Menuju konten utama

Jejak Dandhy Laksono, Sutradara Sexy Killers yang Jadi Tersangka

Dandhy Dwi Laksono sempat ditangkap sebelum dijadikan tersangka, berikut rekam jejak dan profil sutradara film Sexy Killers ini.

Jejak Dandhy Laksono, Sutradara Sexy Killers yang Jadi Tersangka
Ilustrasi Dandhy Dwi Laksono. tirto.id/Gery

tirto.id - Sutradara film Sexy Killers, Dandhy Dwi Laksono ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya atas dugaan ujaran kebencian. Kuasa hukum Dandhy, Alghiffari Aqsa mengatakan, hal itu berkaitan dengan twit Dandhy di Twitter tentang peristiwa di Jayapura dan Wamena.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan aktivis Dandhy Laksono sempat ditangkap Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan, tapi sudah dilepas, namun status sebagai tersangka tidak dicabut.

"Benar tapi sudah dilepas. Meski tetap berstatus tersangka," kata Asfinawati saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat, (27/9/2019).

Dandhy adalah jurnalis senior sekaligus aktivis HAM yang banyak menyoroti persoalan kemanusiaan. Maka, saat kabar penangkapannya tersiar, ada banyak kalangan yang memprotes sikap tersebut. Tagar #BebaskanDandhy dan #KamiBersamaDandhy pun ramai di media sosial.

Di lini masa Twitter, tagar #BebaskanDandhyLaksono bahkan menjadi trending topik, sampai pukul 12.58 WIB, sudah di twit sebanyak 32.600. Seniman Sudjiwo Tedjo melalui akun Twitternya, dengan jumlah followers sekitar 1,7 juta, juga merespons hal itu:

Aku tak setuju pendapatmu, tapi akan kubela sampai mati hak kamu untuk berpendapat,” Voltaire, filsuf Prancis." tulis @Sudjiwotedjo sambil disertai tagar #bebaskandandhylaksono.

Sutradara Joko Anwar juga ikut bersuara, dengan menulis twit: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat" -- Undang-Undang Dasar 1945" tulis @jokoanwar sambil menyertai tiga tagar #BebaskanAnandaBadudu #BebaskanDandhyLaksono dan #hapuspasalkaretUUITE.

Penulis Agus Noor bahkan merespons dengan menulis twit: "Jokowi: "Jangan ragukan komitmen saya jaga demokrasi." Beberapa jam kemudian Polisi menangkap aktivis @Dandhy_Laksono. Dan buzzer-buzzer penyebar hoax peliharaan istana dibiarkan bebas. Anda sehat, Pak Presiden?" tulis @agus_noor disertai tagar #bebaskandandhylaksono #ReformasiDikorupsi

Tak ketinggalan pula politikus Budiman Sudjatmiko yang beberapa hari sebelumnya, Sabtu (21/9/2019, menjadi pembicara bersama Dandhy dalam forum yang membahas berbagai isu soal Papua. Forum bertajuk #DebatKeren ‘Nationalism and Separatism: Questions on Papua’, disiarkan secara langsung oleh Alinea TV.

Anggota DPR RI Fraksi PDIP itu bahkan mendatangi Polda Metro Jaya pada Jumat (27/9/2019) dini hari pukul 01.40 WIB. Ia datang karena mendapat kabar penangkapan Dandhy. Ia mengaku siap menjadi penjamin jika memang dibutuhkan untuk membebaskan Dandhy.

"Kebetulan beberapa hari lalu saya debat dengan dia tentang Papua. Ada banyak hal yang saya enggak setuju dengan pendapatnya, tapi menurut saya ada pesan dari teman bahwa itu ruang publik yang harus dirawat. Jangan sampai ada apa-apa," kata Budiman saat ditemui.

Pernah Dilaporkan Repdem

Bukan kali ini saja kritik yang dilancarkan Dandhy dipersoalkan, sebelumnya, tepatnya September dua tahun lalu, ia pernah dilaporkan ke Polda Jatim oleh Abdi Edison, Ketua Dewan Pengurus Daerah Relawan Perjuangan Demokrasi (DPD Repdem) Jawa Timur, organisasi sayap PDIP Perjuangan. Namun, laporan itu sudah dicabut.

Kala itu, Abdi menuduh Dandhy telah melakukan pencemaran nama baik kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo melalui Facebook. Dalam laporannya, Edison menyebut status Dandhy di Facebook pada Minggu, 3 September 2017 telah menghina dan menebarkan kebencian pada Megawati dan Jokowi.

Keberatan Abdi, khususnya terletak pada tulisan Dandhy di paragraf yang berbunyi: "Tepat setelah Megawati kembali berkuasa lewat kemenangan PDIP dan terpilihnya Presiden Joko Widodo yang disebutnya ''petugas partai'' (sebagaimana Suu Kyi menegaskan kekuasaannya), jumlah penangkapan warga di Papua tembus 1.083 orang, mengalahkan statistik tertinggi di era Presiden SBY (2013) yang berjumlah 548 orang."

Namun, Dandhy mengatakan, pelaporan terhadap dirinya kala itu bisa menjadi pertanda teror bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. Dandhy menjelaskan bahwa pelaporan ini telah memicu keresahan umum karena daftar korban pelaporan pencemaran nama baik menjadi semakin panjang.

Mantan produser Liputan6 SCTV itu menjelaskan bahwa perdebatan terkait opininya sudah sering terjadi, contohnya pada 2014 lalu. Kala itu, Dandhy berdebat di dalam forum Dewan Pers terkait independensi media bersama dengan pemimpin redaksi RCTI kala itu, Arya Sinulingga, kini politikus Perindo.

Dandhy juga pernah berdebat mengenai hal yang sama dalam bentuk tulisan. Tidak hanya itu, film dokumenter yang dibuat Dandhy juga pernah dibalas lewat film pula. Ia menjelaskan bahwa baru kali ini ada yang melaporkannya ke ranah pidana karena tulisannya.

“Apa iya tidak bisa membalas dengan artikel?” paparnya.

Siapakah Dandhy Dwi Laksono?

Dandhy adalah sutradara, aktivis dan jurnalis yang lahir di Lumajang, Jawa Timur pada 29 Juni 1976. Ia nyaris pernah menekuni dunia jurnalistik lewat berbagai medium seperti media cetak, radio hingga televisi. Sebelum terjun ke dunia kewartawanan, ia pernah kuliah di jurusan hubungan internasional Universitas Padjajaran, Bandung.

Akan tetapi, Dandhy dikenal juga sebagai pendiri dari rumah audio-visual WatchdoC yang memproduksi film Sexy Killers. Film ini menjadi populer dan menyedot perhatian karena dirilis tak lama menjelang Pemilihan Presiden 2019. Hingga berita ini dirilis sudah ditonton sekitar 26 juta kali.

Dalam film itu, Dandhy dan kawan-kawan menyoroti soal hubungan industri batu bara dengan kekuasaan, bahkan mengaitkannya dengan sejumlah elit di dua kubu yang sedang bertarung di Pilpres kemarin.

WatchdoC didirikan oleh Dandhy dan sahabatnya Andhy Panca Kurniawan, mantan Pemimpin Redaksi kantor Berita Radio Voice of Human Rights pada 2009 lalu.

Dalam wawancaranya bersama Philips Vermonte, Dandhy mengatakan, alasannya mendirikan WatchdoC karena kurang mendapat "tempat" saat menjadi wartawan di media terdahulu, terutama untuk mengakomodasi beberapa isu. Seandainya "tempat" itu ada pun, durasinya sangat terbatas, kata Dandhy.

Di sisi lain, menurut dia, industri media yang setelah era yang jauh dari reformasi juga semakin komersial, model bisnis yang semakin terkonglomerasi serta disusupi titipan kepentingan.

Ia bercerita, kala itu ia pernah ingin membuat investigasi terhadap kasus Munir sekitar 2007 lalu. Mereka mengerjakannya selama berbulan-bulan, bahkan sampai ke negara lain, tapi ruang yang disediakan terbatas, meskipun ruang itu tetap ada.

Pernah suatu kali kala bekerja di stasiun TV, ia sedang mengolah berita soal kasus gizi buruk di sebuah daerah. Kala itu ia ingin memasukkan natural sound seorang ibu menangis ketika menceritakan kasusnya. Namun, tangisan itu tidak bisa ditayangkan secara maksimal karena terbentur durasi. "Akhirnya berita itu didrop karena over durasinya," kata dia.

Namun, kata dia, berita soal urusan privat dan personal seperti selebriti yang menangis malah justru mendapat tempat.

Untuk itu, ia dan Andhy Panca memutuskan untuk membuat ruang ekspresi lain dalam bentuk audio-visual karena secara strategis audio-visual lebih mudah untuk menyapa audience.

Baca juga artikel terkait DANDHY LAKSONO atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Politik
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Agung DH