Menuju konten utama

Lagu Lama Usai Demonstrasi: Serangan Siber & Penangkapan Aktivis

Penangkapan aktivis dalam waktu berdekatan dengan aksi-aksi demonstrasi di berbagai daerah menunjukkan pola upaya sistematis membungkam suara kritis publik.

Lagu Lama Usai Demonstrasi: Serangan Siber & Penangkapan Aktivis
Petugas kepolisian menangkap seorang pengunjuk rasa seusai dibubarkan paksa di halaman DPRD Provinsi Kalimantan Timur di Samarinda, Kaltim, Senin (1/9/2025). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/nym.

tirto.id - “Selamat ya ade manis persiapan masuk penjara.”

Tiba-tiba saja sepenggal kalimat bernada ancaman itu masuk ke nomor WhatsApp pribadi milik Muzzammil Ihsan, Minggu (31/8/2025) malam. Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia alias BEM SI itu terkejut karena deretan nomor tidak dikenal serentak menghujani kotak pesan WA miliknya. Pesan-pesan dengan kalimat makian dan ancaman tersebut serentak terkirim ke nomornya pada jam 19.07 WIB malam.

Di momen itu, Ihsan langsung tersadar bahwa dirinya menjadi sasaran doxing. Ia menduga rentetan pesan bernada intimidatif yang datang berbarengan tersebut muncul setelah dirinya menaikkan narasi kritis terhadap pemerintah dan DPR RI.

“Serangan terjadi setelah kita [BEM SI] menaikkan statement tagar #SelamatkanIndonesia dan beberapa narasi yang saya keluarkan. Saya [tersadar] terkena doxing WhatsApp,” ucap Ihsan kepada wartawan Tirto, Selasa (2/9/2025).

Dalam narasi yang diperlihatkan Ihsan kepada Tirto, jajaran BEM SI mendesak pemerintah dan DPR membenahi total persoalan yang menjadi tuntutan masyarakat dalam gelombang demonstrasi di pelbagai wilayah pada akhir Agustus 2025.

Di antaranya tuntutan mengevaluasi anggaran DPR, reformasi Polri, menghentikan tindakan represif terhadap demonstran, serta pengesahan RUU Perampasan Aset.

Beberapa pesan ancaman yang masuk ke Ihsan seakan mewanti-wanti dirinya untuk bersiap masuk penjara. “Mungkin malam ini masih bisa tertawa kamu. Tunggu saja,” tulis salah satu pesan ancaman untuk Ihsan.

Meski diancam, Ihsan mengaku tidak akan mundur memperjuangkan aspirasi mahasiswa dan rakyat menuntut keadilan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang.

“Tidak melunturkan semangat kita untuk bersuara,” kata Ihsan.

Serangan digital lewat pemalsuan identitas

Di tengah gelombang demonstrasi sejak 25 Agustus 2025 hingga 28-31 Agustus 2025, tidak sedikit aktivis masyarakat sipil dan mahasiswa yang terkena serangan digital. Doxing hingga upaya pengambilalihan akun media sosial pribadi menyasar mereka yang bersuara kritis.

Salah satu metode doxing yang menyasar para aktivis organisasi masyarakat sipil bahkan berupa pemalsuan identitas. Nomor pribadi mereka disebarkan dan diklaim sebagai nomor milik anggota DPR RI yang tengah menjadi sasaran kritik masyarakat. Seperti diklaim nomor milik Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, dan Sahroni.

Nama-nama anggota DPR tersebut menjadi sorotan karena dinilai menanggapi kritik publik dengan sikap yang nirempatik dan arogan. Belakangan, keempatnya serta Adies Kadir dari fraksi Partai Golkar, dinonaktifkan oleh partai politik masing-masing dari DPR RI.

Salah satu yang menjadi korban metode doxing ini adalah Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur. Nomor pribadi punya Isnur disebar dan diklaim sebagai nomor milik pribadi Eko Patrio. Penuturan Isnur, pesan-pesan yang menganggap dirinya Eko Patrio sudah mulai masuk sejak Sabtu (30/8/2025) lalu.

“Pesan-pesan yang sangat banyak berisi ancaman, cacian, makian, intimidasi dari banyak nomor yang saya tidak kenal dan mereka menganggap bahwa saya adalah anggota DPR Eko Patrio,” ucap Isnur kepada wartawan Tirto, Selasa (2/9/2025).

Lucunya, kata dia, beberapa pesan juga banyak yang menyapa dan meminta uang, bahkan meminta tolong dibayarkan utang. Isnur mengaku tak menggubris pesan-pesan yang masuk namun sangat terganggu. Ia menilai serangan siber ini juga menyasar sejumlah aktivis lain, yakni Haris Azhar dan Usman Hamid.

Selain itu, Isnur turut menerima banyak upaya untuk masuk (log in) ke media sosialnya. Hal ini diduga dilakukan pihak-pihak yang ingin mengambil alih media sosial pribadi Isnur.

“Sangat mengganggu di mana nomor privasi, nomor pribadi disebarkan secara luas gitu. Itu berlangsung sampai hari ini masih berlangsung, saya mendengar pesan yang aneh-aneh,” ucap Isnur.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, mengaku pesan-pesan dari nomor tak dikenal yang masuk rata-rata menyangka dirinya sebagai Uya Kuya. Mayoritas pesan yang masuk berisi caci-maki, ancaman, bahkan bernada kekerasan.

Usman lantas membalas beberapa pesan semampunya dengan menjelaskan bahwa nomor itu miliknya, bukan milik Uya Kuya. Beberapa meminta maaf, kebanyakan tetap ngotot. Tapi beberapa yang akhirnya tersadar bahwa itu adalah nomor Usman, justru rajin memberikan informasi situasi demonstrasi di lapangan.

“Mungkin karena mereka warga biasa yang sedang marah dan terpancing dengan anjuran menghubungi langsung nomor telepon anggota Dewan yang jadi sasaran,” ungkap Usman kepada wartawan Tirto, Selasa (1/9/2025).

Usman mengaku sudah menindaklanjuti penyalahgunaan data pribadi ini kepada Koalisi masyarakat sipil. Ia menyatakan tidak berniat memblokir nomor-nomor tidak dikenal yang menghubunginya, sebab pernah merasakan teror yang lebih buruk ketimbang situasi kali ini.

“Karena saya pernah alami teror lebih buruk lagi ketika tangani kasus Trisakti Semanggi dan peracunan Munir. Dan langkah yang saya ambil sekarang termasuk pemakaian aplikasi penghapus jejak keberadaan ponsel,” ucap Usman.

Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Hafizh Nabiyyin menyatakan, demonstrasi yang berlangsung sejak 25 Agustus 2025 lalu tidak cuma diwarnai dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap para peserta, tetapi juga berdampak pada hak-hak digital pengguna internet di Indonesia secara masif.

Situasi di lapangan, kata Hafizh, menunjukkan praktik-praktik yang diduga melanggar prinsip hak kebebasan berekspresi di ruang digital oleh pemerintah dan platform medsos. SAFEnet memandang hal ini wujud nyata pembatasan kebebasan berekspresi, otoritarianisme digital, dan militerisasi ruang siber Indonesia.

Doxing

Ilustrasi Doxing. tirto.id/Gery

Beredarnya kontak WhatsApp sejumlah pegiat koalisi masyarakat sipil yang secara keliru dipresentasikan sebagai nomor milik anggota DPR menimbulkan spam, pelecehan, sampai gangguan keamanan kepada mereka.

“Lebih lanjut, ditemukan berbagai macam intimidasi secara masif di ruang digital mulai dari pengancaman,pengungkapan data pribadi, kekerasan berbasis gender online, dan berbagai serangan digital lainnya yang menargetkan individu-individu yang menyampaikan kritik di media sosial,” ucap Hafizh kepada wartawan Tirto, Selasa (2/9/2025).

SAFENet juga menemukan, indikasi adanya operasi informasi yang bertujuan mengalihkan perhatian publik dari isu kekerasan polisi. Narasi yang disebarkan berupaya mengarahkan fokus massa untuk menyasar DPR, alih-alih menuntut pertanggungjawaban brutalitas polisi terhadap massa aksi, yang bahkan menimbulkan korban jiwa di sejumlah daerah.

Pada saat yang sama, peserta aksi semakin dilabeli sebagai kelompok anarkis, sebagai upaya mendelegitimasi tuntutan. Selain itu, kata Hafizh, juga tersebar narasi hasutan untuk melakukan tindak kekerasan kepada etnis Tionghoa yang memunculkan trauma peristiwa 1998.

Menurut Hafizh, Divisi keamanan digital SAFENet menemukan laporan yang masuk selama periode demonstrasi pekan terakhir Agustus 2025 berupa penangguhan akun, teror hingga doxing.

Masalahnya, tak hanya aktivis saja yang disasar, tetapi juga masyarakat umum. Masyarakat yang bersuara di media sosial juga mendapatkan ancaman doxing dan intimidasi.

“Militer juga tampak mencari panggung. Narasi dari sejumlah akun media sosial, termasuk @PuspenTNI, yang menyatakan Tentara Nasional Indonesia sebagai penengah, pencair suasana, dan turun ke titik-titik demonstrasi untuk mengamankan demonstrasi,” terang Hafizh.

Polisi Tangkap Aktivis, Tunding Mereka Dalang Demonstrasi di Sejumlah Wilayah

Selain serangan digital, kepolisian juga mulai memburu aktivis yang dituding sebagai dalang demonstrasi besar-besaran di sejumlah wilayah. Sampai Selasa (2/9/2025), sejumlah aktivis organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa yang ditangkap oleh polisi di antaranya: Direktur Eksekutif Lokataru Delpedro Marhaen, pegiat Gejayan Memanggil Syahdan Husein, hingga aktivis mahasiswa Universitas Riau (UNRI) Khariq Anhar.

Pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar, memandang penangkapan Delpedro Marhaen, tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Menurut Haris, penangkapan bermula saat delapan anggota Polda Metro Jaya tiba di kantor Lokataru Foundation di Jalan Kunci sekitar 22.45 WIB pada Senin (1/9/2025) malam. Delapan anggota itu dipimpin anggota dari Subdit II Keamanan Negara Polda Metro Jaya.

Pada saat penjemputan, pihak kepolisian mengklaim telah menyiapkan sejumlah dokumen administrasi termasuk surat penangkapan. Namun ketika Delpedro menanyakan legalitas dokumen serta pasal-pasal yang dituduhkan kepadanya, ada ketidakjelasan atau minimnya informasi awal terkait prosedur hukum yang berlaku.

Haris menyatakan, Delpedro sempat meminta didampingi kuasa hukum karena tak mengerti pasal-pasal yang ditudingkan. Akan tetapi, kepolisian menyatakan surat tugas yang mereka bawa menginstruksikan untuk menangkap dan menggeledah badan Delpedro. Polisi dengan Delpedro kemudian terlibat perdebatan terkait administrasi penangkapan dan pasal-pasal yang dituduhkan.

Menurut Haris, kepolisian merusak kamera CCTV yang ada di kantor Lokataru Foundation. Perusakan berpotensi menghilangkan bukti terkait penangkapan Delpedro yang dilakukan secara memaksa.

"Bahkan sebelum penetapan status tersangka dan penjelasan pasal, hak konstitusional dan hak asasi manusia Delpedro Marhaen dibatasi, termasuk larangan menggunakan telepon untuk menghubungi pihak manapun dan perintah langsung menuju kantor Polda Metro Jaya,” kata Haris dalam keterangannya yang diterima Tirto, Selasa (2/9).

Delpedro Marhaen

Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen. tirto.id/Nanda

Pemerintah cari kambing hitam sekaligus upaya membungkam suara kritis publik

Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andrie Yunus, menilai penangkapan sejumlah aktivis usai demonstrasi pecah merupakan kebiasaan pemerintah mencari ‘kambing hitam’. Andrie menilai negara tak segan-segan bertindak represif memakai instrumen hukum untuk menangkap para aktivis.

“Negara mestinya mendengar dan memastikan tuntutan demonstran terpenuhi. Kami amat menyesalkan sikap negara yang demikian, gagal memahami keresahan rakyat namun justru menakuti-nakuti dengan memburu kambing hitam,” kata Andrie kepada wartawan Tirto, Selasa (2/9).

Sementara itu, Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menilai penangkapan aktivis dalam waktu berdekatan dengan aksi-aksi demonstrasi di berbagai daerah menunjukkan pola yang mengkhawatirkan dan mencerminkan upaya sistematis membungkam suara kritis publik.

Terlebih, Kepolisian tidak terbuka menjelaskan pasal-pasal dan tuduhan yang dikenakan terhadap para aktivis yang ditangkap. Hal ini menimbulkan dugaan kuat aparat keamanan berusaha membangun narasi bahwa para aktivis adalah “dalang” atau “provokator” di balik aksi protes yang merebak di banyak daerah.

“Dengan tertangkapnya sejumlah tokoh masyarakat sipil termasuk Direktur Lokataru, terlihat jelas pesan yang hendak disampaikan bahwa gerakan masyarakat sipil akan dipersepsikan sebagai pengendali massa, bukan pihak yang menjalankan fungsi kontrol demokratis,” ujar Ardi kepada wartawan Tirto, Selasa (2/9/2025).

Pola serupa dinilai Ardi bukan sebuah hal yang baru, Imparsial sering menemukan praktik kriminalisasi aktivis sebagai cara negara menekan ruang kebebasan sipil. Seperti dalam kasus Ananda Badudu atau Dandhy Laksono.

Masalahnya, penangkapan yang dilakukan mendadak tanpa mekanisme pemanggilan resmi menyalahi prosedur hukum yang diatur KUHAP. Penangkapan yang dilakukan tanpa dasar jelas dan transparan memperlihatkan indikasi tuduhan yang dipaksakan serta mengada-ada.

“Sehingga menggerus prinsip due process of law yang seharusnya dijunjung tinggi. Alih-alih menyalahkan pihak tertentu, pemerintah seharusnya memahami akar kemarahan publik, yaitu ketimpangan ekonomi akibat distribusi kekayaan negara yang terkonsentrasi segelintir elite oligarki. Dan sikap represif negara terhadap kebebasan berekspresi rakyat, baik melalui tindakan Kepolisian maupun militer,” tegas Ardi.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN POLISI TANGANI DEMO atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto