tirto.id -
Kebijakan ini berlaku di seluruh sekolah di Indonesia, bahkan yang letaknya terpencil sekalipun. Panglima TNI Hadi Tjahjanto mengatakan mereka akan mempersiapkan baik personel di Koramil, hingga yang bertugas di Pangkalan AL dan Pangkalan Udara. "Termasuk wilayah perbatasan," kata Hadi.
Para tentara ini akan dipekerjakan selama dua pekan.
Muhadjir berharap para tentara bisa mengajarkan beberapa hal ke siswa, dari jejang SD sampai SMA/sederajat: dari mulai membentuk karakter mereka hingga memperkuat materi dasar yang berkaitan dengan nasionalisme, bela tanah air, dan cinta tanah air. Semua dengan tujuan agar siswa "memiliki self defence bagi pengaruh dan paham yang dapat berpengaruh kepada NKRI."
Dikritik
Kebijakan ini dikritik keras berbagai pihak. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, misalnya, mengatakan kebijakan ini cenderung ngawur dan tidak berdasar.
"Masak yang memahami nasionalisme itu hanya TNI? Ini harus dipertanyakan kembali," kata Ubaid kepada reporter Tirto, Selasa (2/7/2019).
Ubaid khawatir jika tujuan utamanya adalah "menanamkan nasionalisme"-- termasuk upacara dan baris-berbaris, sebagaimana yang Kemendikbud sebut sebagai "contoh bentuk pembinaan nasionalisme paling mendasar"--maka nasionalisme yang akan diajarkan adalah nasionalisme doktriner, "bukan nasionalisme yang dibangun berdasarkan refleksi, pemahaman mendalam, dan nalar kritis."
Mengajak serta tentara menggembleng siswa juga contoh betapa pemerintah tidak percaya dengan kualitas guru, tambah Ubaid. Sebetulnya guru juga mampu melakukan itu. Tak perlu repot-repot mencari hingga ke barak.
"Lebih membiarkan keadaan mutu guru dan mencari-cari alternatif dari luar yang juga tidak bermutu dan tidak ada relevansinya," tegasnya.
Kritik juga disampaikan peneliti militer sekaligus Direktur Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI), Beni Sukadis. Menurutnya TNI adalah alat negara dan tidak semestinya berada di ranah sipil.
"Saya khawatir. Kalau dari tupoksi dan peran TNI mestinya, kan, enggak boleh beraktivitas di ranah sipil. Kekhawatiran kami juga terlihat sejak 2-3 tahun lalu banyak MoU antara TNI dan beberapa lembaga negara. Ini juga sepertinya MoU dengan Kemendikbud," kata Beni kepada reporter Tirto. "Namun terlepas ada MoU atau tidak, itu juga jadi permasalahan karena TNI tak bisa bikin MoU."
Ucapan Beni beralasan mengingat TNI bukan lembaga otonom dan berada di bawah komando Presiden, sehingga tak bisa membikin MoU dengan lembaga lain. Hal itu juga pernah disinggung Gubernur Lemhanas Agus Widjojo.
"Makin lama berperan di ranah sipil, TNI akan makin melalaikan tugas aslinya. Ngapain dia di sekolah? Tugas utamanya menjaga keamanan negara, bukan melatih baris-berbaris. Itu terlalu teknis dan sudah bukan ranahnya."
Senada dengan Ubaid, Beni juga khawatir kalau Kemendikbud tak lagi percaya pada guru-guru di bawah naungan lembaganya sendiri.
Selain dua pakar di atas, kritik juga disampaikan warganet. Dalam utas Kemendikbud yang mengumumkan soal kerja sama ini, beberapa orang menyampaikan keberatan, juga alternatif.
Misalnya pengguna Twitter bernama @arinadinahanifa. Dia mengusulkan materi orientasi lebih ditekankan ke aspek yang benar-benar menyangkut kehidupan sehari-hari. Misalnya, bagaimana mengurangi dan memilah sampah, atau tidak membuang-buang makanan. "Apakah kurang nasionalis?" tanyanya, retoris.
Pengguna Twitter lain mengatakan kalau baris-berbaris "tidak membantu saya bertahan hidup dan tidak menambah apa pun jenis pengetahuan saya."
"Enggak Seperti Itu..."
Inspektorat Jenderal Kemendikbud, Muchlis Rantoni Luddin, merespons ragam kritikan yang dituding ke lembaganya. Ia menilai kebijakan Kemendikbud melibatkan TNI bukan dalam upaya memasukkan (kembali) militer ke ranah sipil.
"Enggak seperti itu. TNI, kan, salah satu lembaga yang terlibat dalam PLS (Pengenalan Lingkungan Sekolah). Ada juga Pramuka, BNN, PMI. Jadi itu enggak permanen, hanya pas PLS saja," kata Muchlis saat dihubungi reporter Tirto, Selasa siang. "Karena kami tahu, ada ilmu-ilmu lain yang tenaga kami enggak punya dan hanya dimiliki oleh lembaga-lembaga yang memiliki spesialisasi."
Muchlis lantas menyimpulkan kalau kekhawatiran tersebut terlalu berlebihan. "Masyarakat enggak perlu khawatir kalau ada upaya Dwifungsi ABRI. Enggak ada," pungkasnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino