tirto.id - Transparency International Indonesia (TII) mencatat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2023 berada di 34 atau sama dengan tahun sebelumnya. Tanah Air menempati peringkat 115 dari 180 negara yang dilibatkan dalam survei tersebut.
Skor IPK Indonesia stagnan, tetapi rankingnya turundari 110 menjadi 115 dari 180 negara. Deputi V Kantor Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani, menuturkan, penurunan terjadi akibat biaya politik tinggi.
“Biaya politik saat ini sangat tinggi, dari data yang kami dapat dari FGD internal pemerintah, rerata biaya politik yang dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR-RI adalah Rp 10-15 Miliar dan Kepala Daerah Rp 100 Miliar,” kata Jaleswari dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (31/1/2024).
Jaleswari yang juga Pengarah Tim Nasional Stranas Pencegahan Korupsi menilai hasil CPI tersebut penting untuk dievaluasi dari hulu. Sebab, hal itu tidak terlepas masih ada suap di bidang pelayanan publik dan perizinan, integritas aparat penegak hukum yang belum baik serta politik uang yang mengakibatkan politik biaya mahal dan berujung pada kualitas demokrasi.
Jaleswari mengutip data KPK di 2023, menunjukkan lebih dari 186 kepala daerah dan 35 Menteri/Kepala Lembaga menjadi terpidana korupsi dalam periode 18 tahun terakhir sebagai bukti politik biaya mahal. Terjadinya politik uang dalam pemilu adalah salah satu penyebab para politisi ini terlibat korupsi.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, biaya politik ini sebagian besar digunakan untuk operasional jaringan tim di lapangan, termasuk melakukan jual-beli suara (vote buying) yang menurut hasil survei Global Corruption Barometer dialami oleh 26% pemilih di dalam Pemilu Indonesia.
Sementara itu, menurut data KPK pada 2020, tingginya biaya politik ini diperkuat dengan hasil kajian KPK, 82.3% calon kepala daerah dibiayai oleh sponsor (bohir) sehingga membuka peluang terjadinya transaksional politik.
Dani mengaku ada sejumlah modus politik uang dalam pemilu seperti pemberian sembako, pemberian kupon belanja, token listrik dan budaya permisif masyarakat terhadap politik uang. Sementara itu, dia menjelaskan penyelesaian modus politik melakukan dua pendekatan yakni penjatuhan sanksi administratif dan sanksi hukum kepada pelaku politik uang, dan edukasi yang intensif tentang pencegahan politik. Pemerintah juga melihat serangan fajar dalam politik yang kerap menyasar akar rumput.
Selain itu, perubahan regulasi untuk peningkatan pendanaan dan akuntabilitas partai politik serta penguatan Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang masih terkendala, adalah kebijakan yang akan terus didorong pemerintah melalui Stranas Pencegahan Korupsi.
Pemerintah bersama dengan KPK sebagai ujung tombak dalam upaya pemberantasan korupsi, akan terus meningkatkan upaya pembenahan sistem pencegahan korupsi diantaranya dengan Stranas Pencegahan Korupsi dan berbagai inisiatif kebijakan pemberantasan korupsi.
Dia memastikan hasil CPI 2023 menjadi ajang evaluasi dan penguatan integritas pemerintahan jelang berakhir pada akhir 2024 mendatang.
“Skor ini harus menjadi evaluasi bersama dari seluruh jajaran pemerintah, untuk perbaikan penguatan integritas dan kredibilitas di sisa masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf,” ujar Jaleswari.
Untuk diketahui, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia atau Indonesia Perception Index (CPI) tahun 2023 mengalami stagnasi. Skor CPI 2023 berada di angka 34 atau sama dengan angka CPI 2022.
"Skor CPI 2023 kita adalah 34. artinya dengan pengukuran kita standar error kita ada di 1,8," kata peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko dalam rilis Corruption Perception Index di Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Wawan mengatakan, skor Indonesia memang mengalami stagnasi. Tetapi, bila menghitung berdasarkan margin of error, angka CPI Indonesia terjadi rentang 31 hingga 37.
Dia menjelaskan walaupun mengalami stagnasi, ranking Indonesia turun dari 110 di 2022 menjadi 115 di 2023. Wawan menilai, penurunan ranking adalah sinyal buruk jika Tanah Air ingin menuju negara dengan demokrasi yang penuh dan dengan akses keadilan merata.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Intan Umbari Prihatin