Menuju konten utama

Mahasiswa Vokasi UI Suarakan Isu-Isu Sosial Melalui Dokumenter

Melalui film, mahasiswa Program Studi Produksi Media di Vokasi Universitas Indonesia menyoroti keadilan sosial, hak asasi manusia, dan kepentingan publik.

Mahasiswa Vokasi UI Suarakan Isu-Isu Sosial Melalui Dokumenter
Pemutaran perdana empat film dokumenter oleh mahasiswa Program Studi Produksi Media Vokasi Universitas Indonesia di acara Student Documentary Film Showcase dengan tema “When The World Seems So Uncertain, Look for The Light” berlangsung di Depok, Jawa Barat pada Jumat (13/12/2024). Foto/Prodi Produksi Media Vokasi Universitas Indonesia

tirto.id - Baru-baru ini, mahasiswa Program Studi Produksi Media dari Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia memproduksi empat film dokumenter tentang isu-isu sosial.

Dokumenter berjudul Pelangi di Langit Keluarga mengisahkan tentang seorang ayah yang menjadi waria demi menghidupi keluarganya.

Mom In Commute mewakili keluh kesah ibu hamil yang sehari-hari menggunakan transportasi umum.

Humanizing the Unhumanized membahas harapan untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Terakhir, Transextion, mengangkat kisah mantan santri yang terjebak dalam dunia pekerja seks.

Melalui karya-karya ini, mereka menyoroti berbagai isu krusial yang kerap luput dari perhatian, seperti keadilan sosial, hak asasi manusia, dan kepentingan publik.

Keempat dokumenter ini diproduksi oleh mereka yang masih berkuliah di semester tiga. Pembelajar muda ini ingin memercikkan harapan baru akan semangat perubahan dalam industri perfilman.

“Film-film dokumenter ini bukan sekadar proyek tugas mahasiswa—ini adalah aksi keberanian, kreativitas, dan keyakinan,” ujar Amanda Valani, praktisi media sekaligus dosen pembimbing kelas dokumenter di Program Studi Produksi Media Vokasi UI yang mendampingi proses produksi film-film dokumenter tersebut.

Amanda Valani

Amanda Valani, praktisi media sekaligus dosen pembimbing dokumenter di kampus UI, mendampingi setiap proses produksi dokumenter karya para mahasiswa. foto/Prodi Produksi Media Vokasi Universitas Indonesia

Pemutaran perdana keempat film berlangsung dalam acara Student Documentary Film Showcase dengan tema besar bertajuk “When The World Seems So Uncertain, Look for The Light” di kampus Universitas Indonesia, Depok pada Jumat (13/12/2024).

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang penuh ketidakpastian, masih ada banyak suara yang berharap untuk didengarkan.

Melalui film, mahasiswa-mahasiswa bimbingan Amanda ingin menggaungkan suara pihak-pihak yang kerap terabaikan tersebut.

“Saat situasi di negeri ini akhir-akhir ini terasa tak pasti, para pembuat film muda ini mengingatkan kita bahwa harapan tetap bisa diciptakan dan ditemukan,” ungkap Amanda.

Di bawah ini, Diajeng Tirto mencoba merangkum bagaimana refleksi-refleksi sosial disampaikan melalui keempat film dokumenter tersebut.

Pelangi di Langit Keluarga

Menceritakan tentang kisah hidup Miss Wantit, seorang ayah yang bekerja sebagai waria untuk menghidupi keluarganya.

Dokumenter ini menggali sisi-sisi lain yang tak nampak dari senyum seorang waria yang tengah berjuang mencari nafkah bagi anak dan istrinya.

Film dibuka dengan menyoroti stigma publik terhadap waria.

Sebagian besar orang berpendapat bahwa waria adalah penyimpangan yang bertentangan dengan kodrat laki-laki. Bahkan, beberapa orang menolak untuk diwawancarai karena merasa tidak nyaman dengan topik ini.

Meski begitu, melalui narasi yang kuat dari wawancara langsung dengan Miss Wantit, penonton diajak menyelami kompleksitas kehidupan waria, termasuk keputusannya untuk berpenampilan seperti perempuan dan mengamen di jalanan.

Awalnya, Miss Wantit juga tidak menginginkan pekerjaan tersebut.

Jalan itu ditempuhnya karena dirinya merasa sudah tidak memiliki pilihan usai usaha kecil-kecilannya bangkrut. Apabila ingin mengamen sebagai pemusik, sayangnya ia tidak punya keahlian musikal khusus seperti bermain gitar.

Tak kunjung mendapat pekerjaan lain, Miss Wantit akhirnya memutuskan menjadi pengamen waria yang memberikan hiburan berupa nyanyian dan tarian.

Film ini menampilkan aksi-aksi Miss Wantit menyanyi dan menari menggunakan riasan wajah yang mencolok dan busana perempuan.

Energi kepercayaan dirinya yang menyeruak sampai keluar layar ternyata tidak selalu menghinggapi raganya.

Miss Wantit pernah menahan malu karena ditertawakan orang-orang di jalanan.

Hari-hari pertamanya sebagai pengamen waria terasa begitu berat. Pada masa-masa itu, Miss Wantit merasa tidak mampu mengamen dan kembali ke kamar indekos dengan kantong dan perut yang kosong.

Namun rasa lapar di perutnya memaksa Miss Wantit untuk terus berusaha.

Sampai hari ini, ia masih berjuang menghadapi stigma dan tekanan publik demi memberi makan anak dan istrinya.

Di sepanjang film, Miss Wantit terlihat menekankan bahwa dirinya ingin berhenti menjadi seorang pengamen waria.

Narasi ini menjadi kritik akan minimnya lapangan pekerjaan sehingga orang perlu memutar otak untuk dapat bertahan hidup.

“Mudah-mudahan ada pekerjaan yang lebih layak,” pungkas Miss Wantit.

Mom In Commute

Dokumenter ini mengisahkan perjuangan dua ibu hamil yang harus berhadapan dengan hiruk-pikuk transportasi umum dalam keseharian mereka.

Film ini dikemas dalam format rekonstruksi ulang yang menggambarkan pengalaman nyata Silvi dan Sofia.

Silvi yang tengah mengandung lima bulan harus bergelut dengan padatnya kereta rel listrik (KRL) setiap hari.

Sementara Sofia yang usia kehamilannya menginjak empat bulan harus berjuang mendapatkan kenyamanan di dalam bus TransJakarta setiap harinya.

Meskipun menggunakan moda transportasi umum yang berbeda, keduanya menghadapi tantangan serupa, yakni sulitnya mendapatkan tempat duduk sesuai kondisi mereka sebagai kelompok penumpang prioritas.

Tanpa mengenakan pin khusus ibu hamil, penumpang lain acap kali tidak menyadari keberadaan ibu hamil yang kesulitan mendapatkan tempat duduk.

Silvi kerap diabaikan karena postur tubuhnya yang cenderung besar sehingga orang-orang tidak menyangka dirinya tengah mengandung.

Pengalaman serupa dialami Sofia, yang perutnya belum terlalu terlihat membesar mengingat usia kehamilannya yang masih tergolong muda.

Silvi dan Sofia biasanya memilih diam daripada meminta tempat duduk kepada penumpang di kursi prioritas.

Bukan tanpa alasan, keduanya sudah sering menerima penolakan disertai dalih-dalih sepele yang membuat mereka enggan untuk kembali meminta.

Narasi dokumenter yang dibangun dari kisah ibu hamil di transportasi umum ini mengkritik sikap apatis masyarakat terhadap hak-hak ibu hamil, terutama yang bergelut dalam hiruk-pikuk gemerlap kawasan Jakarta yang serba cepat.

Melalui kisah Silvi dan Sofia, dokumenter ini berhasil mengajak penonton untuk merefleksikan kembali kesadaran dan rasa peduli terhadap kelompok rentan di ruang publik.

Mahasiswa Vokasi UI

Mahasiswa Program Studi Produksi Media Vokasi UI berpose dengan poster filmnya yang diputar di acara Student Documentary Film Showcase di Depok, Jawa Barat pada Jumat (13/12/2024). foto/Prodi Produksi Media Vokasi Universitas Indonesia

Humanizing The Unhumanized

Dokumenter ini menceritakan tentang Thomas, mantan staf security yang tergerak untuk memanusiakan kelompok orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Film dibuka dengan berita-berita tentang ODGJ yang diperlakukan secara tidak manusiawi dan semena-mena.

Sampai sekarang, ODGJ masih menjadi salah satu kelompok yang rentan akan penyiksaan, pemerkosaan, hingga pembunuhan.

Kenyataan pahit yang dialami ODGJ menjadi panggilan hati bagi Thomas untuk mendirikan Yayasan Kasih Bersaudara.

Dedikasi Thomas untuk memanusiakan kelompok yang kerap terabaikan ini telah berakar sejak masa SMA. Kala itu, ia hanya bisa menyisihkan uang jajannya untuk membeli makanan bagi ODGJ di sekitar tempat tinggalnya.

Meskipun terbatas, tindakan kecil ini menjadi langkah awal yang membentuk empati Thomas.

Saat masih bekerja sebagai penjaga keamanan di gereja, ia tak pernah lupa untuk berbagi hasil upahnya dengan membeli beras yang akan dimasak untuk dibagikan kepada para ODGJ di kolong jembatan.

Thomas kemudian mulai berani menampung beberapa ODGJ di kos tempatnya tinggal.

Pada 2011, Thomas memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan mencurahkan seluruh waktu dan tenaganya untuk merawat komunitas ODGJ.

Bukan sekadar panti, Yayasan Kasih Bersaudara menjadi ruang pemulihan yang memperlakukan ODGJ dengan hormat.

Mereka diberikan tempat bernaung, bermain, mendapatkan makanan dan perawatan yang layak, serta kesempatan untuk meraih kembali martabat mereka sebagai manusia.

Dengan menonjolkan keteguhan hati Thomas, tim mahasiswa pembuat film dokumenter mengajak penonton untuk merenung, berempati, dan beraksi lebih jauh untuk mendukung kesejahteraan komunitas ODGJ.

Poster FIlm Dokumenter

Salah satu poster film dokumenter karya mahasiswa Program Studi Produksi Media Vokasi UI yang diputar di acara Student Documentary Film Showcase di Depok, Jawa Barat pada Jumat (13/12/2024). foto/Prodi Produksi Media Vokasi Universitas Indonesia

Transextion

Dokumenter terakhir mengajak penonton untuk menyelami kisah seorang mantan santri yang terjebak dalam ingar-bingar hiburan malam.

Film berdurasi 13 menit itu menceritakan tentang Melati, bukan nama sebenarnya, yang kabur dari rumah setelah bertengkar hebat dengan ibunya.

Tidak tahu ingin melarikan diri ke mana, Melati memutuskan untuk menghubungi teman perempuannya agar diizinkan menginap di tempatnya sementara waktu.

Di sinilah mimpi buruk Melati dimulai. Pengakuan sang teman tentang pekerjaannya sebagai pekerja seks mengubah segalanya.

Awalnya, Melati tidak bergeming. Bagaimana cara temannya bertahan hidup bukanlah urusannya.

Namun, perlahan, Melati ikut terseret ke dalam dunia tersebut.

Melati merasa tidak punya pilihan. Demi membantu menambah pemasukan mereka berdua, ia memberanikan diri melayani pelanggan pertamanya.

Hari demi hari, Melati mulai terbiasa dengan kegiatan yang digelutinya. Laki-laki terus berdatangan ke kamar kos milik temannya.

Aktivitas seksual dalam dokumenter ini ditonjolkan melalui kekuatan simbolisme visual.

Salah satu adegan seks disimbolkan dengan jus jambu yang ditusuk sedotan, lalu diremas hingga isinya meluap dan memenuhi layar dengan cairan merah.

Selain itu, pembuat film juga menggunakan siluet seorang perempuan yang menari bersama seorang laki-laki yang kian menambah nuansa artistik.

Kisah berlanjut ke momen paling berat dalam hidup Melati, yaitu ketika ia mendapati dirinya hamil.

Merasa tidak mampu menanggung beban hidup satu nyawa lagi, ia membuat keputusan berat untuk menggugurkan kandungannya.

Keputusan ini digambarkan oleh tim pembuat film dengan metafora visual berupa telur dan daging.

Potongan daging dijatuhkan satu per satu ke dalam ember, diikuti dengan adegan dramatis saat sebuah telur dipecahkan.

Film ditutup dengan Melati yang kembali ke rumah orang tuanya. Ia berusaha menata lagi kehidupannya dengan menjadi seorang guru.

Tema yang diangkat dalam Transextion mungkin terasa mengejutkan bagi sebagian penonton, terutama ketika kata “santri” bersinggungan dengan dunia pekerja seks.

Di balik itu, melalui pendekatan yang bijak, pembuat film berhasil menghadirkan perspektif baru yang menggugah kita untuk menelusuri sisi lain dari kenyataan yang kerap terabaikan.

Dengan narasi yang menyentuh dan visual yang dirancang untuk menggugah emosi, dokumenter ini membuka ruang bagi penonton untuk melihat kehidupan Melati secara lebih manusiawi.

Alih-alih menghakimi, film ini mengajak kita memahami perjuangan seorang individu di tengah situasi yang sulit dan penuh stigma.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yolanda Florencia Herawati

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Yolanda Florencia Herawati
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih