Menuju konten utama

Kru Dirty Vote Dipolisikan, Koalisi: Kritik Jangan Dibungkam

Para pelapor menuding Dirty Vote sebagai black campaign atau kampanye hitam terhadap salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. 

Kru Dirty Vote Dipolisikan, Koalisi: Kritik Jangan Dibungkam
Film Dirty Vote. Instagram/dirtyvote.

tirto.id -

Koalisi Masyarakat Sipil yang merupakan gabungan 12 organisasi menilai pelaporan terhadap sutradara dan tiga pakar hukum dalam film Dirty Vote, bentuk kriminalisasi dan pembungkaman kritik serta fakta.

Dandhy Dwi Laksono, selaku sutradara film itu serta tiga ahli hukum tata negara, yakni Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar dilaporkan Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi) ke Mabes Polri.

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ika Ningtyas mengatakan langkah pelapor itu merupakan upaya untuk membungkam pihak-pihak yang mengungkap dugaan kecurangan pemilu dan menghambat hak publik untuk mengakses informasi maupun partisipasi publik melakukan kontrol sosial atas penyelenggaraan Pemilu 2024.

Masyarakat Sipil mempersoalkan pasal yang digunakan pelapor untuk menjerat empat terlapor, yakni Pasal 287 ayat (5) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pelapor berdalih film Dirty Vote dianggap melanggar ketentuan di masa tenang Pemilu. Para pelapor menuding Dirty Vote sebagai black campaign atau kampanye hitam terhadap salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

"Seluruh tuduhan yang disampaikan oleh DPP Foksi adalah keliru," kata Ika dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Selasa (13/2/2024).

Kekeliruan itu, kata dia bahwa film dokumenter Dirty Vote sesungguhnya diproduksi secara kolaboratif oleh jurnalis dan organisasi masyarakat sipil di antaranya AJI, Bangsa Mahardhika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace, ICW, JATAM, Jeda untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, WALHI, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI. Lalu, pembiayaan film ini juga berasal dari sumbangan individu dan organisasi masyarakat sipil.

Kedua, narasi kampanye hitam yang disokong dengan penggunaan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 280 dan 287. Pasal 280 Ayat (1) sampai (4) tentang larangan dalam kampanye pemilu sama sekali tidak melarang pengungkapan atau publikasi fakta-fakta pelanggaran pemilu seperti yang diungkap dalam Dirty Vote.

Masyarakat Sipil menegaskan, upaya untuk menarasikan Dirty Vote sebagai kampanye hitam merupakan bentuk delegitimasi terhadap kritik dan fakta-fakta yang disajikan pada film tersebut.

Di sisi lain, menurut Ika, dokumenter tersebut tidak dibuat untuk menguntungkan atau merugikan peserta pemilu tertentu. Sebaliknya, dokumenter ini merupakan kajian kritis berdasar fakta-fakta yang telah dipublikasikan sebelumnya dalam berbagai karya jurnalistik.

Menurut Ika, tudingan DPP Foksi sama seperti pola-pola serangan balik terhadap berbagai kritik sebelumnya terhadap pemerintah. Pola itu dengan mendiskreditkan para pengkritik atau pengungkap fakta dengan tuduhan negatif yang tidak berdasar, salah satunya menuduh pengkritik merupakan bagian dari lawan politik atau killing the messenger.

Narasi-narasi ini, jelas Ika, biasanya berlanjut dengan langkah hukum berupa pelaporan ke kepolisian untuk menekan para pengkritik atau setidaknya mengaburkan substansi kritik dalam percakapan publik.

Padahal, tambah Ika, dalam konteks respons terhadap Dirty Vote, alih-alih membantah fakta-fakta kecurangan yang diungkap dalam dokumenter tersebut dengan data yang memadai. Para pelapor justru menuding film ini sebagai kampanye hitam, pesanan calon presiden tertentu, hingga membuat kegaduhan pada masa tenang.

"Tudingan tersebut cacat logika karena fakta-fakta pelanggaran pemilu harus diungkap ke publik melalui berbagai kanal, sehingga bisa diproses oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)," tegas Ika.

Film dokumenter kecurangan pemilu itu tayang, Minggu (11/2/2024). Film ini merupakan hasil upaya koalisi masyarakat sipil menguak desain kecurangan pemilu. Dirty Vote merupakan dokumenter eksplanatori yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara yaitu Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar.

Penjelasan ketiga ahli hukum di film ini berpijak atas sejumlah fakta dan data. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Maya Saputri