Menuju konten utama

KPAI Dorong Sanksi Edukatif Bagi Siswa Pelaku Kekerasan di Sekolah

Menurutnya masih ada paradigma di tingkat tenaga ajar, bahwa kekerasan menjadi cara untuk menetapkan sanksi.

KPAI Dorong Sanksi Edukatif Bagi Siswa Pelaku Kekerasan di Sekolah
Pelajar SD Muhammadiyah 2 Surabaya membaca puisi saat melakukan aksi damai di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (2/2/2018). ANTARA FOTO/Didik Suhartono

tirto.id - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto menilai setiap siswa yang melakukan tindak kekerasan tetap perlu diberikan sanksi. Namun sanksi itu tetap harus sesuai dengan prinsip yang edukatif.

KPAI selama Januari 2019 hingga 13 Februari mencatat ada dua kasus kekerasan fisik yang melibatkan anak sebagai pelaku.

Kasus pertama terjadi di Gresik, siswa SMP melakukan perundungan kepada guru lantaran tak terima ditegur merokok di kelas. Kasus kedua terjadi di Takalar, empat siswa SMP menganiaya petugas kebersihan sekolah.

"Konsekuensi yang diberikan pada anak yang melanggar itu memang harus berkonsep dasar edukatif. Itu dasar untuk memberikan sanksi. Karena akan menghadirkan kedisiplinan pada anak, semakin hari semakin baik," ujarnya ketika ditemui di kantor KPAI, Jakarta Pusat, Jumat (15/2/2019).

Menurutnya masih ada paradigma di tingkat tenaga ajar, bahwa kekerasan menjadi cara untuk menetapkan sanksi.

Padahal menurut Susanto hal itu jelas keliru karena bersifat jangka pendek dan tidak baik bagi perkembangan karakter siswa yang bersangkutan.

"Kadang-kadang pendekatan kekerasan oleh guru dinilai efektif. Memang jangka pendeknya terukur, misalnya kalau ada guru yang galak dan kalau murid telat dikenakan push up 10 kali, itu hampir dipastikan anak akan disiplin," ujarnya.

Susanto menambahkan ketika guru tersebut tidak masuk kelas, murid justru akan senang dan itu menunjukan bahwa ikhtiar pengembangan karakter gagal.

Susanto juga meyakini, anak yang menjadi pelaku kekerasan di sekolah tidak berdiri sendiri. Artinya terdapat sejumlah faktor yang membentuk sifat dan sikapnya hingga menjadi demikian.

Menurut Susanto ketika ada kasus seperti itu, perlu pendalaman lebih lanjut mengenai latar belakang siswa pelaku.

"Harus ada evalusi proses pengasuhan secara total. Kemudian lingkungannya seperti apa, profiling-nya harus ditelusuri, kondisi psikologisnya, relasi si anak dengan senior, adakah hal di luar kewajaran yang terinspirasi kakak kelas, itu penting didalami," paparnya.

Untuk itu Susanto merasa perlu Dinas Pendidikan dan sekolah-sekolah mengembangkan pola pendisiplinan edukatif. Agar perkembangan karakter siswa tak terganggu.

"Saya kira pendisiplinan positif itu perlu banyak inventarisir masalah. Masing-masing sekolah dan dinas pendidikan perlu mengembangkan pola itu. Dengan pertimbangan kondisi daerahnya," tandasnya.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN ANAK atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari