tirto.id - Rizal Ariawan, 20 tahun, bersama 20 orang anggota Komite Aksi Kamisan Surabaya berencana menggelar aksi rutin, Kamis (27/9/2018) sore, pukul 16.00 WIB. Kegiatan membunyikan isu perlindungan HAM dan penegakan keadilan ini rencananya digelar di Taman Apsari, Surabaya, Jawa Timur.
Isu yang mereka gaungkan sore itu, penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu pada tahun 1965. Selain itu mereka juga menuntut penuntasan beberapa kasus pelanggaran HAM berat di Papua.
Di sela orasi mereka yang sudah berlangsung sekitar 30 menit, aparat gabungan datang. Dibarengi kedatangan ratusan orang dari Ormas tertentu.
Anggota Ormas langsung meneriakan ujaran kebencian ke massa Aksi Kamisan: "Dasar antek PKI!, komunis!, Saya masih ingat wajah kamu di Asrama Papua!"
Rizal menduga "Mungkin [Ormas] ini ada kaitannya dengan pembubaran diskusi dan penyerangan ke Asrama Papua beberapa waktu lalu," kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (28/9/18) pagi.
Pembubaran yang Rizal maksud ialah pembubaran diskusi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya pada Jumat (6/7/2018) yang lalu. Pembubaran itu dilakukan aparat kepolisian, Satpol PP, TNI, dan Ormas.
Setelah menghujat, gerombolan Ormas itu meminta Aksi Kamisan sore itu segera dibubarkan. Mereka mempertanyakan surat izin untuk menggelar Aksi Kamisan kepada Rizal dan rekan-rekannya.
"Setiap satu bulan sekali kami kirim surat perizinan ke pihak kepolisian. Aksi Kamisan harusnya legal, karena masih masuk izin bulan September," katanya.
Pada aksi Kamisan pada minggu-minggu sebelumnya, kata Rizal, tak ada aksi permintaan pembubaran seperti kemarin.
"Dan sore itu, pihak kepolisian hanya diam saja," tuturnya.
Aksi Kamisan di Malang Juga Dibubarkan
Hanya berjarak 95 km menuju arah selatan, tepat di depan Balaikota Malang, Jawa Timur, kasus pembubaran Aksi Kamisan juga terjadi. Salah satu massa aksi, Rico Tude, 24 tahun, menuturkan, Aksi Kamisan di Malang mengusung tema, "Hentikan Hoax 65".
Rico menggelar Aksi Kamisan hanya dengan tujuh rekannya. Tepat pukul 16.30 WIB, segerombol aksi massa Ormas datang dengan jumlah sekitar 20 orang. Kedatangan mereka bebarengan dengan datangnya aparat kepolisian sekitar 30 orang.
"Kalian ini mau ngapain? Kalian mau aksi apa?," kata Rico menirukan apa yang dikatakan salah satu perwakilan Ormas itu kepada reporter Tirto.
"Lah, terus sampean juga ngapain? Lebih baik bapak berdiri di samping kami saja, dengarkan kami mau aksi apa," balas Rico.
Mendengar jawaban Rico, beberapa perwakilan Ormas tersebut merangsek masuk ke barisan Aksi Kamisan. Mereka memaksa Rico dan rekan-rekannya membubarkan diri.
"Sempat ada aksi dorong-dorongan antaraksi massa. Polisi membiarkan dulu kami saling adu mulut dengan Ormas. Setelah terjadi dorong-dorongan baru mereka menengahi," kata Rico.
Rico juga mengaku sempat ditanyai beberapa orang anggota Ormas terkait apa agama yang dianutnya. Rico justru bertanya balik, mengapa harus bertanya agama seseorang yang tidak ada kaitannya dengan Aksi Kamisan itu.
Yang Rico ingat, aksi massa ormas itu dikepalai oleh seseorang bernama Haris Budi Kuncahyo. Haris selalu mengklaim dirinya sebagai pendiri GMNI di kampus UIN Malang tahun 1995. Dia pernah mendaftarkan diri menjadi bakal calon wakil Wali Kota Malang pada 2018, melalui Partai Demokrat. Namun, Partai Demokrat tidak meloloskannya.
"Kami berharap polisi tidak lagi menggunakan ormas dengan maksud untuk mengentikan [pembubaran] aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan untuk membawa aspirasi kepentingan rakyat luas," kata Rico.
Ketika dimintai klarifikasi terkait hal ini, Haris Budi Kuncahyo, 43 tahun, mengatakan ia menolak bahwa pembubaran Aksi Kamisan yang terjadi di depan Balaikota Malang dilakukan oleh ormas yang dipimpinnya. Ia mengatakan, pembubaran itu murni inisiatif warga.
"Saya bukan ormas. Saya klarifikasi dari media-media yang sebut saya dari ormas. Ada yang bilang saya dari Pemuda Pancasila. Tidak. Ini murni inisiatif warga karena resah," katanya saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (28/9/2018) malam.
Ia mengatakan warga berinisiatif melakukan pembubaran Aksi Kamisan yang terjadi sore itu karena terdapat tiga pelanggaran yakni dianggap melanggar peraturan pemanfaatan ruang publik, berlangsung tanpa surat izin dari pihak kepolisian.
"Terakhir, tema yang diangkat oleh Aksi Kamisan sore itu menyangkut pembahasan PKI yang dilarang oleh negara," kata dia menegaskan.
Kami juga sudah berusaha mengklarifikasi soal diamnya aparat kepada Kapolres Malang Kota AKBP Asfuri. Namun hingga berita ini ditulis, Asfuri belum merespons.
Respons Kontras dan Komnas HAM
Koordinator KontraS Surabaya Fatkhul Khoir mengungkapkan pembubaran Aksi Kamisan, maupun diskusi lainnya pada bulan September, menjadi siklus tahunan yang terus berulang.
"Sebelum-sebelumnya tak ada pembubaran. Ini kita hanya bahas kasus-kasus HAM masa lalu yang mana pas bulan September memang banyak pelanggaran HAM terjadi," katanya saat dihubungi reporter Tirto.
Fatkhul mengaku pihaknya akan melaporkan kasus pembubaran diskusi di Malang dan Surabaya itu ke Ombudsman RI dan Komnas HAM. Saat ini pihaknya masih terus melakukan pendalaman informasi.
“Kami sudah melapor dan memberikan rilis kejadian ke Ombudsman RI," katanya.
Dihubungi secara terpisah, komisioner Komnas HAM Choirul Anam menilai pembubaran Aksi Kamisan maupun diskusi yang membahas isu pelanggaran HAM tahun 1965-1966, merusak rekonsiliasi kebudayaan yang sedang terjadi di masyarakat.
"Aksi Kamisan ini harus diletakkan dalam konteks kebebasan berekspresi. Jadi tak perlu terlalu sensitif dalam kasus 1965," kata Anam.
Oleh karena itu, Anam meminta para elite politik dan Ormas berhenti mengungkit isu-isu 1965 sebagai sebuah stigmatisasi atau diskriminasi. Hal tersebut, kata Anam, guna mempercepat rekonsiliasi kebudayaan yang tengah terjadi di masyarakat.
Kata Anam, Komnas HAM terus memantau perkembangan kasus pembubaran Aksi Kamisan tersebut. Mereka juga tengah merumuskan tindakan konkrit yang harus dilakukan pihaknya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana