tirto.id - Presiden Joko Widodo menantang perbankan untuk mengucurkan kredit pendidikan guna menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia. Gagasan tersebut disambut baik oleh perbankan, meskipun realisasinya butuh waktu.
Corporate Secretary PT Bank Mandiri (Persero) Rohan Hafas menilai, usulan Presiden Jokowi supaya perbankan mengucurkan kredit pendidikan atau student loan sangat membantu dunia pendidikan. Rohan berkata, perusahaan pelat merah itu sangat mendukung ide itu.
“Kami mendukung penuh gagasan tersebut karena akan sangat membantu dunia pendidikan dan juga di perbankan sangat memungkinkan membuat produk tersebut,” kata Rohan kepada Tirto, Senin malam (19/3/2018).
Hal senada juga diungkapkan Direktur Transaksi Perbankan BCA, Santoso. Menurut dia, pihaknya akan mempelajari usulan Jokowi tersebut. Selama ini, kata dia, BCA telah memiliki produk multiguna yang bisa digunakan untuk pembiayaan pendidikan.
“Kami akan melihat sejauh mana produk multiguna masih bisa mencukupi kebutuhan nasabah ya,” kata Santoso.
Ia melanjutkan, produk multiguna yang selama ini bisa digunakan untuk pembiayaan pendidikan belum ada kendala dan masih memadai. "Sejauh ini sih masih memadai ya, dan yang terpenting adalah kemampuan nasabah dalam mengangsur," kata Santoso.
Selain Mandiri dan BCA, Tirto juga mencoba menghubungi beberapa perwakilan bank lain, di antaranya Corporate Secretary BNI Ryan Kiryanto, dan Sekretaris Perusahaan BRI Bambang Tri Baroto, untuk meminta tanggapan, namun kedua bank pelat merah itu belum merespons.
Usulan Presiden Jokowi soal kredit pendidikan ini berkaca pada Amerika Serikat yang mampu mengeluarkan student loan lebih besar dari total pinjaman kartu kredit. Presiden menilai perbankan Indonesia juga bisa melakukannya untuk memperbaiki taraf pendidikan bangsa.
"Ini juga salah satu dalam rangka kita investasi di bidang SDM Indonesia supaya masyarakat bisa, semuanya, mengakses kepada pendidikan kita lewat kredit pendidikan," ujar Jokowi, seperti dikutip Antara, Kamis (15/3/2018).
Namun, gagasan Jokowi soal kredit pendidikan tersebut bukan tanpa risiko. Di Amerika misalnya, program student loan ini membuat para sarjana harus menanggung utang dan tidak sedikit yang gagal melunasinya.
Pada 16 Februari lalu, The Wall Street Journalmengutip studi yang dirilis Brookings Institute yang menemukan bahwa mereka yang telah lulus sejak 2010 sebagian besar gagal melunasi utang pinjaman mereka selama empat tahun. Persoalan ini pun menjadi sorotan bank sentral AS.
Menteri Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Menristek Dikti), M Nasir mengakui soal risiko semacam ini. Ia menceritakan program pemberian kredit yang sama pada 1985. Saat itu, rata-rata penerima Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) pada tidak bayar.
“Tapi apa yang terjadi pada kasus periode saya, itu rata-rata pada tidak membayar semua. Nanti ijazahnya ditahan, tapi ternyata mereka tidak butuh ijazahnya, tapi hanya butuh fotokopi ijazah yang dilegalisir,” kata Nasir usai rapat terbatas mengenai Peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia dengan Presiden Jokowi, seperti dikutip Antara.
Kendati demikian, Nasir menegaskan pemerintah akan membahasnya bersama dengan perbankan untuk mencari solusi dalam menangani persoalan tersebut.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz