tirto.id - Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Rizky Yudha Prawira mengatakan serikat pekerja di perusahaan media semakin dibutuhkan di tengah pandemi Covid-19 yang masih belum jelas kapan selesainya. Kata dia, serikat pekerja berguna untuk melindungi pekerja atau buruh yang bekerja di ranah media, salah satu wartawan.
Salah satu problem ketenagakerjaan di ranah perusahaan media adalah rentannya terjadi PHK sepihak dan kesewenang-wenangan yang dilakukan pemilik perusahaan kepada karyawannya.
“Kenapa berserikat itu penting? Karena pengusaha adalah pemilik modal, yang bisa membuat Peraturan Perusahaan sesuka hati, dan di saat yang sama posisi buruh lemah atau rentan karena tidak setara. Selama ini pekerja masih dianggap bukan aset utama perusahaan, sehingga kebijakan-kebijakannya yang merugikan pekerja. Sistem kerja pun cenderung menormalisasi eksploitasi pekerja,” kata Rizky dalam diskusi daring berjudul 'Ngobrol Bareng Nasib Awak Media' yang diselenggarakan AJI Indonesia, Jumat (13/11/2020) siang.
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Rochimawati, mengatakan saat ini terdapat lebih dari 1.500 perusahaan media di Indonesia yang terdata di Dewan Pers. Namun jumlah serikat pekerjanya sangat sedikit.
“Jumlah serikat pekerjanya tak sampai 20,” kata dia.
Diskusi daring tersebut menghadirkan tiga perwakilan serikat pekerja media yang datang dari media masing-masing. Mereka menjelaskan dinamika pembentukan serikat pekerja di media yang diakui tidak mudah dan banyak tantangannya.
Salah satunya cerita dari Ketua Solidaritas Pekerja Viva (SPV) Setyo A. Saputro. Ia mengatakan pembentukan awal SPV bukan dimaksudkan untuk memberontak kepada perusahaan, namun untuk memastikan para pekerja memiliki relasi yang setara dengan perusahaan selaku pemilik modal.
“Satu-satunya cara melakukan itu bikin serikat pekerja. Kita harus sadar kelas, di dalam sistem kapitalisme, kalau kita bukan pemilik modal, ya berarti kita buruh. Memang banyak jurnalis yang enggan disebut buruh. Mungkin untuk terdengar lebih halus bisa disebut karyawan, padahal ya sama saja,” kata Setyo.
Ia bercerita bahwa setelah setahun SPV dibentuk pun masih banyak kendala yang dialami oleh para karyawan. Salah satunya terkait gaji yang masih telat diberikan.
Cerita lain datang dari perwakilan Paguyuban Pekerja Tirto, Restu Diantina Putri. Ia mengatakan bahwa paguyuban dibentuk pada awal 2019 setelah perusahaan medianya telah berjalan selama tiga tahun.
“Kami memilih menggunakan nama paguyuban, karena ingin membangun budaya yang lebih guyup, lebih sekadar teman kerja. Jadi seperti lebih ke teman nongkrong. Itu juga bisa meminimalisir antipati dengan teman-teman yang belum relate dengan dunia perburuhan,” kata dia.
Perwakilan dari Dewan Karyawan The Jakarta Post, Ricky Yudhistira, juga bercerita hal serupa. Serikat tersebut sudah terbentuk sejak masa Orde Baru, tepatnya pada 18 Agustus 1993.
“Kenapa namanya Dewan Karyawan? Kurang lebih alasannya sama, dengan pertimbangan tidak menggunakan nama serikat pekerja. Kata senior saya, serikat itu kesannya oposisi,” kata dia.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz