Menuju konten utama

KPK Terganjal Peradilan Militer di Kasus Korupsi Heli AW101

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kesulitan menangani kasus dugaan korupsi helikopter AgustaWestland AW101.

KPK Terganjal Peradilan Militer di Kasus Korupsi Heli AW101
Penyidik KPK dan POM TNI melakukan pemeriksaan fisik pada Helikopter Agusta Westland (AW) 101 di Hanggar Skadron Teknik 021 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (24/8). ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf

tirto.id - Penanganan kasus korupsi helikopter AgustaWestland AW101 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sulit galir. Delapan saksi tidak datang dalam agenda pemeriksaan oleh KPK, Selasa (3/7/2018).

Keterangan orang-orang ini, semuanya perwira TNI, seharusnya digunakan untuk melengkapi berkas perkara tersangka dari kalangan pengusaha, Irfan Kurnia Saleh. Irfan diduga mengatur tender proyek pengadaan helikopter senilai Rp715 miliar itu. Sementara uang negara yang bocor diperkirakan mencapai Rp224 miliar.

"Penyidik KPK terhambat menangani kasus ini karena kesulitan memeriksa saksi-saksi yang mengetahui peristiwa pengadaan Heli tersebut," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah dalam keterangan tertulisnya.

Febri tidak menjelaskan apa alasan ketidakhadiran para perwira ini ke Gedung Merah Putih, Kuningan. Ia hanya menyebutkan bakal berkoordinasi dengan Polisi Militer TNI (POM TNI) tanpa menyebut waktu spesifik.

TNI Harus Patuh

Fakhrurrazi dari Universitas Andalas dalam thesisnya yang berjudul "Kewenangan KPK dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh prajurit TNI" (2017) mengatakan KPK memang kerap terhambat tiap mengusut korupsi yang melibatkan tentara. Alasannya, hukuman bagi prajurit yang menyeleweng biasanya bakal langsung mengacu pada Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Pejabat yang diberi wewenang khusus oleh peradilan militer dalam menyelidiki kasus yang melibatkan prajurit adalah Ankum (atasan yang berhak menghukum), Polisi Militer, dan/atau Oditur Militer.

Jika aturan ini tidak direvisi, maka meski prajurit melakukan tindak pidana umum ia tetap bakal diadili di peradilan militer. Sementara KPK di sisi lain hanya dapat menyidik orang-orang yang tunduk dalam peradilan umum.

Hal ini sempat disinggung oleh bekas panglima TNI Moeldoko—kini menjabat Kepala Kantor Staf Kepresidenan. "Masing-masing punya batas wilayah kerja... Kalau sampai KPK masuk, maka TNI tak terhormat lagi," kata Moeldoko, 2014 lalu.

Namun dalam riset yang sama Fakhrurrazi mengatakan bila KPK tetap berpeluang melakukan penyidikan terhadap prajurit karena mereka "termasuk dalam subjek tindak pidana korupsi." Hal ini dimungkinkan karena ada azas konektivitas antarlembaga—meski saat ini belum ada peraturan teknis yang membahas soal itu di antara KPK-TNI.

Peneliti Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)—organisasi yang bergerak dalam isu dan kegiatan pembaruan hukum dan peradilan—Liza Farihah mengatakan meski sulit, tapi pemeriksaan terhadap tentara harus tetap diusahakan oleh KPK. Liza meminta TNI mematuhi proses peradilan yang berjalan, apalagi KPK sudah memanggil para saksi dengan prosedur yang layak. Lembaga antirasuah itu pun sudah berkoordinasi dengan POM TNI.

"Proses penyidikan harus membantu bagaimana perkara berjalan dan harusnya delapan orang itu masuk dalam proses penyidikan. Seharusnya mereka [perwira TNI] bisa datang," kata Liza kepada Tirto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Aris Santoso, pengamat militer dan kolumnis tetap Tirto, pesimistis soal kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI dapat selesai. Menurutnya, mekanisme peradilan militer yang tidak transparan itu bakal tetap mereka pertahankan. Di sanalah ruang kebal atau impunitas terjadi.

"Saya agak pesimistis KPK bisa bongkar kasus ini," kata Aris kepada Tirto.

Ini mirip seperti kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sampai saat ini Komnas HAM kesulitan menyelesaikan masalah HAM yang melibatkan TNI karena, menurut Aris, mereka berlindung di balik sistem hukum yang berbeda dengan sipil.

Aris menilai, kasus korupsi heli AW101 hanya bisa diselesaikan jika Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto bersikap kooperatif. Pada awal kepemimpinanya Desember 2017 sempat ada wacana soal sinergi peradilan militer dan umum yang disampaikan oleh Hadi. Namun, waktu itu, Puspen TNI buru-buru mengklarifikasinya.

Markas Besar TNI membantah telah menghambat proses penyidikan kasus heli AW101. Kepala Pusat Penerangan TNI Sabrar Fadhilah mengaku tidak tahu alasan kedelapan prajurit tersebut tidak hadir, tapi ia berasumsi mereka tidak datang karena masalah administrasi atau sedang libur.

"Saya yakin tidak begitu [menghambat]. Jangan langsung menghakimi tidak mendukung atau apa," kata Sabrar kepada Tirto, Rabu (4/7/2018) kemarin.

Mantan Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad) itu memastikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto berkomitmen untuk menyelesaikan kasus korupsi Heli AW101. Ia pun menyebut Panglima TNI akan menghadirkan para saksi yang dibutuhkan KPK agar berkas tersangka rampung.

"Kan panglima TNI sudah menyampaikan berulang-ulang," kata Sabrar.

Baca juga artikel terkait KORUPSI HELIKOPTER AW101 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino