tirto.id - Sebanyak 2.750 ton amonium nitrat meledak pada Selasa (4/9) lalu di ibukota Lebanon, Beirut. Akibat peristiwa ini 135 orang tewas dan lebih dari 5.000 penduduk mengalami luka-luka. Tak ketinggalan, terdapat ratusan ribu warga yang kehilangan tempat tinggal setelah bangunan-bangunan di sekitar lokasi hancur akibat ledakan.
Tidak sampai 48 jam selepas kejadian, seorang presiden datang mengunjungi. Ia melihat langsung duka yang diakibatkan ledakan sekaligus menyatakan simpati. “Saya melihat langsung raut muka mereka yang menggambarkan kegetiran, kesedihan, kesakitan,” ujar sang presiden.
Ironisnya, presiden itu bukan presiden Lebanon, melainkan Perancis. Emmanuel Macron, bukan Michel Aoun.
Dalam laporannya untuk The New York Times, Ben Hubbard menyatakan Macron datang karena “memiliki sejarah mendalam” dengan Lebanon. Lebanon, hingga 24 Oktober 1945, adalah koloni Perancis.
Seketika, kealpaan pejabat tinggi Lebanon menjenguk warganya yang tengah terkena musibah memancing kemarahan massal. Warga Lebanon membuat petisi online di situs Avaaz, meminta Perancis kembali “mengambil alih Lebanon” selama 10 tahun. Petisi online telah ditandatangani lebih dari 55.000 warga, sebelum Avaaz akhirnya diblokir. Kepada The New York Times, Khalil Honein, warga Lebanon yang rumahnya meminta Macron “menjadi presiden kami”. Teriakan “revolusi” pun menggelora.
Pasca-ledakan ini, Perancis, Siprus, Denmark, Italia, Jordan, Cina, dan bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) siap mengirimkan bantuan. Namun, Honein dan warga Lebanon lain meminta Perancis (dan negara-negara lain) tidak serta merta mengirimkan bantuan. Alasannya, ledakan yang disebut-sebut setara dengan 10 persen kekuatan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki ini berakar dari blunder para pejabat Lebanon dalam mengelola negara.
Lebanon, mengutip analisis Alex Ward untuk Vox, adalah negara yang diurus dengan sistem Multi-Level Marketing.
Terbengkalai Sejak 2013
Rhosus, nama kapal berbendera Moldova, tiba di pelabuhan Beirut pada November 2013 silam setelah menarik jangkar dari pelabuhan Batumi, Georgia, tepi Laut Hitam dua bulan sebelumnya. Kapal berbendera Moldova ini dimiliki Igor Grechushkin, pebisnis asal Rusia. Boris Prokoshev, pelaut yang sesungguhnya telah pensiun, adalah sang kapten yang memimpin Rhosus sejak kapal ini melintasi Turki.
Prokoshev, yang digaji untuk $1 juta untuk memimpin Rhosus, sebetulnya tak hendak menghentikan kapal yang dikemudikannya di Beirut. Declan Walsh, dalam laporannya untuk The New York Times, menyatakan bahwa Prokoshev disuruh oleh bosnya untuk membawa Rhosus ke pelabuhan Beira di Mozambik. Rhosus memang tidak membawa kargo milik pemerintah atau perusahaan Lebanon, melainkan membawa lebih dari 2.000 ton amonium nitrat milik Fábrica de Explosivos de Moçambique, sebuah perusahaan yang membuat bahan peledak komersial di Mozambik. Berlabuh di Beirut adalah keterpaksaan.
Perjalanan membawa amonium nitrat dari Batumi ke Beira mengharuskan kapal melintasi Terusan Suez. Masalahnya, jalur laut buatan yang menghubungkan Laut Mediterania dan Laut Merah itu tidak gratis untuk dilalui. Tarif ditentukan oleh jenis, berat, dan seberapa banyak muatan yang diangkut kapal. Rata-rata, kapal yang melintas Terusan Suez harus membayar $700.000 sekali jalan. Gaji Prokoshev menakhkodai Rhosus belum dibayarkan, bos yang mempekerjakannya pun tidak memberi uang jalan. Rhosus tidak punya uang untuk sampai ke tujuan.
Pikir Prokoshev, ia harus mencari pendapatan lain untuk sampai ke Batumi. Rhosus akhirnya dibawanya ke Beirut dan di sana ia menawarkan jasa pengiriman kargo dari pebisnis-pebisnis Lebanon. Uang yang dihasilkan akan digunakan untuk membiayai lanjutan perjalanan ke Batumi. Sialnya, Rhosus adalah kapal tua, berusia sekitar 30 tahun. Walhasil, tidak ada pihak mana pun yang menyewa jasa Rhosus. Terbengkalai, enam awak kapal pergi meninggalkan Rhosus. Di sisi lain, Prokoshev dan sisa awak lainnya dipaksa otoritas Lebanon untuk tetap berada di sana menyelesaikan masalah Rhosus.
Masih merujuk laporan Walsh, demi menyelesaikan masalah Prokoshev mendatangi Kedutaan Besar Rusia di Lebanon untuk memperoleh pertolongan. Sayangnya, ia tak diacuhkan. Stres, keputusan konyol akhirnya lahir. Prokoshev menjual sisa bahan bakar dan onderdil kapal. Uang yang dihasilkan, selain untuk membiayai keperluannya dan beberapa awak kapal yang tertahan, digunakan untuk membayar pengacara untuk membebaskannya dari kewajiban mengurus Rhosus. Pada Agustus 2014, pengadilan setempat akhirnya memperbolehkan Prokoshev dan anak buahnya meninggalkan Rhosus, meninggalkan Lebanon. Di sisi lain, meskipun berada di pihak yang membela Prokoshev, pengacara Prokoshev mengingatkan pemerintah Lebanon bahwa kargo yang dibawa Rhosus, amonium nitrat itu, “dapat meledak kapan saja”.
Peringatan pun tak hanya digaungkan pengacara Prokoshev, tapi juga oleh pejabat-pejabat di Bea Cukai Lebanon. Bahkan, dari 2014 hingga 2017, pihak Bea Cukai telah enam kali menyurati petinggi Lebanon untuk segera mengurus berton-ton amonium nitrat yang berlabuh di Beirut, entah diserahkan pada tentara Lebanon atau dijual ke perusahaan-perusahaan yang membutuhkan. Sialnya, surat tak berbalas--lebih tepatnya, pejabat-pejabat tinggi Lebanon memang tidak peduli akan keberadaan amonium nitrat. Akhirnya, enam tahun berselang, sikap tidak acuh itu berbuah malapetaka. Yang diperingatkan pengacara Prokoshev terbukti akhirnya terbukti pekan lalu.
Alex Ward, dalam laporannya untuk Vox, menyebut bahwa meledaknya berton-ton amonium nitrat sangat terkait dengan kondisi dalam negeri Lebanon yang sudah porak-poranda jauh sebelumnya. Akibat salah urus negara dan korupsi yang dilakukan pejabat-pejabatnya.
Pasca-perang sipil yang berlangsung selama 15 tahun, pada 1990 Lebanon mulai menata perekonomiannya. Karena tidak memiliki sumber daya alam melimpah, Lebanon menggantungkan perekonomian pada bisnis pariwisata dan merayu turis-turis asing untuk berkunjung. Salah satu strategi yang dipilih, Lebanon “menggadaikan” lira pada dolar, melakukan kebijakan pegging, yakni kebijakan untuk mematok nilai mata uangnya sendiri bukan atas permintaan-penawaran, tetapi pada dolar. Sederhananya, nilai tukar mata uang lira ke dolar sama, fixed. Otoritas fiskal Lebanon menetapkan bahwa sejak tahun 1997, $1 sama dengan 1.507 lira.
Sialnya, meskipun telah terbebas dari perang sipil, konflik tidak usai menerjang Lebanon. Hingga tahun 2000, misalnya, Israel menguasai wilayah selatan Lebanon. Di jalan-jalan Lebanon pada 2006, pertempuran Hizbullah dan pasukan Israel adalah pemandangan rutin. Pada 2014, ISIS sempat menguasai sebagian kecil Lebanon. Kondisi keamanan yang tidak stabil ini membuat pariwisata Lebanon gagal.
Lambat laun, karena satu-satunya harapan sumber uang tak menunjukan hasil, yakni industri pariwisata, Lebanon bertumpu pada pinjaman dolar dari Arab Saudi dan remitansi, pengiriman uang dari pekerja asal Lebanon di luar negeri. Sialnya, dolar dari dua sumber pendapatan ini pun (beserta pendapatan dari dalam negeri) akhirnya mengering. Alasannya, penguasa Lebanon menggunakan skema MLM alias Multi-Level Marketing untuk menggerakan roda perekonomian.
Kepada setiap rakyat yang menyimpan uangnya di bank--yang sudah pasti dilakukan pekerja formal atau PNS--pemerintah Lebanon menjanjikan bunga yang tinggi, hingga mencapai angka 15 persen. Masalahnya bunga tinggi itu disertai dengan kebijakan limitasi penarikan uang. Bank--yang memperoleh dolar dari pinjaman Arab Saudi melalui tangan pemerintah, remitansi, dan akumulasi dana tabungan warga yang terkena kebijakan limitasi--menyalurkan pinjaman ke pebisnis-pebisnis Lebanon. Lagi-lagi, karena buruknya stabilitas keamanan, bisnis-bisnis yang meminjam uang itu berguguran. Ini diperparah dengan beban pengeluaran negara, yang juga menggunakan akumulasi dana tabungan warga yang terkena kebijakan limitasi, serta korupsi. Lebih buruk, 80 persen bahan pokok kebutuhan warga Lebanon dipasok dari luar negeri, yang tentu saja transaksinya menggunakan dolar.
Lebanon melakukan tambal sulam agar bertahan hidup. Hingga akhirnya, pada bulan September 2019 lalu, uang sejumlah $100 miliar di bank-bank Lebanon “hilang”. Kebijakan pegging lira terhadap dolar hancur. Nilai mata uang lira jeblok. Uang senilai $33, misalnya, akhirnya hanya setara $5,5.
Kondisi ini yang membuat pemerintah tak peduli atas keberadaan berton-ton amonium nitrat.
Setara Dengan 7,2 Persen Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki
Menurut laporan Evan Hill yang mengamati rekaman-rekaman ledakan Beirut untuk The New York Times, awal mula bencana terjadi tepat pada pukul 17.54 waktu setempat pada Selasa (4/9). Kala itu, seketika terdengar suara ledakan, lengkap dengan munculnya kabut tebal yang membumbung di angkasa. Tak dikira, beberapa detik kemudian, atau tepatnya pada pukul 18.08, ledakan kedua menggelegar dan menjadi ledakan terbesar. Bangunan-bangunan di sekitar seketika hancur. Kepulan asap menyerupai jamur membumbung.
Awalnya, tak jelas asal usul ledakan. Dugaan awal mengarah pada serangan teroris. Dugaan itu tak lama bertahan, sebab ledakan mengarah pada terpelatuknya 2.750 ton amonium nitrat yang terdapat di pelabuhan Beirut.
C. Oommen, dalam studi berjudul “Ammonium Nitrate: A Promising Rocket Propellant Oxidizer” yang termuat dalam Journal of Hazardous Materials (1999), menyebut bahwa amonium nitrat (AN) merupakan bahan kimia oxidizer, suatu zat yang memiliki kemampuan mengoksidasi zat lain, menerima elektron zat lain itu, atau semacam zat yang dapat memicu zat lain untuk meledak. Namun, secara umum, AN sendiri merupakan bahan peledak.
AN bukanlah zat yang muncul tiba-tiba dari alam. Garam kristal tak berwarna yang sangat larut dalam air, alkohol, asam asetat, dan asam nitrat ini kali pertama ditemukan pada 1659, oleh kimiawan asal Jerman bernama Johann Rudolf Glauber, yang mencampurbaurkan asam nitrat, alkali volatil, dan amonium karbonat. Awalnya, AN disebut Glauber sebagai “nitrum flammans”, atas kemunculan nyala api berwarna kuning. Kini, AS merupakan zat kimia yang dihasilkan atas reaksi kimia pencampuran antara amonia sintetis dan asam nitrat.
Secara alami, AN dapat meledak jika suhu di sekitarnya mencapai 260 hingga 300 derajat celcius. Karena sifat inilah, AN populer digunakan bahan peledak, bahkan sangat mungkin menjadi bahan peledak roket. Namun, Oommen menegaskan, jika digunakan untuk roket, AN punya kelemahan, yakni kenyataan bahwa zat ini memiliki sifat low burn rate, ukuran laju pembakaran dari suatu senyawa atau zat. Mengubah AN menjadi bahan peledak mulai populer sejak 1867. Kala itu, dua orang kimiawan asal Swedia bernama Ohlosson dan Norrbin menciptakan teknik pembuatan peledak menggunakan AN, teknik yang mereka namai “ammonikust”. Untuk menghasilkan daya ledak yang lebih tinggi, tak jarang AN dicampurbaurkan dengan nitrogliserin dan TNT.
Penggunaan AN sebagai bahan peledak populer digunakan sebelum Perang Dunia II meletus, dan kian umum seiring waktu, khususnya untuk keperluan industri tambang. Oommen menyebut, 90 persen total produksi AN dimanfaatkan sebagai bahan peledak pada 1975.
Salah satu ciri khas ledakan yang dihasilkan oleh AN adalah asap berwarna gelap, kemerahan, atau bahkan putih.
Dalam kasus ledakan di Beirut, kembali merujuk laporan Hill, ledakan dari 2.750 ton AN setara dengan 40 persen kekuatan ledakan TNT atau Trinitrotoluene, jika meledak dalam jumlah yang sama. Sebagai perbandingan, bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki 75 tahun silam, memiliki kekuatan setara 15.000 ton TNT. Artinya, ledakan di Beirut yang menyebabkan sekitar 135 orang tewas itu, setara dengan 7,2 persen daya ledak bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Editor: Windu Jusuf