tirto.id - Hollywood selalu setia pada satu formula, jika bicara tentang genre romcom, alias komedi romantis:
Sepasang karakter utamanya punya tabiat berseberangan, yang anehnya akan terasa sempurna untuk saling melengkapi. Masing-masing punya sahabat yang bijak—kalau tak konyol—yang entah kenapa tujuan hidupnya cuma jadi sahabat terbaik buat karakter utama (seolah-olah, pekerjaan, kisah cinta, seks, dan kebutuhan primer utama lainnya tak penting). Di tengah jalan, mereka dihalangi perpisahan yang tak terelakkan, dan berujung dengan usaha salah satu pihak merebut hati pasangannya dengan cara-cara aneh yang dibingkai romantis. Biasanya mengandung unsur hujan atau kembang api.
Long Shot, film terbaru dari komedian sekaligus produser film Seth Rogen, pada hakikatnya adalah romcom biasa. Formula di atas juga dipakainya sebagai premis dasar. Tapi, Rogen tak main-main dengan film terbarunya, ia dan seluruh tim mengembangkan cerita film ini selama 8 tahun—waktu yang panjang untuk bikin sebuah romcom biasa.
Hasilnya? Sebuah komedi cerdas yang bukan cuma bikin terbahak, tapi juga dilengkapi satire-satire tajam yang terasa dekat dengan era ini. Bukan cuma lucu, tapi juga penuh diskusi berbobot: mulai dari perubahan iklim, kesetaraan gender, partai sayap kiri dan kanan, rasialisme, supremasi kulit putih, hingga matinya jurnalisme.
Semua topik berat itu tak hanya dibungkus santai dan kocak, tapi juga rapi.
Ceritanya tentang Fred Flarsky (Seth Rogen), jurnalis kiri yang baru saja mengundurkan diri dari kantor medianya karena perusahaan itu dibeli konglomerat media, Parker Wempley (Andy Serkis). Dalam sebuah pesta makan malam kelas elite, ia tak sengaja bertemu Charlotte Field (Charlize Theron), menteri luar negeri Amerika Serikat yang semasa kecil pernah jadi pengasuhnya,
Sebagaimana romcom pada umumnya, pertemuan tak sengaja Fred dan Charlotte diramu romantis dan sejenaka mungkin, yang melibatkan Boyz II Men. Seolah-olah kehadiran mereka berdua di pesta itu adalah suratan takdir.
Tak peduli, betapa tak masuk akalnya seorang menteri luar negeri AS—yang juga berencana mencalonkan diri jadi presiden—meminta pengawalnya menjemput seseorang ‘yang sepertinya ia kenal’ hanya lewat sekelabat pandangan mata.
“Kami ingin membuat film yang benar-benar romantis, tapi juga lucu, sebagaimana film-film lucu lainnya di luar sana. Kami berkerja keras, Charlize lucu sekali, dan ternyata hasilnya bagus,” kata Seth Rogen dalam wawancaranya dengan Seth Meyer.
Untungnya, semua kebetulan yang memang cuma masuk akal terjadi dalam romcom itu dibalut penulis naskah Dan Sterling dan Liz Hannah dengan amat rapi. Nyaris tak ada kelakar yang meleset. Mereka memasukan banyak sekali budaya pop, macam Avengers, dan Game of Thrones sebagai elemen pengikat atensi penonton. Dan dengan sengaja merakit sejumlah karakter karikatur dari dunia nyata sebagai bahan lelucon utama. Misalnya karakter presiden AS yang diperankan Bob Odenkirk, perdana menteri Kanada yang diperankan Alexander Skarsgård.
Namun, karakter-karakter itu tak bisa dimungkiri memang hadir cuma sebagai ornamen. Jangan harap mereka akan diberi ruang cukup untuk mendalami karakternya. Sebagaimana romcom pada umumnya, Long Shot hanya fokus pada plot dua tokoh utamanya. Istilahnya, semesta itu hanya diciptakan untuk Charlotte dan Fred, karena penghuni lainnya hanya mengontrak.
Kritik utama yang ditonjolkan Long Shot, tentang diskriminasi pada perempuan juga tak tampil kuat sebagai hidangan utama.
Misalnya, bagaimana Fred melontarkan mansplaining pada Charlotte ketika sang menlu menjelaskan mengapa ia harus berkompromi dalam kariernya. Fred sempat beberapa kali melakukan mansplaining, sampai di kali kesekian menyadari sendiri bahwa Charlotte memang harus berkompromi karena ia adalah seorang perempuan.
“Oh kau memang harus berkompromi, karena kau perempuan ya?” tanya Fred, dengan nada yang lebih terdengar seperti pernyataan.
Lalu, Charlotte membalasnya tegas dengan—kurang lebih seperti: “Memang iya, dasar kau keparat!”
Naskah Sterling dan Hannah memang tajam membedah bagaimana karakter Charlotte harus benar-benar dikuliti oleh budaya patriarki dalam mewujudkan ambisinya menjadi presiden perempuan pertama Amerika Serikat. Sindiran-sindiran yang mereka selipkan tajam dan segar. Namun, sebagaimana romcom pada umumnya, kuncian utama Long Shot juga berotasi pada pasangan utamanya. Selama 115 menit film diputar, penonton akan diajak larut dalam dinamika chemistry kedua tokoh utama, yang harus diakui memang berhasil membangun hubungan yang meyakinkan.
Seth Rogen kocak, seperti biasanya, tapi Charlize Theron adalah pencuri pertunjukan.
Well, sebetulnya kabar itu juga bukan hal baru, jika melihat perjalanan karier Theron dengan film-film berbujet besar yang dibintanginya.
Perempuan asal Afrika Selatan ini memang aktris kelas atas Hollywood, talentanya tak perlu dipertanyakan. Namun, kita mengenal Theron dari film-film aksi dan drama penguras-air-mata. Hancock (2008), Mad Max: Fury Road (2015), The Fate of the Furious (2017), Atomic Blonde (2017), Tully (2018), atau North Country (2005). Piala Oscar pertamanya saja datang setelah memerankan Aileen Wournos si pembunuh berdarah dingin dalam Monster (2003). Nyaris, tak pernah ada yang benar-benar komedi seperti Long Shot.
“Aku selalu main film di mana aku dibunuh, atau aku yang membunuh. Or.. I’m that bitch!” kata Theron.
Maka, bermain di film komedi bukan cuma jadi tantangan buat Theron pribadi, tapi juga Rogen, sang lawan main yang juga duduk di kursi produser. Apakah sang aktris papan atas betul-betul punya mega-talenta?
Jawabannya, tentu saja. Charlize Theron—sebagaimana kita semua bisa menebaknya—tampil memukau sebagai aktris komedi. Semua kelakarnya jitu, dengan penyampaian yang sangat natural. Chemistry dengan Rogen yang meyakinkan juga lebih banyak disumbangkan akting natural Theron yang memikat.
Pada salah satu adegan yang sebetulnya tertebak, dan tak lucu-lucu amat, Charlotte tertawa melihat Fred yang dijahili memakai pakaian tradisional Swedia. Aktingnya sangat natural, sehingga tawa lepas itu menular dan hangat di saat yang sama. Performa Theron bukan cuma bikin karakter Charlotte hidup, tapi juga dalam.
Dan semoga saja tidak gampang terlupakan, misalnya seperti karakter Vivian Ward dalam Pretty Woman.
Editor: Windu Jusuf