tirto.id - PSMS Medan benar-benar beruntung mengarungi Liga 1 musim kompetisi 2018/2019. Klub berjuluk Ayam Kinantan ini telah memenuhi standar penerangan Stadion Teladan sebelum kompetisi Liga 1 bergulir. Keberuntungan ini tak terlepas dari jadwal Liga 1 yang ngaret hingga empat kali.
Pada Februari 2018, PSMS tak lolos verifikasi pertama soal kelayakan stadion. Klub ini harus memenuhi standar penerangan sebanyak 800 lux (satuan pencahayaan), sedangkan Stadion Teladan hanya menyediakan 500 lux.
Namun, PT Liga Indonesia Baru sebagai operator Liga 1 memberi waktu tambahan bagi beberapa klub yang gagal verifikasi, termasuk PSMS. Jika renovasi stadion tak memenuhi tenggat sebelum pelaksanaan Liga 1, PSMS terpaksa mencari stadion lain untuk berlaga.
Namun, ketidakbecusan PT LIB melunasi utang kepada tim yang berlaga di kompetisi Liga 1 2017/2018 menyelamatkan PSMS. Baik PT LIB dan 18 klub Liga 1 sepakat bahwa kick-off musim 2018/2019 tak akan digelar sebelum utang kepada klub dibayarkan.
Alhasil, pertandingan pertama yang dijadwalkan berlangsung pada 24 Februari 2018 diundur hingga 3 Maret, lalu diundur lagi sampai 10 Maret.
Pada 25 Februari, verifikasi kedua soal kelayakan stadion digelar di Stadion Teladan. Jika kompetisi jadi diadakan pada 10 Maret, PSMS harus mencari lapangan lain. Pemerintah Kota Medan terancam didemo oleh masyarakat setempat untuk kedua kalinya.
Namun, lagi-lagi, PSMS memang "sangat beruntung": kompetisi Liga 1 diundur sampai 23 Maret, meski utang pada klub sudah dilunasi per 6 Maret dan Rapat Umum Pemegang Saham dilakukan pada 8 Maret 2018.
Pada 15 Maret, PSMS dinyatakan lolos verifikasi dengan penerangan 818 lux, sedikit melebihi batas yang ditetapkan PT LIB. PSMS berhasil lolos hanya dengan menyelesaikan perihal penerangan dan menyisakan masalah lapangan yang bergelombang.
PSMS Medan, dari penelusuran kami terhadap akta perusahaan, dimiliki oleh PT Kinantan Medan Indonesia. Pemilik saham mayoritasnya sebesar 51 persen dipegang Edy Rahmayadi, mantan Panglima Kostrad sekaligus Ketua Umum PSSI. Sejak 4 Januari 2018, Edy pensiun dini demi ambisi politiknya mengikuti pemilihan gubernur Sumatera Utara. Posisinya di PSSI pun "dibebastugaskan".
Edy berkata kepada kami bahwa ia sudah memiliki saham di PSMS Medan sejak 2015 saat ia menjabat Pangdam Bukit Barisan.
“Memang PSMS tidak berpisah dengan Edy Rahmayadi,” katanya kepada kami via telepon pada Kamis pagi kemarin, 22 Maret. “Sejak tahun 1998 saya pengurus PSMS. Saya bukan orang baru di PSMS.”
Meski begitu, Edy menampik campur tangan dalam proses verifikasi Stadion Teladan. Ia berkata masalah manajemen klub sudah diserahkan kepada pengurus.
Wakil Ketua Umum PSSI, Iwan Budianto, menilai bahwa Edy "tidak mempunyai niatan" untuk mencampuri urusan PSMS, apalagi memanfaatkan statusnya sebagai Ketum PSSI, dalam perkara verifikasi Stadion Teladan.
“Jika dianggap ada intervensi bisa dari sudut pandang yang lain, tapi saya menganggap enggak lah. Kehendak Pak Edy enggak sampai ke situ,” kata Iwan.
Edy, yang merangkap jabatan sebagai Ketum PSSI, menilai dirinya bersih dari "konflik kepentingan" sebagai pemilik mayoritas saham di PSMS.
“Gimana conflict of interest? Namanya industri itu legalitas hukum. Jadi hukum yang main. Kalau tidak begitu nanti diperdagangkan yang tidak-tidak,” katanya, lagi.
Kendati telah menampik konflik kepentingan dan campur tangan, PSMS Medan boleh jadi diuntungkan dengan posisi Edy sebagai Ketum PSSI.
Pada Oktober 2017, seorang suporter Persita Tangerang bernama Banu Rusman, pelajar STM PGRI Serpong, usia 17 tahun, meregang nyawa setelah mengalami pendarahan otak akibat pengeroyokan suporter PSMS Medan yang diduga prajurit TNI.
Ketiga petinggi PSSI, Ratu Tisha Destria, Joko Driyono, maupun Edy sudah menyatakan kepada publik untuk menugaskan Komite Disiplin PSSI melakukan sidang kasus tersebut. Namun, PSMS hanya diberi sanksi empat laga tanpa penonton.
Saat kasus ini terjadi, kami mengontak Edy untuk bertanya soal tanggung jawab PSSI untuk menangani kematian sang pelajar. Edy berkata bahwa Kostrad "tengah menginvestigasi prajurit yang terlibat dalam bentrokan."
“Kalau sudah investigasi, pasti akan ada sanksi,” katanya tanpa merinci sanksi seperti apa yang akan dijatuhkan.
Saat kami minta tanggapannya soal kasus-kasus kematian suporter, bahwa sejak 2016 ada sedikitnya 9 suporter sepakbola yang tewas, baik di dalam maupun luar stadion, Edy berkata dengan nada emosional: "Saya mau mundur saja jadi ketua umum PSSI! Kamu [saja yang] jadi ketua PSSI, mudah-mudahan tidak ada yang tewas, deh.”
Kini, kasus kematian terhadap Banu telah berumur nyaris 5 bulan. Pelaku penganiayaan terhadap Banu tak pernah terungkap. Pada peringatan 100 hari kematian Banu, ratusan massa turun ke jalan menuntut Edy untuk menuntaskan janjinya.
Saat Edy Mengistimewakan Langkah Glenn Sugita
Masalah verifikasi stadion memang diserahkan kepada operator pertandingan, yakni pihak PT LIB. Edy sebagai Ketum PSSI tidak punya kekuasaan untuk mencampuri hal itu secara langsung. Namun, jabatan Komisaris Utama PT LIB diduduki oleh Glenn Sugita.
Direktur Utama PT Persib Bandung Bermartabat itu pernah diuntungkan oleh kebijakan Edy.
Pada April 2017, Persib mendatangkan Michael Essien. Sebelum mendarat di Persib, Essien digaji Rp11 miliar per musim oleh Panathinaikos. Dua hari setelah kedatangan Essien, PSSI mengeluarkan aturan mengenai pemain asing dengan pola 2+1+1: dua pemain asing, satu pemain asing dari Asia, dan satu marquee player.
Padahal, menilik kompetisi Indonesian Super League pada tahun yang sama, pembatasan jumlah pemain asing adalah 3 orang. Keputusan PSSI yang dipimpin Edy menguntungkan Persib.
Ini diperkuat rekrutmen anyar Persib terhadap Carlton Cole. Ia didaftarkan dengan status pemain asing dalam kuota yang ditentukan PSSI. Menanggapi naiknya kuota ini dan menguntungkan klub-klub dengan daya beli tinggi, Edy tetap enggan mengubah keputusan PSSI.
“Marquee player sifatnya tidak memaksa, hanya yang mau saja. Kalau mampu lima, silakan. Kebetulan yang menyambut baru Persib,” ujar Edy.
Dengan keputusan ini, Persib bisa meminang pemain asing tanpa khawatir dengan pembatasan kuota.
Wakil Ketum PSSI, Iwan Budianto, yang juga pemilik mayoritas saham di Arema FC, berkata keputusan PSSI di bawah Edy menjelang musim Liga 1 tahun lalu memang bertujuan memuluskan langkah Persib dan klub lain untuk "mendatangkan pemain asing yang dapat menarik perhatian dunia."
Iwan berkata bahwa PSSI tak ingin menguntungkan Persib secara spesifik, tapi membuka kesempatan pada klub lain.
“Sejujurnya buat Persib, untuk apa dia rekrut pemain macam Essien, wong dia penontonnya sudah banyak. Tapi bersepakatlah kami ini di dalam kepengurusan [PSSI], ‘Yok bagaimana kita ngangkat ini?’ ‘Oh, kita datangin marquee player.’ ‘Oke, siapa yang punya uang banyak?’ ‘Okelah gue [Persib] berkorban untuk dapatin marquee player. Harapannya semua, toh akhirnya enggak hanya Persib,” ujar Iwan.
Iwan menilai keputusan PSSI saat itu "tidak masalah" karena marquee player dibutuhkan di Indonesia. Meski hanya 4 sampai 5 klub yang mampu mendatangkan marquee player, tetapi upaya ini dianggap Iwan bisa meningkatkan gairah sepakbola nasional setelah perkembangan amburadul kompetisi liga.
“Pemancingnya, kan, harus begitu," ujarnya. "Kalau enggak ada pemancingnya, siapa yang mau datengin?”
"Lingkaran Setan" Jabatan Pengurus Liga & Pemilik Klub
Ada sejumlah petinggi PSSI dan operator Liga 1 yang memiliki saham mayoritas di masing-masing klub. Mereka adalah Iwan Budianto (Arema FC), Edy Rahmayadi (PSMS Medan), Glenn Sugita (Persib Bandung), dan Joko Driyono alias Jokdri (Persija Jakarta).
Iwan mendaku bahwa kepemilikan saham di Arema FC sebelum ia menjadi pengurus PSSI. Ia menganggap "wajar" jika pemilik klub ingin memajukan persepakbolaan Indonesia dan bergabung menjadi pengurus PSSI.
“Kami tidak bisa membatasi pendapat publik yang mengatakan ada konflik kepentingan. Tapi biarkan saja, kami lihat saja apa yang dilakukan selama ini begitu enggak [tidak adil dan sarat konflik kepentingan]?” ujarnya.
Berdasarkan statuta federasi sepakbola dunia (FIFA) yang berlaku April 2016, pemilik klub dan pengurus perkumpulan sepakbola memang tidak dilarang untuk rangkap jabatan.
Salah satu poin yang disoroti FIFA adalah kepemilikan pengurus terhadap lebih dari satu klub oleh satu individu tertentu, baik itu melalui perusahaan induk ataupun anak perusahaannya.
“Dalam keadaan apa pun, tidak seorang pun atau badan hukum termasuk induk perusahaan dan anak perusahaannya dapat mengendalikan lebih dari satu klub atau grup yang menyebabkan integritas suatu pertandingan sepakbola diragukan,” tulis pasal 19 Statuta PSSI.
Statuta PSSI mengacu Statuta FIFA. Dalam peraturannya, anggota PSSi diwajibkan tunduk pada Statuta. Anggota juga diharuskan menjalankan prinsip loyalitas, integritas, dan perilaku sportif, yang diatur secara khusus dalam ketentuan statuta. Jika terindikasi melanggar statuta seperti konflik kepentingan, Komite Eksekutif (Exco) PSSI yang akan menjatuhkan sanksi.
“Sekarang memang sebagian besar Komite Exco PSSI hampir 50 persen anggotanya memiliki klub, tapi Exco, kan, enggak seumur hidup. Dibatasi masa jabatannya 4 tahun sekali,” kata Iwan.
“Kalau memang mereka tidak benar dan memihak klub tertentu, nanti publik juga yang menentukan mereka tidak dipilih lagi untuk jadi pengurus berikutnya," lanjut Iwan.
Tak ada larangan untuk rangkap jabatan juga dijelaskan oleh Sekretaris Jenderal PSSI, Ratu Tisha Destria. Menurutnya, rangkap jabatan memang sah dilakukan. Selain itu, Tisha melihatnya dari segi historis untuk membenarkan kepemilikan saham pengurus PSSI di klub kompetisi liga Indonesia.
Dalam sejarah, PSSI memang dirintis oleh Soeratin Sosrosoegondo bersama 7 klub pendiri, yakni Persija Jakarta, Persib Bandung, PSIM Yogyakarta, Persis Solo, PSM Madiun, PPSM Magelang, dan Persebaya Surabaya.
“Jadi sejak awal PSSI memang dibentuk oleh orang-orang dalamnya sendiri. Jadi enggak masalah kalau tradisi itu masih ada sampai sekarang karena memang sepakbola dipahami dan dibentuk oleh orangnya sendiri,” ujar Tisha.
Pelaksana tugas Ketua Umum PSSI, Joko Driyono, mengatakan bahwa kepemilikan sahamnya di Persija adalah upaya untuk menyelamatkan salah satu klub sepakbola paling lawas di Indonesia itu agar bisa bertahan. Sebelum ia masuk bersama Gede Widiade, Persija Jakarta mengantongi utang sekitar Rp90 miliar.
“PSSI punya kepentingan memproteksi ini,” kata Jokdri, sapaan akrabnya dari akronim nama dia, di Hotel Sultan, beberapa waktu lalu.
”Banyak di beberapa negara, misalnya Brisbane Roar (Australia), saat collapse, FFA (Federasi Sepak Bola Australia) masuk untuk mencoba menjembatani sehingga transformasi itu terjadi. Ini yang kami lakukan, 100 persen secara legal harus dijamin,” tambah Jokdri menerangkan langkahnya di Persija.
Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi mengatakan bahwa kepemilikan ganda antara regulator dan kompetitor seharusnya dipisahkan. Ia mengingatkan soal konflik kepentingan, “Harus dipisahin, dong. Masak regulator, operator jadi satu [PSSI dan klub]?.
Bagaimana menghentikan rangkap jabatan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan?
Sekretaris Jenderal Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI), Heru Nugroho, mengatakan bila ada masalah akibat rangkap jabatan, Exco PSSI-lah yang akan bikin penilaian. Namun, Heru menilai, ini memang seperti “lingkaran setan” dalam sepakbola tanah air.
Permasalahannya, anggota Exco dipimpin oleh Edy Rahmayadi, Iwan Budianto, dan Jokdri. Belum lagi anggota Exco lain seperti Pieter Tanuri (Bali United). Bagaimana jika pengurus PSSI sekaligus pemilik klub ini bermasalah?
“Ya...,” Heru berpikir sejenak. “Itu memang lingkaran setan yang terjadi di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia.”
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Fahri Salam