tirto.id - Sehari sebelum operasi militer dimulai, Ali bin Abu Thalib memasuki masjid di Kufa untuk sembahyang Subuh hari Jumat. Di sana, seseorang bernama Abd al-Rahman ibn ‘Amr ibn Muljam, seorang pengikut Khawarij, menerobos kerumunan jamaah salat sambil berteriak, “Penghakiman milik Allah, bukan milik engkau, wahai Ali.”
Ibn Muljam menyabet pedang beracunnya dan tepat mengenai kepala Ali. Meskipun hanya tergores kecil, tapi cukup membuat racunnya bekerja dengan cepat. Dua hari kemudian, Ali wafat pada malam 21 Ramadan 40 Hijriah, dengan membawa impian Bani Hasyim menyatukan komunitas Umat Beriman di bawah satu panji keluarga Nabi Muhammad. Dia kemudian dimakamkan di Najaf, Irak.
Dalam No god but God: The Origins, Evolution, and Future of Islam (2005), Reza Aslan mendedahkan bahwa pada khotbah yang disampaikan beberapa tahun sebelum pembunuhan itu, Ali berujar: “Seseorang yang saleh dan berbudi luhur dilihat dari kebaikan yang dikatakan tentangnya dan pujian yang Allah SWT telah takdirkan ia terima dari orang lain.”
Kata-kata itu bisa jadi merupakan isyarat, karena Ali mungkin akan segera mati, tetapi dia tidak dilupakan begitu saja. Jutaan pengikut Syiah di seluruh dunia tetap menganggap Ali sebagai model kesalehan Muslim: cahaya yang menerangi jalan lurus kepada Allah (hlm. 192-193).
Visi kepahlawanan itulah yang tertanam kuat dalam hati orang-orang yang mempercayai Ali sebagai satu-satunya penerus Muhammad. Ia dipercaya para pengikutnya bukan hanya sebagai khalifah keempat, tapi jauh melebihi itu. Ali, seperti yang diklaim kaum Syi’ah, adalah imam pertama: bukti keberadaan Allah SWT di muka bumi (hlm. 193).
Pemberontakan Melawan Ali
Setelah pembunuhan Utsman bin Affan yang misterius, para pemberontak menunjuk sendiri khalifah barunya. Pilihan terbaik adalah Ali, karena dia adalah sahabat Nabi Muhammad yang paling dihormati dan masih hidup. Ali terkait dengan Rasulullah dalam dua cara: sebagai sepupu dan menantu.
Ali, yang teguh mempertahankan kehormatan dan keadilan sebagaimana para sahabat terdekat Muhammad, awalnya menolak ditunjuk oleh orang-orang yang memberontak terhadap Khalifah Utsman. Dia akhirnya diyakinkan tokoh-tokoh utama lain di Madinah bahwa dirinya yang paling memenuhi syarat dan paling mampu untuk mengembalikan kedamaian di dunia Islam.
Masalah yang paling menekan Ali tentu soal penyelesaian kasus pembunuhan Utsman. Sentimen umum merebak untuk menghukum para pemberontak. Muawiyah bin Abu Sofyan, rival politik Ali, bahkan menekankan bahwa ia takkan bersumpah setia kepada khalifah baru sampai diambil langkah-langkah untuk menghukum orang yang telah membunuh sepupunya.
Namun, menurut Tayeb El-Hibri dalam Parable and Politics in Early Islamic History: The Rashidun Caliphs (2010), Ali yang sama pragmatis dengan pendahulunya tahu bahwa keputusan untuk menghukum mereka kemungkinan besar akan berakibat pada pembunuhan dirinya karena pemberontak masih menguasai Madinah. Ini dikhawatirkan akan menjerat dunia Islam ke dalam lingkaran pertumpahan darah.
Ali malah memindahkan ibu kota ke Kufa, dataran subur di Irak. Di sana, dukungan terhadap khalifah sangat tinggi. Banyak orang di Madinah patah harapan akan penolakan Ali untuk mengadili pemberontak. Tidak lama kemudian, sekelompok kekuatan berkumpul dengan tujuan meyakinkan Ali agar menghukum pemberontak. Dengan dipimpin dua sahabat Nabi, Talha dan Zubair, serta dibantu janda Nabi, Aisyah, pasukan itu berangkat ke Irak untuk menghadap Ali (hlm. 248-249).
Menurut George Jordac dalam Khalifah Terakhir: Epos Khalifah Ali bin Thalib dalam Menegakkan Islam di Tengah Pusaran Konspirasi Perebutan Kekuasaan Pasca-Kenabian (2013), sulit menilai maksud Ali dan lawan politiknya dalam mempersiapkan diri menghadapi konflik yang akan datang. Di kedua belah pihak terdapat orang-orang yang dekat dengan Nabi Muhammad dan harus hati-hati terhadap kepelikan pertempuran antar-Muslim.
Akan tetapi, kedua pihak sangat yakin dengan ijtihad masing-masing, terutama mengenai tindakan yang benar dalam menangani pemberontak. Bagi Ali, tidaklah memungkinkan secara politik untuk menghukum mereka. Dia meyakini solusi terbaiknya adalah melanjutkan hidup dan berusaha menyatukan umat kembali (hlm. 181).
Bagi penentangnya, penyatuan kembali mustahil dilaksanakan tanpa memperbaiki kesalahan dan mengirimkan pesan bahwa kekhalifahan tidak bisa diganggu seperti yang terjadi dalam pengepungan Utsman. Perpecahan politik akibat wafatnya Utsman memang terlalu besar untuk diselesaikan, bahkan oleh para sahabat Nabi sekalipun. Persengketaan pun tak terelakkan.
Akhirnya, pada 656 Masehi, kedua pasukan bertemu di padang dekat Basra, Irak Selatan. Beberapa anggota oposisi, termasuk Talha dan Zubair, menemui Ali sebelum pertempuran dengan harapan dapat menghindari pertumpahan darah. Sebuah perjanjian damai sementara disetujui pemimpin kedua pihak yang segan menyaksikan perang saudara terjadi hanya dua puluh tahun setelah Nabi Muhammad dimakamkan.
Tapi, pihak ektremis yang kurang taat dari kedua kubu masih memaksa pasukan untuk saling menyerbu meskipun sudah ada negosiasi antar-pemimpin. Dalam kegalauan, akhirnya kedua pasukan berbentrokan dan masing-masing yakin pihak lainlah yang memulai peperangan. Hasil perang yang nantinya dikenal dengan nama Perang Unta ini tidak dapat dipastikan, kedua belah pihak mengalami kehilangan besar.
Talha dan Zubair tewas dalam kekacauan. Ali dan Aisyah lolos tanpa cedera dari pertempuran, tetapi mereka patah harapan menyaksikan perang saudara pertama dalam sejarah Islam ini. Aisyah kembali ke rumahnya di Madinah ditemani pengawalan militer yang disiapkan Ali demi keselamatannya. Aisyah memutuskan untuk menarik diri dari urusan politik hingga wafat pada 678 Masehi (hlm. 413).
Munculnya Kelompok Khawarij
Meskipun telah terjadi pertumpahan darah, posisi Ali sebagai khalifah masih belum aman. Muawiyah bersikap netral dalam konflik antara Ali dan penentangnya, tetapi tetap tak bersumpah setia sampai Ali menghukum pembunuh sepupunya. Ali tidak bisa memerintah dengan efektif saat salah satu gubernur terkuat di dunia Islam tak mau tunduk kepada otoritasnya.
Namun, Ali masih mempertahankan pendapatnya bahwa menghukum pemberontak bukanlah prioritas dan tidak bisa dijalankan dalam keadaan apa pun. Kali ini, untuk menghindari pertumpahan darah lebih jauh, dia bersedia bertemu Muawiyah untuk menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase. Kedua pihak bertemu di suatu tempat antara Irak dan Suriah, daerah asal masing-masing pendukung, pada 658 M.
Apa yang tepatnya terjadi dalam negosiasi dan bagaimana hasilnya sulit disibak dari kabut sejarah. Tapi, sepertinya sang penengah mendukung solusi yang menurunkan Ali dan Muawiyah dari kekuasaan, lantas melakukan pemilihan khalifah baru. Saat hasil arbitrase ini diumumkan, sekelompok pendukung Ali menentang keputusan tersebut.
Mereka menyatakan, “Keputusan hanya milik Allah!” dan menolak menerima legitimasi penengah. Kelompok tersebut mengutuk Ali karena mengizinkan nasib politiknya ditentukan oleh manusia biasa yang bisa berbuat salah. Posisi politik ekstrem mereka berubah menjadi posisi keagamaan ekstrem yang menganggap setiap manusia berdosa sebagai kafir.
Setelah memisahkan diri dari kelompok pendukung utama Ali, mereka ditahbiskan sebagai “Khawarij”, yang berarti "orang yang meninggalkan". Kelompok Khawarij terus menyebar teror di pedalaman Irak, memerangi siapa pun yang tidak setuju dengan posisi mereka.
Sementara itu, Ali yang menolak hasil arbitrase karena menganggapnya cacat, menegaskan bahwa bekas pendukungnya itu menjadi kelompok pertama dalam sejarah yang telah melepaskan diri dari teologi Islam yang diterima secara umum. Mereka tidak bisa dibiarkan bebas dengan teror yang merajalela.
Menurut Firas Alkhateeb dalam Sejarah Islam yang Hilang: Menelusuri Kembali Kejayaan Muslim pada Masa Lalu (2016), Ali mengumpulkan pasukan dan menghadapi oposisi itu pada musim panas 658 M. Kelompok utama Khawarij berhasil dihancurkan, tetapi gerakan itu terus berlanjut dalam bentuk klandestin dengan tujuan menurunkan Ali dan Muawiyah. Usaha percobaan pembunuhan Muawiyah di Damaskus oleh Khawarij gagal (hlm. 64-65).
Namun, mereka berhasil membunuh Ali dan membuat kekuasaannya yang bergolak itu berakhir dalam kekerasan. Tampuk kekhalifahan pun jatuh pada satu-satunya orang di dunia Islam yang mendapat dukungan luas dan mampu menjadi pemimpin nan efektif: Muawiyah.
================
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangka Raya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.
Editor: Ivan Aulia Ahsan