tirto.id - Adalah keliru menerbitkan trailer live action dengan CGI kurang memuaskan dan gaya artistik aneh, sementara rumah produksi sebelah merilis live action dengan CGI layak dan gaya artistik menarik.
Simpulan di atas menggambarkan pertarungan fase awal antara dua film adaptasi gim Sonic the Hedgehog dan Pokemon: Detective Pikachu.
Karakter Sonic menjadi bahan ejeken warganet sampai Paramount Pictures memutuskan untuk mendesain ulang landak berwarna birunya. Di sisi lain, monster-monster dalam dunia Pokemon berhasil membangkitkan rasa gemas penonton sejak trailernya dipromosikan ke media sosial.
Cubone, misalnya. Pada awal film dinosaurus mini berhelm tengkorak itu diperlihatkan sedang diburu oleh Tim Goodman (Justice Smith).
Tim baru memulai pekerjaan di perusahaan asuransi. Ia didesak oleh seorang teman untuk mencari Pokemon. Karena berbeda dengan orang kebanyakan, ia tidak memilikinya. Sayangnya Cubone menolak pinangan Tim.
Pokemon hidup di alam liar. Mereka siap untuk ditundukkan manusia meski tidak selalu berjodoh dengan si pemburu.
Ryme City adalah pengecualian. Di kota yang diciptakan oleh milyader Howard Clifford itu manusia hidup berdampingan dengan Pokemon. Perburuan atau pertarungan antar-Pokemon dinyatakan ilegal.
Tim berkunjung ke Ryme City setelah menerima kabar bahwa ayahnya meninggal. Sang ayah, Harry Goodman, adalah detektif paling tersohor di Ryme City. Di bekas apartemen ayahnya Tim bertemu dengan seekor Pikachu. Anehnya, Tim mampu memahami apa yang Pikachu katakan.
Situasinya menjadi unik sebab Pokemon punya bahasa sendiri. Persis seperti binatang pada umumnya. Bunyi yang mereka keluarkan hanya satu kata, yakni jenis mereka sendiri. Jadi, saat Tim bisa memahami Pikachu dalam Bahasa Inggris, orang lain hanya mendengar “pika pika”.
Pikachu ternyata bekas pokemon Harry. Ia mengajak Tim untuk menyelidiki kabar kematian Harry sebab aturan mainnya sederhana: manusia mati, maka Pokemonnya juga mati. Tim awalnya menolak. Tapi, atas alasan sentimentil dan kecurigaan-kecurigaan tambahan, ia menyanggupinya.
Premis tersebut seharusnya membuat Pokemon:Detective Pikachu bergenre fantasi-misteri. Terasa agak gelap pula. Ryme City mencontoh latar film Blade Runner (1982) yang mencampurkan elemen urban Barat dan Asia Timur. Jalanannya padat, pencahayaannya agak gelap, tapi meriah oleh tanda-tanda jalanan berlampu neon.
Sutradara Rob Letterman menulis skenario bersama Dan Hernandez, Benji Samit dan Derek Connoly. Disokong dana dari Warner Bros. Pictures, Legendary Pictures dan The Pokémon Company, mereka mengadaptasi cerita dari narasi gim Detective Pikachu (2016).
Pokemon: Detective Pikachu menjadi film live action pertama yang diangkat dari waralaba Pokemon karya Satoshi Tajiri. Keputusan mengangkat monster-monster lucu ke layar lebar konon didorong oleh kesuksesan luar biasa besar gim Pokemon GO.
Film ini tergolong sukses jika ditelisik dalam beberapa segi. Pertama, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kualitas CGI-nya layak dipuji. Ryme City terlihat hidup sebagai utopia multikultural antara manusia dan Pokemon.
Kedua, desainnya bikin warganet jatuh cinta dengan Pikachu dan kawan-kawan. Orang yang bertanggung jawab atas hal ini adalah seorang ilustrator bernama RJ Palmer.
Palmer mempublikasikan hasil kerjanya di dunia maya, termasuk ilustrasi Pokemon bergaya realis. Para Pokemon menjadi terlihat seperti binatang nyata. Agak mengerikan, tapi unik.
Produser artistik film Nigel Phelps menemukan Palmer, tertarik dengan karyanya, lalu merekrutnya ke dalam proyek film. Tugas Palmer dan tim adalah mengembangkan rancangan monster agar terlihat menggemaskan melalui teknologi CGI—dan mereka berhasil.
Dengan demikian yang hidup tidak hanya para Pokemon, tapi juga nostalgia para penonton. Karakter yang pada waktu kecil diidolakan karena bermain gim atau menonton serialnya di televisi tiba-tiba hadir secara lebih nyata, dan tentu saja lebih mengundang tawa.
Humor adalah kelebihan nomor tiga film. Khusus untuk Pikachu, tawanya banyak bergantung pada kecerewetan Ryan Reynolds selaku pengisi suara.
Agak aneh melihat Pikachu bersuara orang dewasa. Beberapa orang mungkin butuh adaptasi. Tetapi, tanpa sang aktor, Pikachu hanyalah monster berbentuk bola-kuning-berbulu yang imut.
Reynolds mengambangkan karakter sesuai dengan dialog khas sejak berseragam Deadpool: cepat, padat, kadang menyenggol hal-hal vulgar. Di film ini ia mengerem sisi kevulgaran serta memaksimalkan kecepatan dan kepadatan dalam menyampaikan lelucon.
Pendeknya, Pokemon: Detective Pikachu cukup berhasil dalam mengemban misi sebagai film hiburan, terutama untuk penonton anak-anak. Saya bersepakat dengan beberapa kritikus yang mendaulatnya sebagai film adaptasi gim terbaik.
Sayangnya, plot film tidak dibangun dengan solid. Salah dua dampak utamanya adalah: (1) alurnya mudah ditebak, terutama jika Anda terbiasa menonton film-film live-action, (2) niat ganjil yang memotivasi tokoh antagonis menjadikan klimaksnya terasa anti-klimaks.
Beberapa kritikus menilai penyebabnya karena terlalu banyak koki di dapur. Saya agak bersepakat.
Para penyusun skenario yang tampil di kredit film seperti tidak mampu mengatasi perang ego hanya karena mereka pernah berkontribusi menyusun skenario Guardian of Galaxy (2014), Thor: Ragnarok (2017), sampai Jurrasic World (2015).
Reynolds mengonfirmasinya, bahkan mengaku ikut campur. Kepada ComicBook.com Reynolds bercerita bagaimana sebagian besar dari orang-orang yang terlibat dalam produksi mengambil jalan pintas dari hal-hal yang tertera dalam skenario film.
“Kita membentuknya (isi cerita) sesuai dengan yang kita inginkan. Saya harus memastikan jenis suara (untuk Pikachu) bekerja sesuai cara yang saya pikir itu bisa bekerja untuk saya.”
Problem yang bersifat naratif tersebut adalah pekerjaan rumah terbesar ketiga rumah produksi, terutama jika mereka berniat mengembangkan film sebagai waralaba baru.
Waralaba-waralaba yang mencapai status legendaris sekaligus sukses secara komersil selalu berangkat dari pondasi cerita yang kuat sebelum mengurus CGI dan perkara teknis lainnya. Dan tentu saja, sebab film adalah kerja kolektif, bukan proyek aktor kenamaan semata.
Editor: Windu Jusuf