Menuju konten utama

Dekatnya Rokok dengan si Miskin

Suka tidak suka, rokok sudah menjadi isu banyak negara dan dunia. Rokok juga mencengkeram negara-negara miskin. Uniknya, rokok juga dekat dengan kemiskinan seseorang.

Dekatnya Rokok dengan si Miskin
ilustrasi rokok dan kemiskinan [Foto/Shutterstock]

tirto.id - “Mengapa orang kaya berhenti merokok, tapi orang miskin tidak.”

Ini sebuah judul yang ditulis washingtonpost.com pada 14 Januari 2015 silam. Pertanyaan ini memang cukup menggelitik. Berbagai riset global termasuk di Indonesia sering mengangkat masalah rokok kaitannya dengan kemiskinan. Lalu apa sebenarnya jawaban dari ini semua?

World Health Organization (WHO) punya data yang cukup menarik. Organisasi kesehatan dunia ini mencatat mayoritas perokok di seluruh dunia berasal dari negara miskin dan berkembang. Ini semacam lapisan fakta lain yang memperkuat bahwa rokok sangat erat dengan kemampuan finansial seseorang.

Di Indonesia, rokok menjadi salah satu kebutuhan “utama” konsumsi kaum miskin selain kebutuhan pokok seperti beras dan pangan lainnya. Sepintas ini sesuatu yang mustahil, tapi inilah adanya. Rokok dekat dengan kaum miskin dan kemiskinan dekat dengan rokok.

Rokok dan Status Negara

WHO dalam laporannya soal fakta-fakta tentang tembakau (rokok) menyebutkan, pada 2015 ada sekitar 1,1 miliar perokok di seluruh dunia. Dari jumlah itu, sekitar 800 juta lebih atau 80 persen berasal dari negara dengan pendapatan rendah dan menengah, sisanya 20 persen dari negara kaya. Rokok telah membius kaum miskin dengan sadar atau tidak sadar. Rokok telah jadi bagian dari kebutuhan dasar mereka.

Kebutuhan utama seperti kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal malah tersedot untuk belanja rokok.

Dalam laporan yang berjudul The Global Tobacco Crisis, WHO mencatat orang miskin di Bangladesh menghabiskan 10 kali untuk membeli rokok dibandingkan biaya untuk pendidikan. Di Mesir, orang miskin di sana membelanjakan 10 persen kebutuhan rumah tangga mereka hanya untuk rokok.

Di Indonesia lebih parah lagi, keluarga miskin di negeri ini menghabiskan 15 pendapatannya untuk asap rokok. Hal yang sama juga terjadi di Meksiko, 11 persen kebutuhan rumah tangga orang yang paling miskin juga habis untuk barang yang dianggap buruk bagi kesehatan ini.

Kondisi demikian bisa dijawab dengan studi yang telah dilakukan. Theguardian misalnya, tahun lalu membuat sebuah studi tentang penetrasi iklan rokok di negara-negara miskin dan negara maju di 16 negara. Hasilnya di luar dugaan, penetrasi iklan rokok di TV, radio, poster negara miskin lebih agresif daripada di negara maju.

Momok lain bagi negara-negara miskin soal mudahnya penjualan rokok secara eceran atau satuan. Studi itu mendapati temuan yang juga cukup mengkhawatirkan, 64 persen toko di negara miskin menjual rokok secara eceran, sedangkan negara maju hanya didapati 2,6 persen saja. Mudah dan murahnya rokok di negara miskin semakin membuka lebar pangsa pasar perokok muda yang tak sanggup membeli rokok dalam kemasan satu bungkus. Mereka terjebak dengan anggapan bahwa rokok sudah menjadi kebutuhan.

Si Miskin Terhadap Rokok

Jika sebelumnya status negara menggambarkan kedekatannya dengan rokok, fakta lain menunjukkan, kondisi keuangan seseorang juga mendekatkan mereka dengan rokok. Tak peduli mereka tinggal di negara miskin atau pun kaya.

Artikel yang ditulis oleh Keith Humphreys seorang profesor dan direktur bidang kebijakan kesehatan mental di Stanford University yang dimuat washingtonpost.com mencoba memberikan jawaban, kenapa orang miskin dekat dengan rokok. Persoalan lingkungan, kalangan atas lebih berpeluang mendapat dukungan lingkungan yang membuat orang bisa berhenti merokok, sedangkan kalangan bawah sebaliknya, bahkan bisa terus kecanduan. Faktor ketidakmampuan dalam mengakses pengobatan kesehatan mental seperti depresi bagi kaum berkantong tipis, juga berperan membuat mereka sulit berhenti merokok.

Ini bisa dibuktikan dari sebuah jejak pendapat yang dilakukan oleh perusahaan konsultan Gallup Poll terhadap 7.500 orang Amerika Serikat (AS) beberapa tahun lalu. Dari berbagai lapis pendapatan terlihat nampak bahwa orang yang penghasilannya makin rendah maka lebih tinggi peluangnya merokok. Tingkat jumlah perokok yang punya penghasilan 24.000 dolar per tahun lebih tinggi 2 kali daripada perokok berpenghasilan di atas 90.000 dolar per tahun. Selama 1965-1999 penurunan perokok dari keluarga berpenghasilan tinggi di AS mencapai 62 persen, dari keluarga berpenghasilan rendah justru hanya 9 persen.

Bagaimana dengan di Indonesia? Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan beberapa kali laporan soal tingkat konsumsi masyarakat miskin terhadap kebutuhan mereka. Lagi-lagi rokok di posisi teratas bersama beras yang dianggap sebagai penyumbang kemiskinan.

BPS mencatat komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan di perdesaan dan perkotaan di antaranya beras, rokok, telur ayam ras, gula pasir, mie instan, bawang merah, dan roti. Data Maret 2016, sumbangan rokok kretek filter terhadap garis kemiskinan tercatat 9,08 persen di perkotaan dan 7,96 persen di perdesaan, terbesar kedua setelah beras. Secara total sumbangan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan sebesar 73,07 persen. .

"Rokok tidak menyumbang kalori, tapi tetap harus dihitung sebagai pengeluaran," kata Kepala BPS Suryamin dikutip dari Antara.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) punya pandangan. Berbekal data BPS, mereka punya anggapan harga rokok yang tinggi akan menurunkan tingkat konsumsi rokok di rumah tangga miskin. Sebanyak 70 persen konsumsi rokok justru menjerat rumah tangga miskin di Indonesia. Bila konsumsi rokok rumah tangga miskin turun maka, di atas kertas efeknya positif. Teorinya, uang yang selama ini membeli rokok bisa dikonversi untuk membeli bahan pangan.

“Efek ekonomi dari rokok adalah makin memperdalam kemiskinan. Industri rokok telah membuat pelanggannya kecanduan yang berimbas kepada yang miskin,” jelas laporan yang dibuat WHO berjudul the global tobacco crisis.

Lembaga internasional maupun penelitian membuktikan bahwa penetrasi tingkat perokok sangat tergantung dengan kebijakan sebuah negara, dan kondisi kemiskinan. Namun yang menjadi kata kuncinya, seorang yang kantongnya pas-pasan pasti berpikir ulang ketika harus membeli rokok yang harganya jauh dari daya beli mereka, apalagi susah menemukannya. Inilah jawabannya.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti