sekilas peta persebarannya, daerah dengan kualitas udara yang masuk kategori 'Tidak Sehat' tersebar di seluruh wilayah Jakarta. Beberapa wilayah di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur cukup banyak mencatatkan skor ISPU 'Tidak Sehat', meski di Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat juga terdapat yang punya kualitas udara buruk.

Bagaimana Cuaca Mempengaruhi Polusi Udara?

Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Ardhi Adhary Arbain, menyebut sumber polusi bermacam mulai dari sektor transportasi sampai aktivitas industri. Sebenarnya seberapa banyak polusi itu bisa masuk ke atmosfer, tergantung kondisi atmosfer itu sendiri. Dia mencontohkan semisal cuaca sedang jarang hujan, maka atmosfer gampang kotor.

“Jadi keuntungan hujan itu adalah bisa membersihkan polutan di udara. Jadi kalau banyak hujan, tingkat kualitas udara membaik, dan sebaliknya,” kata Ardhi kepada Tirto, Rabu (22/10/2025).

Dia menjelaskan bahwa puncak musim kemarau sebagai waktu dominannya polutan mengepul.

Parameter lain seperti angin juga berpengaruh. Angin sewaktu musim kemarau yang biasanya dari selatan turut mempengaruhi kadar polusi yang dipicu cuaca.

“Jadi kalau sumber polusi dari selatan Jakarta, itu akan terbawa ke Jakarta. Sebaliknya kalau ada peralihan musim seperti ini, arah angin tidak akan dominan atau bisa dari segala penjuru. Itu mungkin bisa jadi penyebab kenapa polusi meningkat akhir-akhir ini,” ujar dia.

Fenomena cuaca panas diprakirakan hingga November 2025

Warga mengenakan penutup kepala saat cuaca terik di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu (15/10/2025). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap fenomena cuaca panas yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia disebabkan posisi gerak semu matahari yang pada Oktober berada di selatan ekuator dengan suhu maksimal 36,7 derajat celsius, dan diprakirakan akan terjadi hingga November 2025. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/rwa.

Menurutnya, cuaca panas justru baik karena aliran udara bakal gampang naik ke lapisan atmosfer. Justru yang parah itu kalau panasnya tidak terik. Sebab ada proses konveksi, di mana menghangatnya kondisi udara ketika kondisi bumi dipanaskan seperti dari paparan matahari.

“Cuaca panas dan polutan itu hubungannya terbalik. Kondisi panas justru bagus untuk menekan polusi udara karena aliran udara gampang naik ke atmosfer atau terdisversi. Sedangkan kalau tidak ada hujan atau udara lebih dingin seperti malam hari, polutan akan lebih banyak di permukaan,” tuturnya.

Dia menekankan bahwa ketika cuaca panas ditambah angin bertiup kencang, maka itu akan mengurangi pengumpulan polutan di permukaan karena akan terbawa oleh angin. Sehingga polusi akan tersebar atau tidak mengumpul di satu kawasan. Misal polusi di Jakarta akan menyebar ke daerah penyangga saat tiupan angin berhembus.

Nah, karena angin tidak terlalu kuat akhir-akhir ini, maka polutan mengumpul di satu tempat saja, tidak menyebar. Kalau misalkan nanti beberapa hari akan hujan, itu akan berkurang jumlah polutannya,” ucap dia.

Paparan polutan ganggu sistem saluran napas

Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman menjelaskan soal mekanisme penularan ISPA disebabkan oleh virus rhinovirus sampai influenza. Penularannya melalui droplet atau percikan cairan dari batuk, saat berbicara, bersin dan partikel aerosol di udara yang bertahan lebih lama di lingkungan yang berventilasi buruk.

Adapun kaitannya dengan polusi, Dicky menekankan bahwa polusi udara bukan sebagai agen penyebab langsung, melainkan faktor risiko kuat yang menurunkan daya tahan dan sistem pertahanan alami saluran napas.

Mekanisme penularannya terjadi saat ada paparan partikel halus seperti PM 2.5 atau PM 10 yang menyebabkan iritasi atau peradangan kronis di saluran napas sehingga rambut halus pelindung di saluran napas itu jadi rusak. Seturut itu, ada pula ozone atau nitrogen dioksida dan sulfur dioksida yang mengubah keseimbangan mikrobion pernapasan.

“Mikrobion ini maksudnya jadi dalam tubuh kita termasuk sistem pernapasan kita ada flora yang baik itu bakteri yang bisa melindungi. Nah, gangguan mikrobion pada sistem pernapasan ini membuat bakteri menjadi lebih mudah menempel dan berkembang. Dan polutan juga dapat hambat imun lokal sehingga virus yang biasanya ringan bisa menimbulkan infeksi lebih berat atau lebih lama,” kata Dicky kepada Tirto, Rabu (22/10/2025).

Fenomena cuaca panas diprakirakan hingga November 2025

Warga menggunakan payung saat cuaca terik di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu (15/10/2025). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap fenomena cuaca panas yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia disebabkan posisi gerak semu matahari yang pada Oktober berada di selatan ekuator dengan suhu maksimal 36,7 derajat celsius, dan diprakirakan akan terjadi hingga November 2025. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/rwa.

“Di kualitas udara Jakarta yang sering berada kategori tidak sehat, ini lebih rentan membuat masyarakatnya terkena ISPA karena saluran pernapasannya lelah karena paparan polutan setiap hari,” imbuhnya.

Ihwal kaitannya dengan pengaruh cuaca ekstrem dan iklim, Dicky mengatakan dua faktor itu berpengaruh secara tidak langsung. Mulanya ada fluktuasi suhu dan kelembapan yang mempengaruhi stabilitas virus di udara karena banyak virus penyebab ISPA itu lebih bertahan di udara kering dan dingin. Kemudian perubahan perilaku masyarakat saat cuaca ekstrem itu lebih banyak di dalam ruangan yang mana sistem ventilasinya seringkali buruk sehingga meningkatkan transmisi antarindividu.

Dia menyarankan masyarakat untuk lebih memperhatikan imunitas diri dan lingkungan sekitar. Ini demi upaya terhindar dari risiko penularan.

“Selain polusi dan cuaca, faktor lain adalah mobilitas dan kepadatan yang tinggi. Terutama di transportasi publik dan perkantoran. Juga kepatuhan protokol kesehatan yang menurun pascapandemi [COVID-19] seperti etika batuk, jarang pakai masker di tempat ramai dan jarang cuci tangan. Atau absen atau keterlambatan vaksinasi influenza. Faktor lain adalah kelelahan dan stres yang ini terbukti menurunkan imunitas pernapasan,” urai Dicky.

PENDERITA ISPA MENINGKAT Biaya Menjadi Dokter

Seorang warga yang mengalami gangguan pernafasan diperiksa oleh dokter di Puskesmas Kebun Handil, Jambi, Jumat (11/9). Dinkes Kota Jambi mencatat sejak Agustus hingga pekan kedua september, penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat kabut asap kebakaran hutan dan lahan mencapai 9.470 orang atau meningkat 27,42 persen dibandingkan pada Juli. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/pd/15

Dia lantas menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan mitigasi secara komprehensif untuk menekan laju infeksi. Pertama, bisa diupayakan peningkatan pemantauan tingkat penularan ISPA berbasis sentinal di puskesmas. Ini supaya pola etiologi virus versus polusi bisa dipetakan. Ditambah, perlu dilakukan intervensi yang sifatnya eksternal atau berkorelasi dengan sejumlah aktor.

“Juga integrasikan data kesehatan dengan indeks kualitas udara harian. Itu untuk memprediksi puncak kasus dan untuk memberi peringatan dini," ujarnya. Perlu juga penerapan kebijakan pengendalian emisi lintas sektor termasuk transportasi dan industri. Di sisi lain Dicky menyebut perlu literasi dan promosi kesehatan misal penekanan udara sehat di Jakarta untuk penurunan emisi.

Upaya lain, kata Dicky , pemerintah dapat memperluas ruang terbuka hijau. Menurutnya, lonjakan kasus ISPA di daerah perkotaan besar menggambarkan masalah serius dalam tata kelola kesehatan.

“Lonjakan kasus ISPA di Jakarta ini mencerminkan gabungan antara beban polusi udara kronis, cuaca ekstrem dan juga penurunan imunitas masyarakat dan perilaku masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan sebagai pencegahan," tuturnya.

Dicky mengatakan masalah ISPA di Jakarta tak bisa hanya dipandang sebagai masalah kesehatan. Ada aspek lingkungan dan kebijakan publik yang juga turut ambil bagian jika memang serius ingin menekan angkanya.

“Dan ingat ISPA itu bukan sekadar masalah infeksi biasa, tapi dia indikator stres ekologis perkotaan yang menuntut respons terpadu antara kesehatan di masyarakat, di lingkungan, dan kebijakan publik,” imbuhnya.

Baca juga artikel terkait ISPA atau tulisan lainnya dari Rohman Wibowo

tirto.id - News Plus
Reporter: Rohman Wibowo
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Alfons Yoshio Hartanto