Menuju konten utama

Perpres 37/2019 dan Kekhawatiran Bangkitnya Dwifungsi ABRI

Direktur Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menilai lahirnya Perpres Nomor 37 tahun 2019 justru mengakomodir adanya praktik bagi-bagi jabatan di tubuh TNI.

Perpres 37/2019 dan Kekhawatiran Bangkitnya Dwifungsi ABRI
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (keempat kiri), KSAD Jenderal TNI Mulyono (kelima kiri), Pangdam III Siliwangi Mayjen TNI Besar Harto Karyawan (kiri) dan Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Agung Budi Maryoto (ketiga kiri) meninjau pasukan Bintara Pembina Desa (Babinsa) di Hanggar KFX PT DI di Bandung, Jawa Barat, Selasa (17/7). Dalam arahannya Presiden Joko Widodo mengajak Babinsa untuk mengawal, menjaga kesetiaan kepada rakyat, wilayah NKRI dan pemerintah yang sah. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id - Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional TNI. Meskipun salinan resmi beleid ini belum disampaikan ke publik, tapi terbitnya Perpres itu telah menuai kontroversi.

Sebab, sejumlah kalangan khawatir beleid tersebut adalah legalisasi dari penempatan sejumlah perwira TNI di instansi-instansi sipil alias mengembalikan dwifungsi ABRI.

Apalagi, wacana ini sempat ramai pada Februari 2019 saat Jokowi berkeinginan mengatasi masalah perwira non-job di internal TNI dengan menciptakan 60 pos baru.

Rencana itu kemudian diterjemahkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, salah satunya dengan mendistribusikan para perwira itu ke kementerian. Hadi bahkan mewacanakan penempatan ini diatur dan dimasukan dalam revisi UU TNI.

Namun, Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM Jaleswari Pramodhawardani membantah hal itu.

“Ini [Perpres 37/2019] jelas mengatur prajurit TNI yang memiliki keterampilan, keahlian, pengetahuan yang mempunyai tugas dan fungsi yang berkaitan erat satu sama lain dalam melaksanakan salah satu tugas dan fungsi organisasi TNI,” kata Jaleswari saat dihubungi reporter Tirto, Senin (1/7/2019).

Perpres ini adalah turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI [PDF]. Dalam pasal 30 dan pasal 31 aturan tersebut dikatakan, ketentuan lebih lanjut soal jabatan fungsional TNI diatur dalam peraturan presiden.

Jaleswari pun menjelaskan, jabatan fungsional TNI yang dimaksud dalam Perpres 37/2019 ini harus dibaca sebagai kedudukan yang menunjukkan tugas, wewenang, dan hak prajurit TNI dalam satuan organisasi TNI.

“Jadi salah besar kalau dikatakan bentuk legalisasi dari wacana penempatan perwira tinggi TNI yang non-job,” kata Jaleswari.

Sementara itu, dalam rilis yang disampailan Sekretariat Kabinet, jabatan fungsional TNI dalam Perpres 37/2019 terdiri atas jabatan fungsional keahlian, dan jabatan fungsional keterampilan.

Adapun jabatan fungsional keahlian terdiri atas, ahli utama, ahli madya, ahli muda, dan ahli pertama. Di sisi lain, jenjang jabatan fungsional keterampilan terdiri atas, penyelia, mahir, terampil, pemula.

“Pengangkatan Prajurit Tentara Nasional Indonesia dalam jabatan fungsional ahli utama ditetapkan oleh Presiden. Pengangkatan Prajurit Tentara Nasional Indonesia dalam jabatan fungsional ahli madya, ahli muda, dan ahli pertama ditetapkan oleh Panglima,” demikian bunyi Pasal 1 ayat (1 dan 2) Perpres ini.

Selain itu, pengangkatan prajurit TNI dalam seluruh jabatan fungsional keterampilan ditetapkan oleh Panglima atau Kepala Staf sesuai dengan tempat penugasan.

Wajar Khawatir

Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, isi Perpres 37/2019 itu bukanlah sesuatu yang luar biasa, melainkan hanya mengatur soal jabatan fungsional yang memang tak diatur di UU TNI.

Namun, Fahmi bisa memahami adanya penolakan dari sebagian masyarakat. Ia menganggap hal itu sebagai hal yang wajar.

Sebab, kata dia, peran angkatan bersenjata yang sedemikian luas pada masa lalu masih meninggalkan luka mendalam. Apalagi, informasi resmi yang disampaikan memang tidak terang menggambarkan isi beleid tersebut.

Fahmi pun bisa memahami kekhawatiran masyarakat atas kebangkitan dwifungsi TNI. Pasalnya, pemerintah kerap kali melempar narasi yang menampilkan gelagat kembalinya tentara ke ruang-ruang sipil.

"Rezim saat ini pun terkesan 'genit' membuka peluang dan memberi harapan atas pelibatan yang lebih luas bagi TNI di sektor-sektor publik," ujarnya lewat keterangan tertulis yang diterima Minggu (30/7/2019).

Karena itu, Fahmi berharap di periode kedua kepemimpinannya, Joko Widodo akan berhati-hati dalam melangkah dan tidak membuka kotak pandora yang sudah susah payah ditutup pada masa lalu.

Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan sebenarnya TNI sudah memiliki rencana yang baik dalam menjaga postur organisasinya agar tetap ideal. Namun, rencana ini dirusak oleh intervensi sejumlah pejabat tinggi.

"Misalnya, untuk Sesko [Sekolah Staf dan Komando TNI] sudah full, tapi muncul titipan-titipan dari pejabat anu, pejabat anu sehingga terpaksa sesko ditambahin lagi orangnya. Rusaklah strukturnya," ujarnya saat ditemui di kawasan Menteng, pada Senin (1/7/2019).

Karena itu, Isnur menilai lahirnya Perpres Nomor 37 tahun 2019 ini justru mengakomodir adanya praktik bagi-bagi jabatan di tubuh TNI.

Baca juga artikel terkait DWIFUNGSI ABRI atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz