tirto.id - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meminta Presiden Prabowo Subianto segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional (BPRAN). KPA mengingatkan bahwa Pansus Penyelesaian Konflik Agraria dan BPRAN merupakan komitmen DPR RI dan pemerintah pada peringatan Hari Tani Nasional 2025.
Komitmen itu disampaikan ketika membuka ruang dialog dengan perwakilan KPA bersama 100 orang dari organisasi tani, nelayan, dan buruh yang diterima pimpinan DPR melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP).
"KPA menagih komitmen pansus untuk segera mendorong Presiden Prabowo membentuk BPRAN mengingat urgensi keberadaan lembaga ini. Selama ini banyak kelembagaan pelaksana reforma agraria yang telah dibentuk oleh pemerintah namun tidak berhasil memecah kebuntuan yang terjadi akibat tumpang tindih regulasi dan egosektoral," ucap Sekretaris Jendral KPA, Dewi Kartika, dalam konferensi pers daring yang diikuti Tirto, Minggu (16/11/2025).
Selain itu, Dewi menilai Pansus Penyelesaian Konflik Agraria yang dibentuk DPR pada 2 Oktober 2025 lalu belum terlihat hasil kerjanya.
Dua bulan pascapembentukan, masih tersisa gunungan kasus konflik agraria nasional yang terjadi selama puluhan tahun yang menunggu terobosan politik dan hukum dari Pansus.
“Hingga saat ini belum ada tanda-tanda pansus bekerja untuk melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan reforma agraria nasional, sehingga kami mendesak Pansus agar segera bekerja untuk meninjau ulang apa yang menjadi hambatan pelaksanaan reforma agraria selama ini” ujar Dewi.
Bahkan sejak dibentuknya pansus, konflik agraria dan kekerasan di lapangan terus terjadi. Misalnya konflik agraria antara Masyarakat Adat Tano Batak dengan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) yang terus memanas.
Dua bulan terakhir, tanaman dan akses jalan masyarakat dirusak. Diduga juga terjadi tindak kekerasan terhadap warga.
Di Aceh Utara, konflik agraria antara masyarakat Cot Girek dengan PTPN IV terus memakan korban di pihak masyarakat. Tiga hari lalu, ungkap Dewi, juga terjadi kriminalisasi massal terhadap 35 masyarakat Dairi, Sumatera Utara, yang menolak perampasan tanah dan kerusakan lingkungan yang disebabkan perusahaan.
Di sisi lain, arah kebijakan yang dilakukan oleh kementerian/lembaga terkait semakin jauh dari prinsip dan tujuan reforma agraria. Terbaru, Kementerian ATR/BPN, justru mendorong seluruh proses redistribusi dan pemberikan hak atas tanah masyarakat dengan memberikan hak pakai di atas HPL.
Bahkan, ujar Dewi, terus memaksakan proses redsitribusi tanah melalui mekanisme Bank Tanah. Hal ini dinilai sebagai sesat pikir dari penyelenggara negara sebab bertentangan dengan prinsip reforma agraria.
“Ini sebuah langkah mundur, mengkhianati mandat konstitusi dan UUPA 1960 yang telah memandatkan reforma agraria dan menjamin hak milik sebagai hak tertinggi bagi rakyat,” sambung Dewi.
Karenanya, pembentukan BPRAN diharapkan dapat memecah kebuntuan pelaksanaan reforma agraria nasional karna bersifat otoritatif dan eksekutorial alias berada langsung di bawah kepemimpinan Presiden.
"Dengan mandat khusus dan terkonsentrasi dalam kerja-kerja pelaksanaan reforma agraria," ucap Dewi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id

































