tirto.id - Hans Leip, seorang prajurit Jerman berusia 22 tahun, hendak berangkat ke palagan Rusia pada 1914. Ia sedih hendak berpisah dengan Lili, kekasihnya. Untuk mengungkapkan kepiluannya ia menulis puisi bertajuk "Das Lied eines jungen Soldaten auf der Wacht" yang artinya “Lagu untuk Prajurit Muda yang Bertugas”.
Saat tugas jaga malam sebelum keberangkatannya, ia mendapat keramahan dari seorang juru rawat bernama Marleen. Sementara sumber lain menyebutkan bahwa Lili dan Marleen adalah dua orang kekasihnya. Kedua nama perempuan ini kemudian menjadi amat populer dalam pelbagai tangsi dan medan pertempuran selama Perang Dunia II. Para tentara menyanyikan lagu "Lili Marleen".
Sebelum popularitasnya melejit, puisi yang ditulis Hans Leip ini digubah menjadi lagu oleh Norbert Schultze pada 1938, seorang komponis film propaganda Jerman yang tercatat sebagai anggota partai Nazi. Gubahan lagu Schultze diberi judul "Das Madchen unter der Laterne" (Gadis di Bawah Lentera).
“Mr. Schultze menulis musik untuk film propaganda Jerman yang menggambarkan invasi ke Polandia, pemboman terhadap Inggris, serangan ke Afrika Utara, dan kampanye menyerang Rusia. Tapi dia dikenang karena sebuah lagu yang jauh dari bombastis. "Lili Marleen" menjadi favorit tidak hanya di kalangan tentara Jerman, tapi juga di kalangan pasukan Inggris dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa,” tulis New York Times.
Lagu ini mula-mula dinyanyikan oleh Lale Andersen pada 1939. Joseph Goebbels, Kepala Propaganda Nazi, membenci lagu ini karena dianggap tidak cukup militeristik, anti-perang, dan dekat dengan pengkhianatan. Selain itu, Lale Andersen pun dituduh bersimpati terhadap Yahudi. Akibatnya, lagu ini dilarang. Lale Andersen kemudian mendapat status sebagai tahanan rumah, sedangkan Schultze disuruh untuk menulis lagu yang memuja cita-cita Nazi.
Namun, saat Jerman menduduki Beograd pada 1941, mereka kekurangan materi penyiaran untuk stasiun radio yang mereka rebut dan hendak dipancarluaskan ke pasukan mereka yang tengah bertugas di Afrika Utara. Saat mencari bahan siaran, Letnan Karl-Heinz Reintgen menemukan rekaman lagu "Lili Marleen". Ia tahu lagu tersebut dilarang, tapi karena tidak ada lagi materi dan ia tahu kalau kawannya yang tengah dinas di Afrika Utara menyukai lagu itu, maka "Lili Marleen" pun diputar.
Pemutaran tersebut menjadi titik balik bagi "Lili Marleen". Pasukan Jerman dan masyarakat sipil ternyata menyukainya dan meminta lagu itu diputar berulang kali. Tiap malam "Lili Marleen" diperdengarkan hingga Joseph Goebbels menarik ucapannya dan menyatakan bahwa Nazi menyambut lagu tersebut. Selanjutnya, Lale Andersen dan Schultze dibawa berkeliling ke seluruh Jerman untuk membawakan "Lili Marleen".
Siaran radio Jerman ternyata dapat dijangkau juga oleh pasukan Sekutu, sehingga "Lili Marleen" pun disukai oleh mereka. Saat tentara Inggris cuti dari garis depan, mereka menyanyikan "Lili Marleen" yang berbahasa Jerman di London. Hal ini ditentang sejumlah orang sehingga akhirnya "Lili Marleen" diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Popularitas "Lili Marleen" tersebar cepat, tak heran jika lagu ini juga kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Perancis.
Warsa 1943, bintang film Jerman-Amerika, Marlene Dietrich, menyanyikan "Lili Marleen" di seluruh Eropa yang tengah dilanda perang dan membuatnya beken, sampai-sampai diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa.
Pada 1972, Lale Andersen sempat ditanya apakah ia bisa menjelaskan tentang popularitas Lili Marleen. Ia menjawab, “Bisakah angin menjelaskan mengapa ia menjadi badai?”
Sementara dalam catatan Verzets Resistance Museum, Lili Marleen menjadi populer karena lagu tersebut mencirikan semangat zaman: berpisah dari orang yang dicintai, perasaan rindu kepada kampung halaman dan kerinduan akan rumah, kesepian, serta ketakutan akan kematian.
"Lili Marleen" dalam Hentakan Para Maung
Di Indonesia, "Lili Marleen" lekat dengan pasukan Kodam Siliwangi (dulu masih Divisi), karena irama lagu tersebut dijadikan sebagai Mars Siliwangi. Dalam Siliwangi dari Masa ke Masa (1946-1949) dijelaskan bahwa gagasan membuat Mars Siliwangi terjadi saat sejumlah pasukan tersebut berada di atas kapal M.S. Plancius yang mengangkut mereka saat hijrah ke Jawa Tengah.
Ide mula-mula muncul atas prakarsa Cecep Aryana (Perwira Staf Divisi Siliwangi) dan Letnan Pirngadi. Selain kedua orang ini, di kapal yang sama juga turut serta Letnan Kolonel Daan Yahya, Kapten Daeng Kosasih, Kapten Akhmad Wiranatakusumah, dan Kapten Daeng Muhamad.
Pada 15 Mei 1948, atau lima hari jelang HUT Siliwangi, bertempat di Hotel Tidar, Magelang, lagu tersebut digubah lagi oleh Letnan II Akhmad Adnawijaya, Kapten Cecep Aryana, dan Letnan Kolonel dr. Barnas Alibasyah.
“Lagu Mars Siliwangi bukanlah ciptaan satu orang saja, akan tetapi hasil kerja sama beberapa orang. Lagu tersebut beriramakan lagu "Lili Marleen" yang terkenal itu,” demikian keterangan yang terdapat dalam buku tersebut.
Siliwangi menulisnya dalam empat bahasa, yakni Bahasa Inggris, Belanda, Indonesia, dan Sunda. Namun, dalam perjalanannya, hanya dua bahasa terakhir yang dipakai dalam mars tersebut.
Berikut lirik "Lili Marleen dalam keempat bahasa itu:
“Hallo everybody/Here’s the Siliwy/Coming from West Java/Saying all goodbye/We leave Pappa and we leave mamma/And even leave our ‘Schoonmamma’/But we have still good spirit/And make the best of it”.
“Hallo lieve meisjes/Hier’s de Siliwy/Met hun tijgerkopjes/Maken veel lawaai/De meisjes vinden ons banaal/En zien ons aan voor kannibaal/Oh meisjes, jullie zijn niet pluis/Eh we zijn zo ver van huis”
“Oh, beginilah/Nasibnya soldadu/Diosol-osol dan diadu-adu/Tapi biar tidak apa/Asal untuk negeri kita/Naik dan turun gunung/Hijrah pun tak bingung”
“Paduli teuing/Kuring keur ngabagong/Nu narénjokeun ulah réa omong/Kieu sotéh miceun tineung/Lamun prung mah moal keueung/Pasukan Siliwangi/Saeutik gé mahi.”
Kenapa lagu "Lili Marleen" bisa dikenal oleh para perwira Siliwangi? Dalam catatan sejarah, Siliwangi memang terkenal diisi oleh para perwira mantan KNIL lulusan KMA (Koninklijke Militaire Academie) Breda dan Bandung yang memungkinkan mereka menyerap pengetahuan atau pengalaman yang terkait dengan lagu "Lili Marleen".
Sebagai contoh, Didi Kartasasmita dan Hidayat Hidajat Martaarmadja adalah dua orang Sunda lulusan KMA Breda yang sempat berkecimpung dalam dunia militer di Jawa Barat. Tak heran jika kemudian salah satu bait lirik mars tersebut memakai Bahasa Sunda.
Dalam Didi Kartasasmita: Pengabdian bagi Kemerdekaan (1993) yang ditulis oleh Tatang Sumarsono, mantan Panglima Komandemen Jawa Barat itu berkisah saat ia digembleng sebagai calon kadet di Bandung yang kerap berlari keliling lapangan sambil menyanyikan "Lili Marleen" dengan lirik yang sedikit diubah.
Sama seperti lirik aslinya, "Lili Marleen" versi Sunda juga menguarkan kerinduan terpendam.
Bagian “Kieu sotéh miceun tineung (Begini tuh untuk membuang rasa rindu/teringat terus)” menggambarkan prajurit yang tengah menghibur diri atas kerinduan pada keluarga yang ditinggalkan demi memenuhi tugas, khususnya saat hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah.
Hal ini diperkuat oleh kalimat sebelumnya yang berbunyi “Kuring keur ngabagong (Aku tengah keluar masuk hutan)” yang menandakan bahwa pasukan tengah berjalan melintasi pelbagai macam medan menuju ke tempat baru. “Ngabagong” diambil dari kata “Bagong” yang artinya babi hutan.
Sementara dalam lirik Bahasa Indonesia lebih gamblang dengan menyebutkan “Naik dan turun gunung/Hijrah pun tak bingung”.
"Lili Marleen" yang lahir pada Perang Dunia I itu tersebar ke pelbagai penjuru dunia, melintasi banyak negara dan bahasa, dan sampai juga ke tanah Pasundan: menghentakkan semangat juang sekaligus penglipur rindu bagi para Maung Siliwangi di medan perang.
Editor: Windu Jusuf