tirto.id - Kamis (11/4/2019) malam, sekitar pukul 20:30, Toto Sudiarjo (32) masih fokus menyaksikan pemutaran film dokumenter Sexy Killers karya Watchdoc bersama puluhan warga Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Lokasi nonton bareng (nobar) yang tepat bersebelahan dengan PLTU 2 Batubara itu ramai dihadiri warga dan pegiat lingkungan.
Sexy Killers memang bicara masalah lingkungan. Film yang sudah bisa disaksikan secara penuh di Youtube ini bercerita bagaimana pertambangan batu bara dan pembangkit listrik tenaga uap merusak lingkungan dan warga yang tinggal di sekitarnya. Film ini juga menjelaskan keterlibatan para pejabat--termasuk yang tengah berkompetisi di Pilpres 2019.
Setelah nobar, rencananya akan ada diskusi bersama Greenpeace Indonesia selaku tim roadshow film. Pegiat dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung juga datang.
Malam itu Toto ditunjuk sebagai moderator.
Sekitar pukul 22.00, ketika film hampir selesai, tiba-tiba ada seseorang yang mengaku Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Desa Mekarsari mengajaknya bicara.
"Mas, bisa ngomong sebentar? Filmnya kok tiba-tiba ada bahas TKN (Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin)? Ini film harus disensor sekarang juga. Ini film memprovokasi warga dan mengandung ujaran kebencian," kata dia, menurut Toto.
"Sabar, Pak. Ini sudah mau kelar sebentar lagi filmnya," jawab Toto.
Ia menceritakan hal tersebut saat dihubungi reporter Tirto, Senin (15/4/2019) pagi.
Toto lantas berbicara kepada Didit dari Greenpeace Indonesia mengenai permintaan penghentian film. Namun tak lama kemudian orang yang mengaku dari Panwaslu tadi berbicara agak keras di tengah-tengah warga.
Dia lagi-lagi meminta film dihentikan saat itu juga.
Ia tetap mendesak meski Didit sudah menjelaskan bahwa film dibuat berbasis data. Namun, pihak Panwaslu bersikukuh.
"Akhirnya warga tersulut [emosinya]. Terjadilah perdebatan. Warga pada enggak terima. Warga menolak jika pemutaran film dipolitisasi. Filmnya disangka ada indikasi politis, tapi warga menolak. Akhirnya Panwaslu dan polisi bubar, mereka ngalah setelah akhirnya salaman," kata Toto.
Diskusi lantas tetap dilaksanakan walau hanya sebentar. Greenpeace Indonesia pamit karena harus melanjutkan roadshow ke Cilacap, Jawa Tengah.
Pukul 24.00, tiba-tiba polisi datang lagi bersama Bawaslu Indramayu dan Bawaslu Jawa Barat. Kali ini jumlah mereka lebih banyak.
"Mereka awalnya meminta film diputar lagi untuk dikaji. Namun kami enggak punya file-nya, karena itu punya Greenpeace, [dan] mereka sudah izin pamit. Akhirnya mereka hanya nanya-nanya identitas teman-teman yang beberapa datang dari luar kota, mungkin maksudnya mengincar identitas saya," katanya.
Setelah perdebatan panjang tanpa hasil, akhirnya kepolisian dan Bawaslu balik kanan pukul 01.30.
Alasan: Jelang Pencoblosan
Salah satu anggota Panwaslu Kecamatan Patrol, Oscar, membenarkan bahwa pada Kamis malam pihak Panwaslu Desa Mekarsari meminta pemutaran film dihentikan. Salah satu alasannya karena ini diputar menjelang Pilpres 2019.
"Memang betul masyarakat sering berkumpul. Tapi ini, kan, menjelang pemilu. Takut sensitif. Kalau menurut saya yang jelas sempat ada indikasi kurang bagus, tapi sejauh ini memang kami belum menemukan pelanggaran. Kami waktu itu mau mengkaji, video pun tak dikasih," kata Oscar saat dihubungi reporter Tirto, Senin siang.
"Ditambah juga, berdasarkan peraturan, kalau mengumpulkan masyarakat harus ada izin, sedangkan ini tak ada izin. Ini informasi dari Kapolsek. Berarti ini masalah izin saja sekarang," lanjutnya.
Ketua Bawaslu Kabupaten Indramayu, Nurhadi, juga mengatakan hal serupa. Pihaknya menilai pemutaran film itu bermasalah karena berpotensi melanggar aturan pemilu.
"Awalnya ada yang melaporkan ke kami potensi pelanggaran pemilu, walaupun setelah dicek enggak ada pelanggaran sampai hari ini. Kami juga belum menemukan filmnya. Ada juga yang melaporkan isi film menjelek-jelekkan pemerintah," katanya.
Tak Berkaitan dengan Pilpres
Toto yang mendengar alasan di atas langsung bertanya-tanya. Menurutnya selama ini warga rutin membuat agenda, bermacam-macam, dan itu dilakukan tanpa izin dan memang tak perlu izin. Nonton bareng adalah salah satu bagian dari itu.
"Agenda warga merespons PLTU 2 ini memang rutin," katanya.
(Pembangunan PLTU 2 Indramayu memang ditolak warga. Salah duanya karena masalah izin dan dampak negatif yang muncul).
Sementara pembuatan film, Dandhy Dwi Laksono, menepis anggapan jika film tersebut dirilis berkaitan dengan Pilpres 2019.
"Jika ada yang bertanya kenapa dirilis mendekati Pilpres 2019, ya kami bisa mengeluarkan kapan saja. Enggak ada kaitannya dengan masa Pilpres 2019. Justru pilpres yang jadwalnya mendekati rilis kami. Siapa dan sepenting apa pembahasan pilpres? Kenapa jadi standar perbincangan di publik? Apa memang benar [pemilu] akan mengubah hidup kita?" tanya Dandhy, retoris.
"Kami warga negara merdeka yang bayar pajak, bebas mau mengeluarkan [film] kapan saja. Enggak ada agenda mesti menyesuaikan dengan pilpres," lanjutnya.
Ia pun heran dengan alasan upaya penghentian. Dandhy bilang dari ratusan kali film diputar di berbagai tempat, baru kali ini ada yang mempermasalahkan.
"Dari 476 kali nobar di seluruh Indonesia baru satu kejadian seperti ini. Artinya dari 475 Panwaslu dan Bawaslu hanya mereka yang memiliki cara berpikir 'luar biasa' seperti itu. Termasuk Polsek di situ 'cerdas' juga. Ini kasus insignifikan. Enggak ada yang berpikir seperti itu kecuali mereka sendiri," katanya.
Dandhy menduga reaksi pejabat lokal seperti itu hanya karena Indramayu adalah salah satu daerah 'sensitif' karena para warganya menolak pembangunan PLTU.
"Di Indramayu ada tiga warga dikriminalisasi karena menolak PLTU. Semangat mengkriminalisasi dan memberangus itu kuat sekali di sana," katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino