tirto.id - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan tidak setuju jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggandeng Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk membina para peserta didik baru. Apalagi pembinaan tersebut akan difokuskan pada karakter nasionalisme siswa melalui materi bela negara.
"Kalau saya sih enggak setuju ya. Ya ngapain sih membangun jiwa-jiwa korsa itu. Korps itu cocoknya untuk tentara, kalau di sekolah ada korps, takutnya [siswa-siswi] nakal-nakal [terus siswa bilang] 'Gua yang paling hebat'. Itu bisa gawat banget," ujar Komisioner Bidang Pendidikan, Retno Listyarti saat di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (5/7/2019).
Ia mengatakan, TNI melakukan semi militer terhadap siswa saja tidak boleh, apalagi ada TNI masuk ke dalam sekolah. Sebab, menurut dia, jiwa nasionalisme dapat ditumbuhkan dengan cara yang lain dan tidak harus lewat tentara.
"Kok seolah-olah tentara bisa menyelesaikan semuanya ini, kan karena menterinya S3-nya itu disertasinya itu tentang TNI. Mungkin jatuh cinta kali pak menteri [Mendikbud Muhadjir Effendy]," tuturnya.
Menurutnya, jika menumbuhkan jiwa nasionalisme siswa dengan cara melibatkan tentara masuk ke dalam sekolah, berarti ada masalah di dalam dunia pendidikan Indonesia.
"Ketika anak-anak lebih percaya hoaks, berarti memang tidak kritis pendidikan kita. Kemudian jika itu terjadi kedepannya akan muncul pro-kontra dan polemiknya akan tinggi," ucapnya.
"Berarti literasi kurang, sehingga level kritisnya itu kurang, jadi level kritisnya itu kurang. Kenapa, anaknya enggak kritis, karena gurunya yang juga enggak kritis. Benahi itu liat problemnya dong. Masalahnya di mana? Masalahnya di guru, malah datengin tentara," lanjutnya.
Selain di sekolah, Retno juga tidak setuju jika TNI mengajarkan materi bela negara di lingkungan Perguruan Tinggi.
"Enggak usahlah dimasukin TNI-TNI [masuk Perguruan Tinggi]. Tentara itu jaga negara aja, hadapi musuh. Kalau polisi jaga ketertiban, nanti malah lagi di Dwi fungsi ABRI. Jadi kalau saya itu lebih tepat membenahi gurunya untuk mendorong rasa nasionalisme kita," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Alexander Haryanto