tirto.id -
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) dianggap memiliki syarat yang masih menghambat guru honorer untuk memanfaatkan kebijakan ini. Salah satunya adalah keharusan memiliki sertifikasi guru.
“Peraturan ini tidak menyelesaikan masalah karena syaratnya guru harus memiliki kompetensi yang dinilai dari sertifikasi,” ucap Didi pada Rabu (26/12/2018).
Didi mengatakan saat ini terdapat 1,5 juta guru honorer. Hampir seluruhnya memiliki penghasilan sekitar Rp300 ribu – Rp500 ribu per bulan.
Jumlah itu, kata Didi, terbagi menjadi 750 ribu guru di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan sisanya berada di instansi lain termasuk di dalamnya Kementerian Agama.
Menurut Didi, syarat sertifikasi yang diwajibkan oleh P3K itu tidak mudah dilalui oleh guru honorer.
Sebab sejauh ini proses sertifikasi itu lebih berpihak pada guru swasta maupun guru yang telah diangkat sebagai pegawai tetap oleh pemerintah.
Selain kendala biaya, proses sertifikasi itu dinilai tidak cukup terbuka untuk diikuti guru honorer. Ketika ditanya alasannya, Didi mengaku ia sendiri tidak tahu-menahu.
“Guru honorer banyak yang tidak ada kesempatan untuk ikut sertifikasi. Jadi janji penyelesaian guru honorer ini masih ngawang,” ucap Didi.
PP Nomor 49 Tahun 2018 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 22 November 2018 lalu sempat digadang-gadang sebagai hadiah bagi guru honorer di Hari Guru Nasional. Peraturan ini dinantikan karena membuka kesempatan agar guru honorer dapat diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang notabene dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri