tirto.id - "Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin..."
Potongan lirik lagu "Indonesia" yang dirilis penyanyi dangdut Rhoma Irama pada 36 tahun silam masih melekat di ingatan bagi para penggemarnya. Sama melekatnya dengan persoalan kesenjangan antara yang kaya dan miskin yang masih terjadi di Indonesia hingga ini.
Ekonomi Indonesia memang tumbuh cukup mengesankan dengan rata-rata tumbuh di atas 5 selama beberapa tahun terakhir. Namun, pertumbuhan itu tak semua dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Belum lama ini, organisasi internasional non-pemerintah yang bergerak di bidang kemanusiaan, Oxfam bersama International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD) menerbitkan laporan tentang ketimpangan di Indonesia yang berjudul "Menuju Indonesia yang Lebih Setara"
Dalam dua dekade terakhir, miliuner Indonesia terus bertambah tapi di saat yang sama, kesenjangan antara kaya dan miskin di Indonesia juga meningkat lebih cepat daripada negara lainnya di Asia Tenggara, bahkan salah satu yang terburuk di dunia.
Ada sekitar 93 juta penduduk Indonesia yang hidup di garis kemiskinan. Selain itu jumlah penduduk Indonesia yang hidup di atas garis kemiskinan juga rentan untuk kembali ke garis kemiskinan. Di sisi lain, jumlah miliuner Indonesia juga terus meningkat dari satu orang pada 2002, menjadi 20 miliuner pada 2016.
"Kami harap laporan ini dapat mendukung pesan betapa penting dan mendesaknya penurunan ketimpangan," kata juru bicara Oxfam Indonesia, Dini Widiastuti dikutip dari Antara.
Dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes, pemilik Grup Djarum Budi Hartono dan Michael Hartono masih bertengger sebagai orang terkaya di Indonesia. Jumlah kekayaan keduanya mencapai 17,1 miliar dolar AS pada 2016.
Susilo Wonowidjojo menempati urutan kedua, total kekayaannya mencapai 7,1 miliar dolar AS. Pundi kekayaan Susilo terus bertambah tak lepas dari kerajaan bisnis rokok Gudang Garam.
Selanjutnya ada Anthoni Salim menempati posisi ketiga dengan total kekayaan sebesar 5,7 miliar dolar AS. Sedangkan Eka Tjipta Widjaja di posisi keempat dengan total kekayaan mencapai 5,6 miliar dolar AS.
Menurut laporan Oxfam jumlah kekayaan empat orang terkaya di Indonesia bila digabungkan melebihi total kekayaan dari 100 juta penduduk di Indonesia. Sebuah angka yang menggambarkan bahwa kesenjangan yang merupakan lagu lama masih terjadi. Kesenjangan yang terjadi di Indonesia bahkan dianggap sebagai sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Indonesia menempati urutan keenam sebagai negara dengan tingkat ketimpangannya tinggi.
Penggambaran ketimpangan di Indonesia dapat ditengok lebih jelas dari data Gini rasio yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Gini rasio di Indonesia pada 2016 tercatat 0,40 atau turun 0,01 dibandingkan 2011 hingga 2015 yang berada di angka 0,41. Gini rasio adalah salah satu indikator standar untuk menunjukkan seberapa merata pendapatan dan kekayaan terdistribusi di antara populasi. Gini rasio memiliki kisaran 0 hingga 1. Semakin mendekati angka 1, maka menunjukkan ketimpangan yang tinggi, sebaliknya bila mendekati 0 maka ketimpangannya rendah.
Di Indonesia, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki tingkat ketimpangan tertinggi di Indonesia. Gini rasio provinsi tersebut mencapai 0,43. Sedangkan provinsi Kep. Bangka Belitung memiliki gini rasio 0,28. Masalah ketimpangan sudah menjadi perhatian dari pemerintah ke pemerintahan yang berkuasa, tapi tetap saja jurang si kaya dan si miskin di Indonesia masih lebar.
"Kita harus kerja keras, mati-matian menurunkan angka kesenjangan, baik kesenjangan antar wilayah, maupun kesenjangan kaya dan miskin," kata Jokowi di Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan Bogor, pada Rabu (4/1/2017) seperti diberitakan oleh Antara
Penyebab Ketimpangan
Politik memainkan peran penting dalam membentuk ketimpangan. Menurut laporan Oxfam, para elit kaya memainkan aturan yang menguntungkan mereka dan memblokir kebijakan yang menguntungkan orang lain sehingga tak punya ruang. Cara-cara ini ditempuh dengan mendapatkan pengaruh politik. Kekayaan yang dimiliki dapat membeli pengaruh politik di Indonesia. Dengan pengaruh, memungkinkan para elit untuk memiliki akses istimewa dari pelbagai peluang seperti pinjaman, konsesi, lisensi impor dan sebagainya.
Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki pengaruh politik dalam mempengaruhi kebijakan atau aturan tentu akan terbatasi oleh kebijakan yang dibuat oleh para elit kaya. Keterbatasan ini memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang sama. Kesenjangan bukan hanya karena ada warga yang malas dalam bekerja atau tidak memiliki kemampuan sebagai akibat dari keterbatasan kualitas sumber daya manusia. Kesenjangan juga muncul karena adanya hambatan-hambatan atau tekanan-tekanan struktural.
Alfian, Melly G. Tan dan Selo Sumarjan (Kemiskinan Struktural: Suatu Bunga Rampai, 1980:5) mengungkapkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh seseorang atau sekelompok masyarakat karena struktur sosial masyarakat yang tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sesungguhnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural yang dimaksud meliputi kekurangan akses terhadap tanah untuk pemukiman, kekurangan akses pada pendidikan, minim akses kesehatan, minimnya fasilitas infrastruktur hingga minim dalam mendapatkan peluang kerja.
Selain minim segala akses, masyarakat juga harus mengalami krisis layanan sosial karena minimnya pendanaan pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan. Di Asia Tenggara, jumlah dana kesehatan dan pendidikan di Indonesia hanya sekitar 5 persen dari PDB, sedangkan Thailand menggelontorkan lebih dari 10 persen dari PDB. Vietnam menganggarkan 10 persen dari PDB untuk hal yang sama. Malaysia yang mengalokasikan sekitar 9 persen.
Faktor lain seperti minimnya akses infrastruktur seperti jalan di pedesaan yang rusak menyebabkan isolasi geografis kepada para petani. Petani tidak dapat mengakses pasar yang lebih luas. Data Oxfam menyebutkan 75 persen jaringan jalan di pedesaan dalam kondisi buruk sehingga menambah ketimpangan mereka yang tinggal di pedesaan.
Penyebab lain adalah karena tidak adanya kesetaraan gender. Ketidaksetaraan gender erat kaitannya dengan ketimpangan--perempuan kurang memiliki akses terhadap hak-hak mereka atas layanan kesehatan dan pendidikan.
Bila pelbagai faktor ini tidak segera dicari jalan keluarnya, maka diprediksi pada 2019 akan ada 13 juta penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan yang ekstrem. Selain itu, ketimpangan ini tentu akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Juga ada risiko sosial, ketimpangan dapat merusak kerukunan sosial karena ketimpangan yang tinggi memiliki intensitas konflik hingga 1,6 kali lebih besar dibandingkan dengan daerah yang kesenjangannya rendah.
“Indonesia menghadapi tantangan ketimpangan yang multidimensi. Namun, Presiden Joko Widodo memiliki kesempatan untuk membuktikan Indonesia dapat menjadi negara yang memimpin perjuangan global melawan ketimpangan,” kata Direktur Advokasi dan Kampanye Oxfam Internasional, Steve Price Thomas.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Suhendra