tirto.id - Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN Suka) pada Senin (5/3/2018) mengeluarkan surat keputusan yang melarang mahasiswanya menggunakan cadar. Keputusan itu diambil dengan pertimbangan untuk mencegah meluasnya aliran Islam anti-Pancasila.
Mawar, bukan nama sebenarnya, menilai aturan ini sebagai bentuk diskriminasi di Yogyakarta, yang konon merupakan kota pluralisme dan menghargai perbedaan.
"Kami merantau jauh-jauh ke Yogya, karena Yogya dikenal plural, menerima keragaman yang ada. Tapi dengan adanya kebijakan itu kami kecewa, kenapa akhirnya cara berpakaian itu dianggap sebagai sesuatu yang dilarang, sesuatu yang ditakutkan," kata Mawar kepada Tirto, Senin (5/3/2018) malam.
Ia juga kecewa pada pihak kampus, yang selama ini memang kerap melakukan diskriminasi terhadap mahasiswa bercadar. Diskriminasi bahkan ia terima dari dosen dan pejabat kampus.
"Ada yang pakai cadar dilarang masuk kelas, nilainya dikurangin, semacam itu. Kami juga merasakan yang tidak adil itu. Kami sering di-bully, disinggung-singgung, tapi kami sudah menerima risikonya," ujar Mawar, yang memakai cadar sejak ia menempuh pendidikan di tahun kedua.
Kabar soal larangan bercadar ini sudah terdengar sejak lama. Sebagian teman-teman Mawar, yang bercadar, akhirnya memilih keluar dari UIN, bahkan sebelum aturan tersebut diteken. Menurut hitungan Mawar, jumlah mahasiswa bercadar yang ingin keluar dari kampus makin bertambah.
Mawar pun sudah melapor pada pihak kampus untuk ikut pembinaan. Kampus UIN Yogyakarta memang mewajibkan mahasiswa bercadar untuk dibina agar tidak ikut aliran Islam anti-Pancasila.
Namun, fakultas tempat Mawar belajar, justru tidak tahu aturan itu, dan menyepelekan keseriusannya untuk ikut pembinaan. "Kaprodinya bilang malah enggak tahu sama sekali, jadi kesannya rektor mengeluarkan surat itu sepihak, karena banyak kaprodi yang tidak tahu."
Berdasarkan surat keputusan rektor, mahasiswa bercadar wajib mendaftarkan diri untuk dibina sebelum tanggal 28 Februari 2018. Akan tetapi, sampai saat ini pihak kampus belum juga memanggil mahasiwa bercadar dan belum mendata secara serius, mana saja mahasiswa yang diwajibkan untuk ikut konseling.
"Kami enggak merasa salah atau bagaimana. Jadi ya kalau ada pembinaan, ya kami siap. Sejauh ini kami tidak melakukan kesalahan seperti yang dipikirkan, yaitu adanya tindakan radikalisme atau apa, kami juga kurang paham," kata Mawar.
Menurut Mawar, aturan ini muncul setelah Rektor UIN, Yudian Wahyudi menerima foto mahasiswa bercadar yang sedang merekrut orang untuk hijrah dan ikut memakai cadar.
Mawar kemudian mengonfirmasi foto tersebut pada teman-teman sesama pemakai cadar di grup WhatsApp, namun tidak ada yang mengakuinya.
"Mungkin awalnya surat keputusan itu keluar, takut ada oknum-oknum yang berani menggaet orang masuk ke komunitas itu yang tujuannya anti-Pancasila atau radikalisme."
Pihak rektorat juga sempat mengonfirmasi pada Mawar dan rekan-rekannya, apakah foto tersebut ada kaitannya dengan mereka. "Kami menjawab itu bukan komunitas kami. Kami tidak pernah sama sekali membuat kajian yang mengumpulkan orang banyak dan merekrut orang," ujar Mawar.
Mahasiswa bercadar di UIN kerap dilabeli sebagai seseroang yang menutup diri dari lingkungan, tidak suka bergaul, dan lebih senang berkumpul dengan komunitas sesama mahasiswa bercadar.
Mawar mengakui bahwa ia, dan kawan-kawannya, memang kerap berkumpul untuk mengadakan kajian, bukan merekrut orang. Perkumpulan itu lebih pada sharing. Ia juga membantah isu yang berhembus bahwa mereka kerap mengundang mahasiswa kampus lain yang belum memakai cadar.
"Saya, dalam bergaul dengan teman-teman, tidak membatasi diri, bahkan saya tidak pernah mengomentari teman-teman saya yang belum memakai cadar."
"Kami juga tidak mau menutup diri, tidak mau anti sosial. Tapi orang bercadar yang lain mungkin merasa berbeda hingga akhirnya mereka menghindar, atau orang lain yang segan berkomunikasi, tapi sejauh ini kalau saya sih tidak mau menutup diri," kata Mawar.
Mawar mengharapkan audiensi antara pihak rektorat dan mahasiswa bercadar. Mereka ingin menyampaikan klarifikasi terhadap tuduhan-tuduhan yang selama ini dialamatkan untuk mereka.
Setelah klarifikasi itu, Mawar ingin pihaknya dan rektorat mencari jalan tengah yang adil bagi kedua belah pihak.
"Mereka khawatir kami anti-Pancasila, tapi saya mengikuti undang-undang, saya taat kebijakan pemerintah. Mungkin rektor itu, ataupun para pejabat kampus itu kurang dekat dengan kami yang memakai cadar, jadi kurang paham sehingga aturan ini muncul dari arah perspektifnya beliau saja," tutur Mawar.
Mawar memahami bahwa aturan ini dibuat dengan tujuan yang baik, untuk menerapkan Islam universal di UIN. Selama ini, kata Mawar, gaya berpakaian cadar sering disebut meniru kebiasaan Arab dan Iran. Pihak kampus ingin mereka yang bercadar menggunakan jilbab seperti pada umumnya, yang digunakan perempuan Indonesia.
Berdasarkan data sementara, sekitar 42 mahasiswa bercadar akan dibina oleh dosen-dosen pilihan UIN Suka. Rektor UIN, Yudian beranggapan bahwa anak-anak bercadar ini menganut Islam yang berlawanan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Islam moderat di Indonesia.
"Kami akan membentuk tim konseling yang terdiri dari dosen-dosen dari berbagai disiplin, ada psikologi, syariah, politik. Anak-anak bercadar akan diberi pemahaman bahwa apa yang mereka anut itu berbahaya dan membahayakan," kata Yudian kepada Tirto, Senin (5/3/2018).
Jika lebih dari sembilan kali konseling, mahasiswa tetap tidak ingin meninggalkan ideologi yang mereka anut, maka mereka akan dikeluarkan dari kampus.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Yuliana Ratnasari